Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. masih cemburu
Pintu mobil tertutup pelan. Amara duduk dengan napas masih tak beraturan, wajahnya memanas, dan jantungnya seperti baru saja disetrum. Ia menatap lurus ke depan, tangan meremas rok seragamnya erat. Zico mengintip dari sisi kemudi, ekspresi khawatir langsung muncul.
“Nona … Anda oke?” tanya Zico hati-hati.
Amara tidak menjawab, bibirnya masih terasa hangat bekas ciuman yang sama sekali tidak ia duga. Dia mengangkat jemari, menyentuh sudut bibirnya seperti mencoba memastikan itu benar-benar terjadi.
Zico semakin gelisah. “Nona, wajah Anda merah banget. Tadi Kapten Shaka bilang apa? Dia ... apa dia bikin Anda tidak nyaman?”
Amara menutup mata sebentar, mencoba menetralkan napas yang naik turun.
“Tidak … bukan begitu.” Suaranya pelan dan bergetar.
Zico menelan ludah. “Saya … melihat dari tadi Kapten Shaka kayak … nggak bisa fokus kalau Nona ada di ruangan itu.”
Amara mengalihkan wajah ke kaca jendela, menatap pantulan dirinya. “Dia … tetap sama. Tetap seenaknya.”
“Nona Amara, Anda masih mencintai Kapten Shaka, ya?” Pertanyaan itu menghantam tepat di tempat yang paling lemah. Amara menahan napas bahkan menahan air mata yang tidak boleh tumpah.
“Cinta itu … tidak selalu cukup,” gumamnya lirih. “Dan dia selalu datang terlambat.”
Zico menatap Amara lama, hatinya ikut sesak. “Kalau gitu … biar saya yang bilang ini.” Ia mencondong sedikit tubuhnya. “Anda berhak bahagia, Nona. Bukan cuma jadi seseorang yang Kapten Shaka perlakukan semaunya.”
Amara tersenyum tipis, danpahit. “Aku tahu.”
Dia menarik napas panjang, mencoba mengusir sensasi hangat di bibirnya, mencoba menepis debar dadanya. Namun tubuhnya masih sangat sadar akan sentuhan Shaka, seolah memori itu baru saja tertanam.
“Zico,” panggilnya lirih. “Tolong … jangan tanya apa-apa lagi, ya.”
Zico mengangguk pelan. “Baik, Nona.”
Mobil melaju perlahan keluar dari area perusahaan. Di kursi penumpang, Amara memejamkan mata, satu tangannya menggenggam dada. Ia membenci dirinya karena jantungnya masih berdebar seperti itu.
Ia membenci fakta bahwa meskipun ia yang memilih bercerai Shaka masih menjadi satu-satunya lelaki yang bisa membuatnya gemetar hanya dengan satu ciuman.
Dua hari berlalu, sejak ciuman pertama setelah enam tahun berpisah.
Lampu kristal berkilauan, musik lembut mengalun, dan seluruh ruangan dipenuhi orang-orang penting dari industri penerbangan. Malam itu semua penerbangan besar menghadiri acara bergengsi tersebut, Wirantara Air, Marvionne, dan Garuda Air ada beberapa penerbangan lainnya.
Amara melangkah masuk bersama pamannya, Arya. Gaun hitam simpel namun elegan membalut tubuhnya, rambut disanggul rapi tampilannya membuat beberapa kepala otomatis menoleh.
“Keponakanku selalu mencuri perhatian,” gumam Arya dengan bangga. Amara tersenyum tipis, dia tidak sedang ingin menjadi pusat perhatian, apalagi ketika ia tahu Shaka pasti hadir.
Dan benar saja, dari sisi ruangan, Shaka masuk bersama Haris. Sosoknya gagah dengan setelan gelap, bahunya lebar, wajahnya tegas, kapten kebanggaan Wirantara yang selalu menjadi sorotan. Namun malam itu matanya hanya fokus pada satu orang, yaitu Amara.
Shaka berhenti sejenak tanpa sadar, rahangnya mengeras. Haris memerhatikan perubahan itu dan hanya menghela napas panjang.
“Baru masuk udah tegang, Kapten?” goda Haris. Shaka tidak menjawab, sorot matanya tidak pernah lepas dari mantan istrinya. Namun detik berikutnya, suasana berubah. Arya menghampiri sekelompok tamu baru salah satunya pria muda yang tampan, berkelas, dan membawa aura percaya diri khas pewaris perusahaan besar.
“Tuan Muda Pratama,” ujar Arya bangga, “izinkan saya memperkenalkan ini keponakan saya, Amara.”
Pria itu tersenyum ramah pada Amara, mengulurkan tangan.
“Senang bertemu dengan Anda, Nona Amara. Saya Raja Pratama. Mendengar banyak hal tentang Anda di dunia penerbangan. Apalagi Anda satu-satu orang yang dipercaya membawa keberuntungan,"
Amara kaget tetapi tetap sopan. “Oh … terima kasih, Tuan Raja.”
Shaka yang berada tidak jauh di belakang mereka, sedang pura-pura berbicara dengan tamu lain, langsung berhenti. Ia memiringkan kepala sedikit, mendengar jelas percakapan itu.
Mata Shaka menggelap, Haris menyikut pelan.
“Eh, Kapten … matanya jangan menusuk begitu. Itu tamu perwakilan dari Garuda Air, loh.”
Shaka menoleh ke Haris sebentar, suaranya dingin. “Kenapa Tuan Arya memperkenalkan Amara ke dia?”
“Karena itu normal di acara sosial?” Haris menjawab canggung.
Sorot mata Shaka kembali ke arah Amara yang kini sedang tertawa kecil mendengar candaan Raja Pratama. Dan itu menyulut api di dada Shaka.
“Terlalu dekat,” gumam Shaka.
“Kapten … mereka cuma ngobrol.”
“Dia menatap Amara terlalu lama.”
“Itu … normal?”
Shaka memutar gelas sampagne di tangannya, tapi genggamannya terlalu kencang, sendokannya berubah tegang, seperti ia mencoba menahan diri agar tidak melangkah dan menarik Amara pergi.
Raja memberi komentar lain yang membuat Amara tersenyum. Dan senyum itu, senyum yang sudah dua bulan tidak ia dapatkan seperti pisau yang menyayat kesabaran Shaka.
“Sepertinya Tuan Muda itu tertarik, Kapten,” ujar Haris pelan, mencoba bercanda.
Shaka menatapnya tajam. “Itu masalahnya.”
Haris langsung terdiam, Shaka membenarkan jasnya. “Aku akan ke sana.”
“Kapten! Jangan bikin heboh!”
Tapi Shaka sudah melangkah, tubuhnya tegap, langkahnya mantap, dan tatapannya tajam seperti pesawat yang sudah memutuskan target.
Hati2 kapten Shaka, hari ini Amara berhasil dan sasaran selanjutnya kamu kapten Shaka