Medina panik ketika tiba-tiba dia dipanggil oleh pengurus pondok agar segera ke ndalem sang kyai karena keluarganya datang ke pesantren. Dia yang pernah mengatakan pada sang mama jika di pesantren sudah menemukan calon suami seperti kriteria yang ditentukan oleh papanya, kalang kabut sendiri karena kebohongan yang telanjur Medina buat.
Akankah Medina berkata jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada orang tua, jika dia belum menemukan orang yang tepat?
Ataukah, Medina akan melakukan berbagai cara untuk melanjutkan kebohongan dengan memanfaatkan seorang pemuda yang diam-diam telah mencuri perhatiannya?
🌹🌹🌹
Ikuti terus kisah Medina, yah ...
Terima kasih buat kalian yang masih setia menantikan karyaku.
Jangan lupa subscribe dan tinggalkan jejak dengan memberi like dan komen terbaik 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima
"Cepetan bangun! Kamu, tuh, berat tahu, Dik!"
"Iya-iya! Lagian, siapa suruh Kang Hamam menangkap tubuh Dina? Enggak ada, 'kan?" Medina buru-buru bangkit dari atas tubuh Hamam.
Rupanya, melihat Medina hendak jatuh, Hamam berinisiatif menangkapnya. Karena tanpa persiapan, Hamam pun tidak kuat menahan bobot tubuh Medina yang memang cukup berat, lalu mereka terjatuh bersama dengan posisi Medina berada di atas tubuh Hamam. Alhasil, pemuda itu pun meringis kesakitan.
"Emang enggak ada yang nyuruh, Dik. Sebagai laki-laki, aku enggak tega aja melihat seorang perempuan yang hampir jatuh, dan diam saja tidak melakukan apa-apa," jawab
Hamam yang kini telah berdiri kembali.
Pemuda itu lalu merapikan sarung dan membersihkan pakaiannya dari kerikil serta daun-daun kering yang menempel.
"Ya, biarkan saja Dina jatuh. Toh, kita bukan siapa-siapa, 'kan? Kita ini orang lain, Kang, ingat itu!" Medina sengaja menekankan kata orang lain agar Hamam tahu bahwa dirinya menolak perjodohan tersebut.
"Bener, Dik, kita ini memang orang lain." Datar saja ekspresi Hamam ketika menimpali perkataan Medina, hingga membuat gadis itu makin penasaran.
"Nah, kalau Kang Hamam udah tahu kalau kita ini orang lain, kenapa Akang bisa berada di sini? Bukan karena sengaja memata-matai Dina, 'kan?" pancing Dina, ingin tahu reaksi Hamam.
"Jangan ge-er kamu, Dik. Aku memang biasa berkeliling pesantren untuk menjaga ketertiban santri abah. Kebetulan, tadi aku lihat ada seorang santri putri yang berjalan dengan mencurigakan. Makanya aku ikuti. Enggak tahunya, ternyata kamu." Hamam pun menjelaskan dengan raut wajah yang terlihat lempeng saja.
"Yakin, bukan karena Kang Hamam sengaja mengawasi Dina?" kejar Medina yang masih penasaran dengan pemuda itu.
"Buat apa? Kayak enggak ada kerjaan aja." Datar saja, pemuda itu menjawab.
'Wah, beneran belok, nih, pasti Kang Hamam. Tapi, baguslah. Itu artinya, jika kami beneran dinikahkan, aku jadi memiliki alasan untuk berpisah dengan pemuda belok seperti Kang Hamam ini.'
"Sudah, Dik. Jangan mikir terlalu jauh," lanjut Hamam yang seolah tahu, apa yang dipikirkan oleh gadis di hadapan. "Aku juga enggak seantusias seperti kelihatannya, kok, dengan perjodohan kita," imbuh Hamam, membuat Medina membuka lebar kedua matanya.
"Apa Kang Hamam juga sudah punya kekasih, sama seperti Dina?" tanya Medina, yang semakin dibuat penasaran dengan sikap Hamam yang datar-datar saja pada dirinya.
"Ini sudah malam, Dik. Sebaiknya, kamu kembali ke kamarmu." Hamam memerintah, tanpa merespons pertanyaan Medina.
Gadis itu cemberut seraya menghentakkan kaki karena kesal, pertanyaannya diabaikan oleh Hamam. Medina kemudian segera berlalu dari sana tanpa sepatah kata. Sementara Hamam menatap kepergian Medina dengan senyuman tipis di sudut bibirnya.
Waktu terus berlalu. Hari yang dinanti pun tiba.
"Kamu sudah siap 'kan, Gus?" tanya sang abah ketika melihat Hamam bergabung di ruang keluarga.
"Sampun, Bah."
"Nak Dina, kok, belum kelihatan, ya, Umm? Sudah dipanggil, tho?" tanya Kyai Umar pada sang istri.
"Lho, Dik Dina ikut pulang ke Jakarta, Bah?" sahut Hamam, bertanya. Pemuda itu nampak sangat terkejut.
Tadinya, dia berpikir jika Medina tidak akan ikut pulang ke rumah orang tua gadis itu. Sebab, pertunangan tanpa kehadiran sang gadis sudah lumrah di lingkungan pesantren. Yang terpenting kedua orang tua sudah saling setuju dan mereka pun berhak menentukan tanggal pernikahan untuk putra-putrinya.
"Kalau Dina ikut memangnya kenapa, Kang? Apa Kang Hamam grogi dan memutuskan untuk menghentikan niat menikahi Dina? Baguslah kalau memang begitu dan itu yang Dina harapkan."
Hamam tersenyum samar, nyaris tak kelihatan jika saja tidak jeli mengamati wajah tampannya. "Bukan grogi, Dik. Justru aku malah seneng, kalau kamu ikut serta. Karena dengan begitu, kita bisa langsung menikah saja, tanpa menunda-nunda."
"Abah setuju, Gus."
"Umi juga setuju, banget malah."
"Eh-eh! Apa-apaan, sih? Kok jadi langsung nikah?"
bersambung ...
ya salam
sesuai janjiku, di akhir bulan ini aku umumkan siapakah penghuni ranking pertama yang kasih dukungan pada kisah Medina-Hamam. Dan ... pendukung teratas adalah Kak Greenindya 🥰
Untuk pemenang, silakan chat aku, ya, untuk kirim alamat lengkap. Insyaallah novelnya aku kirim pertengahan bulan Juni, karena masih dalam proses cetak 🙏
Buat kalian yang pengin meluk aku, eh.. meluk novelku, bisa hub aku, yah, via chat di sini atau yg sudah save nmr wa ku bisa langsung japri.
mksh banyak untuk kalian semua. lope sekebon 😘😘