Shahira atau lebih akrab dipanggil Ira. Dia dijuluki perawan tua, karena belum juga menikah bahkan diusianya yang sudah menginjak 34 tahun. Dia menjadi bahan gunjingan ibu ibu komplek.
Shahira pernah di lamar, tapi gagal karena ternyata pria yang melamarnya menyukai adiknya, Aluna.
Tapi, kemudian Ira dilamar lagi oleh seorang nenek untuk menjadi istri dari cucu kesayangannya. Nenek itu pernah di tolong Shahira beberapa waktu yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Kini Shahira baru saja selesai sholat isa dan dia baru bisa berbaring nyaman di kasur empuk kamar Nicho. Setelah seharian tadi berkeliling mall bersama nenek.
Sungguh melelahkan. Entah mengapa rasanya lebih lelah dari saat dia membuat kue untuk di jual dengan jumlah orderan yang banyak.
"Kamar ini sangat luas. Hampir sama luas dengan rumah ibu." gumamnya melihat sekeliling kamar.
Di kamar itu ada ruangan lain lagi, ruangan kerja Nicho. Terus, ruangan pakaian juga berbeda lagi, langsung tempat berganti pakaian juga.
Shahira menemukan ruangan itu saat dia menyusun pakaiannya kedalam lemari yang ada diruangan itu dengan bantuan bibik Jihan dan tentu saja sudah dapat izin dari Nicho.
"Ini masih seperti mimpi." gumamnya.
Saat Shahira bersantai di kamar, Nicho justru baru tiba di rumah.
"Sudah pulang, nak!" sambut nenek yang tadi membaca buku di ruang tengah.
"Nenek belum tidur?"
"Belum. Nenek sengaja nunggu kamu pulang."
"Ada gerangan apa sampai nenek menunggu aku pulang?" Nicho duduk di samping neneknya sambil memeluk wanita tua kesayangannya itu.
"Nenek tahu kamu terpaksa menikahi Shahira. Tapi, cobalah untuk menerima kehadirannya dalam hidupmu. Dia istri kamu sekarang. Cobalah untuk memperlakukannya dengan baik layaknya perlakuan suami pada istrinya."
"Aku minta maaf ya nek, karena membuat nenek kecewa. Tapi, aku janji akan mencoba untuk menerima kehadirannya sebagai istriku."
"Nak, pernikahan itu sesuatu yang sangat sakral. Bukan untuk dipermain mainkan. Nenek sangat berharap, pernikahan kamu dengan Shahira akan berkekalan selamanya."
"InsyaAllah, nek. Akan aku coba."
"Nenek percaya sama kamu. Tapi, jika kamu merasa sangat berat menjalani pernikahan ini, kamu boleh menyerah. Syaratnya beritahu nenek yang pertama, lalu berikan alasan yang tepat dan masuk akal untuk nenek terima."
"Iya nek, aku janji."
Nicho memeluk neneknya cukup lama. Setelah itu, dia mengantar nenek kembali ke kamarnya. Barulah kemudian Nicho kembali ke kamarnya.
Saat tiba di kamar, dia melihat Shahira sudah tertidur pulas di ranjangnya.
"Dia bahkan bisa tidur di tempat asing dengan situasi yang asing seperti ini." gumanya.
Nicho segera mandi, berganti pakaian, lalu dia masuk ke ruang kerjanya. Melanjutkan pekerjaan adalah yang terbaik saat ini.
Waktu terus berputar, kini pagi pun menjelang dan Shahira baru saja terbangun. Dia melewatkan subuh, karena ternyata dia kedatangan tamu bulanan.
Matanya melirik kearah kamar yang masih sama seperti tadi malam. Sunyi, sepi dan hanya dia sendirian.
"Apa mas Nicho tidak pulang ya?" Gumamnya.
Ira bangkit dari tempat tidur, lalu membereskan kembali ranjang itu. Barulah dia melangkah menuju kamar mandi.
Saat Ira membuka pintu kamar mandi, dia tidak menyadari Nicho berada di sana sedang berdiri di bawah shower dengan keadaan tanpa sehelai benangpun menutup tubuhnya.
Dengan mata yang masih agak mengantuk, Ira terus berjalan sampai dia tiba di depan wastafel. Tangannya meraih sikat gigi, kemudian matanya menatap cermin di depannya.
"Aaa..." Teriaknya sambil berlari keluar kamar mandi setelah matanya melihat punggung telanjang Nicho dari pantulan cermin besar itu.
Nicho terkejut mendengar teriakan itu dan dia menoleh kearah pintu kamar mandi yang sudah tertutup kembali.
"Apa dia melihatku?" Gumam Nicho yang langsung menutupi bagian tubuhnya yang harus ditutupi.
"Sial, aku lupa mengunci pintu kamar mandi."
"Kok bisa sih dia gak mendengar suara air dari shower?!"
"Akhgggr terserah."
Nicho malu, dia merona. Tapi meski begitu, dia tetap melanjutkan mandinya dengan cepat.
Sementara itu, Shahira saat ini masih mencoba melupakan apa yang dilihat matanya beberapa saat yang lalu.
"Aku tidak melihat apapun." pikirnya sambil melangkah keluar dari kamar tanpa mencuci wajahnya.
Kakinya terus melangkah menuruni anak tangga. Tujuannya tidak pasti pada awalnya, tapi kemudian dia mencium bau masakan bik Jihan di dapur.
"Pagi bik!" Sapanya yang sudah tiba di dapur.
