Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.
Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.
Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.
Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 4. Lamaran
Boss David mengajakku ke toko perhiasan yang terkenal di kota ini. Aku hanya diam mengikutinya di belakang. Melihat-lihat sekeliling, wow. Aku sangat takjub. Cincin itu cantik sekali
Dia menoleh padaku. mataku masih fokus mengarah pada cincin itu, melirik sekilas pdanya. Dia mengikuti pandanganku.
“Kamu suka yang ini?” tanyanya sambil menunjuk cincin yang aku lihat.
“Ya …” Jawabku antusias. Sebuah cincin berwarna putih dengan berlian berwarna putih. Bertabur manik-manik berwarn biru di sekeliling berlian putihnya. Manis sekali.
“Oke. Aku mengajakmu kesini memang untuk memintamu memilihkan satu untukku.” Lalu dia mendekat kemeja penjual itu dan memanggil pelayan untuk mengambilkan cincin yang di tunjuk.
“Coba.” Perintahnya. Tanpa bisa di cegah hatiku berbunga saat boss David melingkarkan cincin tersebut di jari mansiku.
Duh sadarlah Anna. Ini hanya uji coba. Wanita itu tidak mungkin kamu.
“Cantik.” Ujarnya dengan mata berbinar. Akhirnya, dia pun memutuskan untuk membeli cincin ini.
Di dalam mobil aku memberanikan diri menanyakan ini padanya. Sebab hatiku tak mampu lagi membendung semua resah dan semua tanya.
“Boss …” Pelan aku memanggilnya. Sejenak dia menoleh padaku, kemudian kembali fokus mengemudi.
“Hmmm, bicaralah. Aku mendengarmu.” Ujarnya penuh penekanan.
“Kenapa tidak bersama wanitanya saja saat memilih cincinnya?” Aku menggigit bibir menunggu jawaban darinya. Duh, bagaimana jika dia marah? Dasar mulut lancing. Aku menepuk pelan mulutku, karena telah berani menanyakan hali itu pada boss David. Bisa mati aku jika dia marah.
“Aku suka pilihanmu.” Jawabnya santai.
“Ooh.” Aku mengangguk, menghadap ke samping. Menikmati pemandangan jalanan kota. Lampu itu terlihat begitu indah, berwarna-warni. Sayang, hatiku sedang gundah.
Sampai dirumah aku langsung menuju kamar. Menuju kamar mandi membersihkan diri. Kemudian merebahkan diri di ranjang.
Ku buka ponsel, melihat grup teman kantor. Ratusan chat masuk.
“Boss galak mau nikah ya?”
“Siapa cewek yang beruntung itu?”
“Kamu yakin benar beritanya?”
“Aku melihatnya ke toko perhiasaan bersama seorang wanita.”
Uhuk uhuk. Aku tersedak ludah sendiri membaca percakapan itu. Sial. Kapan dia melihat kami?
“Ceweknya cantik nggak?”
“Alah, pasti cantikan aku di lihat dari mana-mana juga.”
“Kalian pasti salah lihat.”
Ah, sudah lah. Malas lagi aku membacanya, isinya lagi-lagi gossip. Membosankan.
Tok tok tok
Suara ketukan di pintu kamar. Aku menyimpan ponsel, lalu membukan.
“Hallo Kakak Anna ….” Ternyata Alina yang datang. Dia terlihat semakin cantik saja setiap hari.
“Hallo Sayang, masuklah.” Alina mengikutiku di belakang setelah aku menutup pintu kamar.
Kami duudk di tepi ranjang saling berhadapan. Hmm, sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan.
“Kak …,” panggilnya. Aku menoleh, menatap Alina serius. Terlihat tenggorokannya naik turun, sepertinya dia gugup.
“Bicaralah, Kakak mendengarkan.” Aku menarik tangannya ke atas pahaku dan menggenggamnya erat.
“Ehm, Kak. Aku mencintai seseorang, dan dia berencana akan melamarku.” Alina berbicara dengan hati-hati dan suara tertahan. Mataku membulat sempurna. Jujur aku sangat terkejut dengan berita ini, namun kemudian cepat-cepat mengatur emosi. Mengontrol diri. Aku tidak ingin terlihat di depan Alina.
