Keberanian Dila, seorang gadis tunarungu yang menolong pria tua penuh luka, membawanya pada nasib cinta bagai Cinderella untuk seorang anak pungut sepertinya.
Tuduhan, makian, cacian pedas Ezra Qavi, CEO perusahaan jasa Architects terpandang, sang duda tampan nan angkuh yang terpaksa menikahinya. Tak serta merta menumbuhkan kebencian di hati Dilara Huwaida.
"Kapan suara itu melembut untukku?" batinnya luka meski telinga tak mendengar.
Mampukah Dila bertahan menjadi menantu mahkota? Akankah hadir sosok pria pelindung disekitarnya? Dan Apakah Dila mempunyai cerita masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Qiev, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5. SPECIAL NAMUN BUKAN SPECIAL
Malam menjelang, kediaman Dilara.
Kedua wanita beda jaman masih disibukkan oleh aktivitas masing-masing. Dilara sedang mengamati gelang giok titipan pria paruh baya yang dia tolong sementara Bu Ruhama masih menyetrika baju milik keluarga pak Haji yang beliau bawa kerumah karena sudah terlalu sore.
Didalam kamar sederhana berlantai tegel hitam khas rumah jaman dulu, Dilara duduk menghadap lemari kaca kuno peninggalan sang nenek untuknya. Dia menatap pantulan dirinya.
"Kalau ini dipakai, pasti aku dikira mencuri barang majikan Ibu. Tapi jika ditinggal malah takut hilang meski di rumah tiada benda berharga namun ini adalah amanah," ucap Dila dalam hati.
Mata dengan iris coklat tua itu mengikuti arah dimana tangan kanannya mencoba memakai giok yang sedang dia genggam.
"Kebesaran, gimana ya?" Dila berpikir.
Gadis yang tidak memakai hijab bila sedang ada dikamar, bangkit dari duduk meraih kerudung coklat tua diatas dipan lalu memakainya dan keluar dari kamar menuju dapur.
Berniat mengambil seutas tali kasur di laci lemari makan yang sama usang dengan semua perabotan didalamnya.
"Nah, pakai ini saja, sebagai kalung agar aman," ujarnya sumringah menemukan ide.
Dila lalu membawa tali yang baru saja dia ambil kedalam kamarnya. Jemarinya lincah memotong lalu memilin tali agar kokoh ketika dijadikan penahan berat batu giok hijau tadi.
Rupanya Dilara sangat berkonsentrasi melakukan kegiatan, hingga kehadiran Ibu yang mengamatinya sejak beberapa menit yang lalu dia abaikan.
"Dila," tegur Ibu lembut dan tangannya menyentuh bahu sang anak.
Dila terkejut, mengelus dada dengan ekspresi wajah kaget dengan mata bulat yang membola sempurna.
"Lagi apa?" tanya Ibu pelan menggerakkan bibirnya agar Dilara dapat mengerti ucapannya.
"Bikin kalung pake ini," jawab Dila seperti biasa selayaknya gadis normal. Jika dengan ibu, ia jarang menggunakan jemari sebagai bahasa isyarat. Sebab menurutnya, Ibu selalu mengerti maksud dari ucapannya.
"Sudah malam, tidur. Meski tidak sekolah tapi kan besok ngaji pagi dan kursus bahasa. Sholehah ya Nak, agar bisa mendoakan ibu nanti," ucap Ruhama seraya mengelus pipi dan kepala anak gadis satu-satunya.
Dilara mencerna pelan ucapan Ibunya, lalu memeluk tubuh setengah renta itu erat. Menganggukkan kepala dalam dekapan hangat wanita yang dia sebut sebagai Ibu.
Tak ingin membuat kecewa, tanpa bantahan, Dilara membereskan semua benda yang masih berserakan dilantai. Menyapu kotoran yang tersisa lalu bersiap wudhu agar tidurnya lebih tenang.
Ibu Ruhama memastikan pintu rumahnya terkunci rapat, bukan hanya gembok namun juga pasak sebagai penghalang pintu khas kunci jaman dahulu telah terpasang.
Mereka hanya tinggal berdua, dan Dilara adalah anak gadisnya yang ayu. Ruhama tidak ingin kejadian diluar kuasanya terjadi ketika ia masih mampu melindungi diri.
"Selamat malam sayang, baca doa ya," kecup Ibu di dahi putrinya sambil menarik selimut hingga dada lalu mematikan lampu kamar sebelum dia beranjak.
"Ya Allah, terimakasih. Meski aku hanyalah anak pungut yang tak diinginkan nenek, tapi ibu menyayangiku. Ampunilah segala dosa Ibuku dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka. Aamiin." Dila melafalkan doa.
...***...
Mansion El Qavi.
Jarum jam sudah menunjukkan angka pukul sepuluh malam. Namun justru Ezra baru akan memulai pekerjaannya.
Menggambar sebuah site plan untuk proyek salah satu kliennya di Jakarta. Rumah seluas 400 meter bergaya American style menjadi pilihan sang empunya dengan budget fantastis, wajar jika Ezra sangat teliti dalam mendesain.
Saat dia menorehkan tinta untuk merancang garis fasad depan, ingatannya kembali pada saat sore tadi, tentang informasi gadis yang menolong ayahnya.