"Pagi non Shahira. Apa tidurnya nyenyak tadi malam?"
"Iya bik, tidurku nyenyak."
"Bibik masak apa?"
"Masak sup telur untuk nenek. Non Shahira mau bibik masakan apa untuk sarapan pagi ini?"
"Eemmm, masih ada telur gak bik?"
"Ada non. Itu di dalam kulkas. Mau bibik ambilkan..."
"Aku ambil sendiri aja bik."
Ira mengambil dua butir telur dari dalam kulkas. Dia juga mengambil dua potong roti gandum tawar, satu buah tomat dan dua lembar daun selada. Dia akan membuat roti sayur ala ala idenya sendiri.
Tapi sebelum mulai memasak, dia meminta izin untuk mencuci wajah dan tangannya ke kamar mandi di kamar bik Jihan. Stelah itu barulah dia kembali lagi ke dapur untuk melanjutkan membuat sarapan.
"Non Shahira mau masak apa sih?"
"Mau buat sandwich ala ala aku aja bik."
"Bibik bantu ya."
"Gak usah bik. Aku mau belajar buat sendiri."
"Ya sudah. Hati hati ya non. Jangan sampai luka jarinya."
"Iya bik."
Shahira memasukkan dua butir telur kedalam wajan anti lengket, dia membuat telur mata sapi tanpa minyak sedikit pun. Setelah telurnya matang, Ira menyusun daun selada pada tiap lembar roti, menaruh telur diatasnya dan kemudian menaburkan penyedap rasa sedikit saja diatas telur itu. Terakhri dia tumpukkan irisan tomat segar diatas telur.
"Aneh ya bik?" tanya nya begitu makanan yang dibuatnya sudah tertata rapi diatas dua piring.
"Terlihat enak dan sehat." sahut bik Jihan.
"Mas Nicho mau gak ya makan ini?" gumamnya.
"Den Nicho gak biasa makan pagi, non. Bagaimana kalau sandwich nya di bungkus aja, buat bekal den Nicho bawa ke kantor." Jihan menyarankan.
"Boleh deh."
Jihan pun memberikan wadah yang pas untuk bekal yang dibuat Ira itu.
Ira tersenyum melihat karyanya untuk pertama kalinya dan akan dibawa nanti oleh suaminya.
"Semoga mas Nicho mau menerimanya."
Ira kembali ke kamar membawa wadah makanan itu dengan melangkah girang. Sedangkan sarapannya disimpankan dulu oleh Jihan kedalam kulkas.
Begitu tiba di kamar, Nicho rupanya sudah berpakaian rapi. Dia hanya tinggal memasang dasinya lagi.
"Dari mana kamu?" tanya Nicho yang baru keluar dari ruangan gantinya.
"Membuat sarapan. Ini mas Nicho bawa ke kantor ya. Kalau lapar bisa makan ini saja. Sehat kok, seperti yang disarankan mama."
Nicho mengambil wadah dari tangan Shahira, dibukanya untuk mengecek apa isinya.
"Kamu membuatnya sendiri?"
"Iya."
"Boleh juga."
Ira tersenyum senang karena ternyata Nicho menerima sandwich buatannya.
"Oh iya, lain kali kalau mau ke kamar mandi ketuk dulu pintunya."
Pipi Ira memerah kala Nicho mengingatkan lagi kejadian tadi.
"Maaf!"
"Tidak perlu. Toh kita sudah suami istri juga kan."
"Oh iya, kamu bisa memasang dasi gak?"
"Bi-bisa!"
"Ya udah sini, pasangkan dasi saya."
Dengan segera Ira menghampiri Nicho. Mengambil dasi ditangan Nicho lalu memasangkan dasi itu. Ira agak kesusahan karena Nicho ternyata jauh lebih tinggi darinya. Mengetahui itu, Nicho pun menekuk kedua lututnya sehingga posisinya sejajar dengan Shahira.
Wajah Ira merona, jantungnya berdegup cepat saat ini. Bahkan dia merasa berkeringat. Hal seperti ini membuatnya merasakan sesuatu seperti sengatan listrik diseluruh tubuhnya.
"Ini pertama kalinya kamu memasangkan dasi pada laki laki?"
"I-iya."
"Mulai hari ini, kamu yang harus memasangkan dasi saya setiap pagi."
"I-iya."
Nicho menatap wajah Shahira sangat lekat, tentu itu membuat Shahira gugup.
"Selesai." ujarnya saat dasi Nicho sudah terpasang rapi.
Nicho pun langsung berbalik badan, menatap dirinya di pantulan cermin. Benar saja dasinya rapi saat ini. Dia pun tersenyum sambil menyentuh dasi yang sudah terikat di lehernya.
"Temani nenek hari ini. Aku akan pulang malam. Banyak pekerjaan di kantor." ucapnya yang dianggukan saja oleh Ira.
"Aku pergi dulu!" Nicho hendak melangkah pergi, tapi dengan cepat Ira meraih tangannya.
"Ada apa?"
"Hmm, boleh cium tangan mas Nicho?!"
"Hmm." angguk Nicho.
Dengan perasaan senang, Ira pun mencium punggung tangan suaminya itu untuk pertama kalinya.
"Aku pergi."
"Hati hati, mas!"
Nicho yang sudah meraih ganggang pintu kamar pun, menoleh sebentar pada Ira sambil tersenyum.
semoga ibu nya shahira cpt tau kelakuan aluna merusak keretakkan rumah tangga kakak nya sendri biar ibu merasa menyesal