Bagaimanapun, dia sangat tidak enak hati membicarakan masalah ini denganku.
“Wah, siapa lelaki beruntung itu?” Tanyaku antusias dengan senyum yang kucoba berikan padanya.
“Ceritakan padaku, siapa lelaki beruntung itu.” Lanjutku padanya.
“Dia adalah pemilik toko tempat aku bekerja Kak. Tinggi, baik dan tampan. Walaupun dia jarang bicara dan cenderung pendiam seperti Kakak. Tapi aku yakin dia adalah lelaki yang baik. Aku sangat mencintainya, dan aku juga merasakan betapa dia sangat mencintaiku.” Aku mengangguk-angguk mendengarkan penjelasannya.
“Lalu?” Tanyaku lagi.
“Apa Kak?” Alina mendongak, menatapku. Aku melihatnya dengan tatapan serius.
“Lalu apalagi, makksud Kakak bagaimana kelanjutan hubungan kalian?”
“Dia, berencana untuk melamarku Sabtu ini.”
“Apa?” Aku tidak bisa lagi mengontrol suaraku. Secepat inikah mereka akan menikah, maksudku sudah berapa lama mereka saling mengenal. Atau apa hubungan mereka benar-benar sangat serius?
“Maaf Kak ….” Alina menunduk, dia seperti merasa bersalah padaku.
“Maksud Kakak, sudah berapa lama kalian saling mengenaal dan berhubungan?” Tanyaku hati-hati. Tanganku terulur mengelus kepalanya.
“Belum lama Kak, hanya selama aku magang di toko itu saja. Kami beberapa kali bertemu, makan bersama teman-teman yang lain. "Terus …” Suaranya melambat dan menggantung di udara.
“Terus?”
“Terus, hanya tiga kali kami makan hanya berdua saja. Dan makan bersama yang ketiga kali, dia melamarku.”
“Hmmm, aku belum memberikan jawaban padanya Kak. Aku ragu untuk melangkah ke jenjang lebih serius untuk saat ini. Tapi, aku juga tak mau kehilangan dia. Aku harus apa Kak?”
“Bagimana dengan ibu?”
“Ibu. Aku belum membicarakannya. Aku ingin pas dia datang saja Kak, biar dia yang bicara langsung kepada ibu. Kakak gimana?”
Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Tak bisa dipungkiri, ada rasa kecewa dan rasa sedih di hati ini. Saat ibi beberapa kali memintaku menikah, ternyata adikku yang lebih dulu menemukan belahan jiwanya. Oh ibu, aku harus bagaimana?
Mengatakan yang sejujurnya apa yang tengah aku rasakan, rsanya tidak mungkin. Jika Alina yang lebih dulu menemukan jodohnya, aku tidak berhak menghambatnya. Terlih jika mereka berdua telah saling mencintai.
“Baiklah, Sabtu besok kita sambut calon adik iparku. Setelah dia datang dan bertemu ibu, biar Kakak yang menjelaskan pada ibu kondisinya. Bagaimana?”
Mata Alina membulat sempurna dengan binar bahagia yang terpancar jelas. “Makasih Kak.”
Malam ini terasa begitu panjang dan sunyi.
Setelah obrolan tadi, mataku tak bisa sedikit pun terpejam. Ah, beginikah nasibku. Berkutat dengan pekerjaan sehingga jodohku menjauh. Aku memang wanita yang tidak menarik. Dibanding Alina, aku sangat jauh tertinggal.
Alina adalah wanita yang berparas cantic, kulit putih. Dia cenderung mirip ayah. Kulitku mengikuti ibu yang berkulit sawo. Jika Alina mengikuti sifat ibu yang supel, aku mengikuti sifat ayah yang pendiam dan suka menyendiri. Alina memiliki banya teman, sedangkan aku sangat susah untuk bergaul.
Untuk saat ini aku merasa Alina sangat beruntung, tidak seperti aku yang tidak pernah memiliki teman dekat seorang lelaki manapun.