"Coba aku lihat siapa dia," Ezra mendorong kursinya kembali ke meja kerja utama, jemarinya meraih ponsel yang ia letakkan diatas map hitam.
Layar pipih itu dia angkat lalu menggeser tombolnya kesamping untuk membuka kunci. Aplikasi email yang Ezra tuju kini terbuka memperlihatkan sosok gadis yang menurutnya biasa saja bahkan terlihat sedikit kumal.
"Ck apanya yang special? begini? dengan para pembantuku saja masih cakepan mereka ... Lex, matamu rabun." Sudut bibir duda tampan tertarik ke atas menyunggingkan sebaris senyum sinis diwajah maskulinnya.
Ezra melemparkan ponselnya kembali ke atas meja lalu dia membalikkan kursi ke meja teknik khusus menggambar, melanjutkan apa yang tertunda.
Aktivitas itu ia lakukan hingga menjelang dini hari. Merasa tubuhnya telah kaku dan mata kian lelah, Ezra menyudahi pekerjaannya lalu bangkit dari kursi kulit beroda. Meraih ponselnya di atas meja kemudian keluar ruang kerja menuju kamar di lantai dua Mansion.
Cklak.
"Lelah sekali hari ini," keluh Ezra saat tubuh kekar itu menyentuh permukaan ranjang yang telah rapi dengan seprei warna hitam favoritnya.
Dingin.
Inginnya menarik selimut namun apa daya tubuh tak lagi merespon apa yang otaknya perintahkan hingga Ezra terlelap begitu saja dengan posisi kaki yang masih menggantung diujung ranjang.
...***...
Keesokan pagi.
Jam enam pagi, Dilara telah rapi membawa mushaf keluar dari rumahnya. Mengayuh sepeda ungu miliknya menuju kediaman Nyai Syuria didalam komplek pesantren Assalam.
Nyai Syuria sendiri yang meminta gadis itu agar belajar ngaji padanya setiap pagi. Bagai ketiban durian runtuh, Dila sangat bahagia hingga tak pernah melewatkan satu hari pun meski tubuhnya lelah, tetap akan dia paksakan untuk datang mengaji.
Udara pagi yang teduh di pedesaan membuat anak perawan ini selalu nyaman melewati sawah yang membentang di kanan kiri jalan hingga tanpa dia sadari, dua pria mendahului laju sepedanya dan menjegal di depan.
"Nona, ikut kami," tulis salah satu pria pada secarik kertas.
Dilara menggelengkan kepalanya pelan, bersiap melakukan aksi melarikan diri.
"Hanya ikut kami sebentar, kami tak akan menyakitimu bila kamu bekerja sama," pria yang sama, menulis lagi.
Dilara tetap pada pendiriannya, enggan mengikuti keinginan dua pria tak dikenal itu.
Teriak pun rasanya percuma karena tidak ada orang yang melintas kecuali dirinya. Pun Dila tak dapat bicara dengan sempurna. Otaknya berpikir cepat, namun kali ini tak ada ide dikepala gadis itu.
"Akibat belum sarapan, kayaknya nih jadi aku blank," keluh Dila.
"Ibu, aku ga akan melanggar ucapanmu lagi tentang sarapan. Kiranya benar istilah sarapan dulu agar kuat menghadapi kenyataan. Ya mungkin seperti ini hikmahnya," Dila menyesal namun tiada guna.
Salah satu pria merangsek mendekati sepeda Dilara, berusaha menarik lengan, saat gadis itu terlihat bingung.
Namun bukan Dilara jika hanya diam. Dengan sigap, sepeda ungu itu dia angkat ban depannya lalu dibenturkan pada dada sang pria hingga lelaki itu mundur beberapa langkah.
Kesempatan bagi Dila untuk kabur. Ia memutar sepedanya berbalik arah lalu mengayuh sekuat tenaga menjauh.
Nahas, kekuatan manusia kalah dengan mesin yang beradu. Sepeda gadis itu ditabrak oleh dua pria yang menggunakan motor trail dari belakang yang berniat menggilas kakinya.
Slutt.
Suara letupan senjata api dengan peredam.
"Arghh," pekik satu orang pria tumbang.
Sementara pria satunya bersiap menodongkan pistol ke arah lawan. Seseorang datang dari belakang Dilara yang telah tersungkur.
"Pergi atau kau mau lagi? aku tahu darimana kalian berasal. Bilang pada bos mu, ada Rolex yang melindunginya," hardik Rolex pada kedua penjahat bayaran.
Kedua pria asing itupun pergi terburu dan kepayahan karena salah satu dari mereka terluka akibat tembakan timah panas milik Rolex.
Dilara bangkit, memapah sepedanya berdiri lalu bersiap meninggalkan tempat itu.
"Eh, Nona mau kemana?" Rolex mencegah Dila pergi.
Dilara tak melihat wajah pria yang menolongnya. Dirinya terlalu takut, dua hari dihadapkan pada kejadian serupa membuatnya agak trauma dan memilih segera menjauh.
"Ibuu, aku takut," jerit Dila dalam hati.
"Nona, Nona," Rolex meneriakkan namanya berkali.
"Sh-itt aku lupa dia special." Rolex gusar sembari mengacak rambut yang telah tersugar rapi.
.
.
...________________...
⭐⭐⭐⭐⭐