“Anna wanita hebat, siapapun kelak yang akan menjadi jodohmu. Dia adalah lelaki yang sangat beruntung.” Begitu kata ibu saat aku mengatakan padanya tidak ada lelaki yang menyukaiku.
“Anna sangat istimewa sayang. Ibu tidak akan menyerahkan kamu pada lelaki sembarangan. Akan ibu pastikan jika lelaki itu akan mencintaimu sepenuh hati.”
Ah ibu, dimanakah lelaki baik itu? Tidak terasa air mataku menetes di pipi. Akhir-akhir ini aku sangat cengeng.
Hari Sabtu yang ditunggu pun tiba. Sampai di hari ini, aku dan Alina tidaak membahas masalah ini pada ibu. Kami tetap merahasiakannya. Aku ingin lebih dulu melihat siapa lelaki itu dan bagaimana dia.
Beberapa masakan telah terhidang di meja makan, aku berencana makan bersama dengan lelaki yang akan datang menemui ibu pertama kali. Sengaja aku masak sendiri, aku ingin mengobrol langsung dengannya.
Ck, aku lupa menanyakan siapa nama lelaki itu. Duh, ini yang datang seorang lelaki yang mencintai adikku. Kenapa segugup ini.
Jam telah menunjukkan pukul satu siang, waktunya makan siang. Tapi lelaki itu belu datang, bahkan Alina pun mendadak pergi. Apa yang akan terjadi setelah ini.
Terdengar percakapan ibu dengan seseorang di depan. Siapa? Aku bergegas menuju pintu depan. Astaga. Boss besar.
Mataku membulat sempurna, perasaanku semakin tidak keruan. Bagaimana mungkin boss Daavid tahu rumahku, padahal saat dia mengantar pulang aku sellau berhenti di depan swalayan.
Kami bertiga duduk di ruang tamu. aku bersebelahan dengan ibu dan boss David di sebrang kami. Dia terlihat sangat gugup.
“Ini putriku, kamu berniat melamar putriku kan?” Kalimat ibu memacahkan kebekuan diantara kami. Aku dan boss David saling pandang lama. Bagaimana mungkin?
Aku terkejut sekaligus bahagia dengan apa yang aku dengar, semburat merah di pipi tidak mampu lagi aku sembunyikan.
“Maksud ibu apa?” Aku menoleh ibu dan bertanya bingung.
“Ini lho Sayang … Nak David ini mau melamar putri ibu. Lho, putri ibu yang siap menikah kan cuma kamu. Iya tho?” ibu menjawab dengan antusias. Senyum itu terus terkembang tanpa ada yang mampu melayukannya.
“Bagaimana ini Boss?” Tanyaku bingung pada boss David. Dia hanya bergeming, tampak jelas raut kebingungan di wajahnya. Beberapa kali tenggorokannya naik turun menelan cairan di dalamnya.
“Anu, itu ….”
“Niat baik harus segera di laksanakan tho?”
Alina masuk dengan wajah bingung, aku melangkah menghampirinya. “Alina, ini bossnya Kakak di tempat kerja.”
“Boss, ini adikku.” Aku saling memperkenalkan meeka. Sekilas tampak tubuh mereka berdua tegang, mereka bersalaman dengan canggung. Tiba-tiba ibu menyela.
“Ini lho Alin, calon kakak iparmu. Kamu setuju kan?"
Seketika Alina terbatuk, aku bergegas mengambil air dan membantunya minum. Lalu menepuk-nepuk punggungnya.
Selanjutnya, ibu mengajak kami ke meja makan. Tidak ada yang memulai obrolan di meja makan. Kami semua makan dengan tenang, hanya terdengar dentingan sendok dan piring yang beradu.
Usai makan, aku membereskan peralatan kotor menuju dapur. Ibu sibuk mengajak ngobrol boss David, tampak Alina mendeengarkan dengan serius. Aku tidak sanggup berkupul di suasana yang canggung ini.
“Gimana, enakkan masakan Anna. Dia memang jago masak. Walaupun sibuk di kantor dengan pekerjaan yang menumpuk dan selalu pulang malam. Anna selalu menyempatkan diri memasak . dia juga yang menyekolahkan adiknya ini sampai kuliah. Anna memang anak yang istimewa. Dengan sifatnya yang tertutup, ibu khawatir tidak akan ada lelaki yang datang menemui ibu untuk melamarnya. Ternyata ibu salah, nasib baik masih berpihak padanya.” Ujar ibu panjang lebar. Ku lihat boss daan Alina hanya diam dan menunduk saja.
Sebenarnya aku merasa khawatir, makanan ini aku masak untuk menyambut tamu laki-lakinya Alina. Tapi sampai jam segini dia belum juga menampakkan batang hidungnya. Malah boss David yang datang kemari.
Apa mungkin Alina dan boss David saling mengenal? Tidak-tidak. Tidak mungkin.
Aku berusaha menepis semua kemungkinan-kemungkinan yang terjadi diantara mereka berdua. Melihat ibu sangat antusias dengan kehadiran boss David saat ini, tidak tega rasanya mematahkan semangatnya.
Sepulang boss David, Alina hanya diam saja tanpa suara. Dia langsung masuk kamar. Aku menyusulnya, sungguh aku sangat khawatir melihat keadaannya. Dia terlihat sangat menyedihkan.
Ku ketuk pintu berulang kali, ku putar knop. Di kunci. Ku ketuk lagi. Tidak ada jawaban dari kamarnya. Aku menu dapur menyiapkan the hangat untuknya. Mungkin saja dengan teh hangat ini perasaannya bisa membaik.
Aku kembali menuju kamarnya dan mengetuknya. Syukurlah, pintu terbuka. Aku masuk meletakkan teh di atas nakas lalu duduk menghadapnya.
Memegang pundaknya seraya menanyakan keadaannya. “Apa yang terjadi?”
Alina menggeleng, matanya memerah. Bibirnya mengerucut, dia cemberut. Hening, tidak ada jawaban.
Mungkin dia sedang butuh sendiri. Aku berdiri berpamitan padanya. “Baiklah, kalau begitu Kakak keluar ya.”
Namun, tangannya tertarik olehnya. Aku menoleh. Alina terlihat sangat rapuh, bening-bening Kristal siap meluncur dari mata yang brkaca-kaca. Aku mendekat memeluknya erat, sangat erat.
“Kakak d isini. Kakak di sini.” Ucapku berulang kali.
Alina menangis sesunggukan. Dia terisak di pelukanku. “Dia tidak datang Kak, dia tidak datang.”
Jadi, lelaki itu tidak jadi datang hari ini. tentu saja hatiku sangat panas mendengarnya. Pikiranku penuh olehnya, rasanya aku ingin memukul dan menghajar lelaki itu. Berani-beraninya dia menyakit adik kesayanganku satu-satunya.
“Kamu tahu alamat rumahnya?”
“Ma-u a-pa Kak?” Suara Alina terbata. Dia melepaskan pelukanku.
“Kakak ingin menghajarnya dan membawanya kemari. Berani sekali dia mempermainkan adik kesayangan Kakak.”
Alina tertawa dengan suara sangau habis mennagis. “Tida usah Kak, aku tidak ingn behubungan lagi dengannya.”
Ck, hubungan yang kandas bahkan saat akan memulainya. Begitu rapuh jiwaa mereka ini, cinta yang tadinya begitu diagungkan seketika sirna oleh rintik-rintik hujan. Cinta itu kadang seperti istana pasir, mudah dibangun mudah pula ia sirna oleh rasa kecewa.
“Baiklah, tapi jika kamu ingin Kakak menemuinya. Akan Kakak lakukan dengan setulus hati. Kau tahu?”
“Hmmm.” Dia mengangguk. Kami berpelukan kembali.
Setelah hari itu, tidak ada lagi percakapan tentang lamaran ataupun boss David. Hari di lalui seperti tidak pernah terjadi apapun. Di kantor pun begitu. Boss sibuk mengerjakan proyek yang akan deadline. Aku sibuk membuat laporan. Tidak ada bahasan pribadi di antara kami.
Sempat aku bertanya-tanya, bagaimana kelanjutan dari kisah kita? Tapi ku tepis pertanyaan itu. Aku memilih diam, fokus menyelesaikan pekerjaan saja.
Menatap punggungnya dari lobi. Malam ini aku kembali pulang larut. Tidak ada lagi kejutan sang pangeran tampan menemuiku dan mengajak pulang. Tidak ada.
Ah, siapalah aku. Dia, boss besar itu begitu jauh untuk aku jangkau. Saat aku ingin melangkah padanya, dia seakan berlari menghindariku. Tidak ada lagi kemarahan saat aku mengumpulkan tugas, tidak ada lagi sapaan saat aku berpapasan dengannya, tidak ada lagi senyuan sinis yang aku terima. Tidak ada, tidak ada lagi.
Aku rasa, sudah waktunya aku bangun dari mimpi. Mimpi indah ketika dia datang kerumah. Mimpi indah ketika dia yang kata ibu melamarku. Kejadian itu hanya mimpi indah pengantar tidur. Sekarang sudah waktunya aku bangun, kembali ke dunia nyata.
Lama aku menunggu ojek yang mau menerima orderan. Badanku menggigil, gerimis mala mini di tambah aku yang sering telat makan. Malam ini aku kalah. Badanku menggigil kedinginan, hangat terasa di sekujur tubuh ini. sampai di rumah ibu menyelimutiku dengan selimut tebal.
Pagi ini aku memaksakan diri berangkat kerja, karena hari ini adalah laporan terakhir dari pekerjaan proyek yang ditangani langsung boss David. Berulang kali ibu merayuku agar aku izin, berulang kali pula aku menolak rayuannya. Aku hanya izin datang telat hari ini.
Sampai di kantor aku telah di tunggu di ruang boss David. Beberapa kali aku bersin, kepala terasa berat. Huft mengumpulkan laporan dengan tenaga yang kurang fit rasanya tidak memuaskan. Mau bagaimana lagi.
“Kamu sakit?” Tanya boss David sambil menerima laporanku.
“Tidak Boss, aku hanya sedikit flu.” Jawabku dengan suara sangau.
“Kenapa kamu memaksakan diri untuk bekerja dengan kondisi seperti ini. ck” suara boss David penuh penekaanan.
Aku tertegun sejenak melihat ekspresinya. Apakah dia sedang khawatir padaku. “Aku tidak apa-apa. Hatcih.”
“Manda, pending rapatnya. Aku ada urusan sebentar.”
Aku bengong mendengar boss David berbicara via telepon dengan sekretarisnya.
“Ayo ….”
“Tapi ….”
“Aku akan mengantarmu pulang.”
Di dalam mobil tidak ada percakapan diantara kami. Sesampainya dirumah ibu menyambut dengan khawatir.
“Masuk Nak …. Langsung diantar ke kamar saja ya.”
Boss David mengantarku ke kamar. Aku merebahkan diri di ranjang, ibu menyelimuti tubuhku sampai batas pundak.
“Terima kasih Nak David. Tadi ibu sudah melarangnya bekerja, tapi Anna bandel sekali.”
“Iya, bu. Sama-sama.”
“Oh iya, jadi kapan rencananya Nak David melamar Anna secara resmi.” Glek.
“Ibu ….” Suaraku pelan memanggil wanita yang telah melahirkanku itu. Malu sekali rasanya.
“Secepatnya Bu. Setelah proyek saya di sini selesai.”
“Oh ya, kami menunggu itu.” Balas ibu dengan wajah sumringah.
Tinggallah kami berdua. “Terima kasih Pak.” Ucapku pelan.
“Hmmm, sama-sama. Aku kembali ke kantor ya. Kamu istirahatlah.” Balasnya dengan nada datar. Ah, aku merindukan nada ini. Nada suara yang membuatku seakan melayang.
“Oh iya, kemejanya. Besok saja ya saya kembalikan.”
“Oke.”
sungguh menyebalkan
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
semangat