Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Teguran
Nampan berisi teh hangat di tangan Bu Iffah bergetar hebat ketika ia mendengar kalimat terakhir dari majikan suaminya. Ia berdiri terpaku di ambang pintu ruang tamu rumah sederhana itu, matanya membelalak, dan wajahnya seketika pucat pasi.
"Ya Allah ...," gumamnya lirih. Tangannya refleks menguatkan pegangan pada nampan ketika hampir saja cangkir teh tumpah. Langkah cepatnya menapak masuk ke ruang tamu.
“Maafkan kami, Tuan,” ucap Bu Iffah dengan suara yang tertahan oleh tangis, lututnya terasa lemas namun ia berusaha tetap berdiri tegak. “Tolong jangan pecat suami saya. Mohon jangan ....”
Papa Wijatnako sudah berdiri, matanya menatap tajam pada wanita paruh baya itu yang kini menunduk penuh penyesalan. “Saya tidak menyangka, Iffah … Saya benar-benar tidak menyangka kalian bisa sekejam ini pada anak kandung kalian sendiri.”
Aiman hanya menunduk di sisi lain, sementara tangannya mengepal erat. Ia tidak bisa membantah, tidak bisa membela diri. Rasa malu dan bersalah mencekik tenggorokannya.
“Kenapa?” tanya Papa Wijatnako pelan namun penuh tekanan. “Karena kalian malu? Karena tetangga bergosip? Karena kalian takut tidak bisa menegakkan kepala karena Shanum pulang dalam keadaan berbeda? Karena dia sudah berzina dengan anak saya?!”
Bu Iffah mulai terisak. “Bukan begitu, Tuan … kami … kami hanya tidak tahu harus berbuat apa. Shanum berubah … dan waktu itu, saya sangat kecewa. Saya marah. Saya tidak bisa menerima dia kembali dalam keadaan seperti itu.”
“Keadaan seperti apa?” sela Papa Wijatnako, suaranya meninggi. “Seperti apa, Iffah? Anak kalian pulang dalam keadaan hancur, terluka, dikhianati, dan tidak punya siapa-siapa. Dan kalian ... justru menutup pintu rumah kalian untuk dia? Mengusirnya, kan!”
Ia menghembuskan napas panjang, menahan emosinya yang semakin memuncak.
“Aiman, kamu tahu ... saya bisa maklumi jika yang mengusirnya orang luar. Tapi kamu?” Mata Papa Wijatnako menyipit menatap lelaki yang pernah ia percaya menjadi sopir sekaligus teman diskusi saat perjalanan panjang. “Kamu itu ayahnya!”
“Tuan …,” Aiman mencoba bersuara, namun hanya keluar seperti bisikan yang tenggelam dalam sesal.
“Sudah. Tidak perlu pembelaan basi. Saya sudah tahu cukup banyak.” Papa Wijatnako berjalan ke arah pintu.
“Tapi … Tuan... pekerjaan ini satu-satunya sumber penghasilan keluarga kami,” pinta Bu Iffah sambil meraih lengan bajunya. “Saya mohon, berikan kami kesempatan. Kami menyesal … sungguh menyesal.”
Papa Wijatnako menoleh perlahan, wajahnya keras. “Lalu kenapa tidak mencari Shanum? Kenapa tidak mencarinya saat kalian tahu dia hilang tak memberi kabar? Tidak kah kalian berpikir dia mungkin sakit, terluka, atau bahkan lebih buruk? Atau kalian berharap dia tidak pernah kembali agar nama baik kalian tetap bersih? Kalian memang orang tua yang tidak punya hati sama menantu saya! Seburuk itukah Shanum di mata kalian. Hanya satu kesalahan kalian usir, kalian buang. Dan sekarang kalian meminta diberikan kesempatan. Sempat kah kalian berpikir dua kali saat mengusir Shanum!?”
Ucapan itu membuat Bu Iffah terduduk lemas di lantai, menangis dalam-dalam sambil memegangi dada. Aiman berjalan pelan mendekatinya, memegang bahunya, namun wanita itu hanya menggeleng dan menjauh, merasa tak layak bahkan disentuh suaminya sendiri saat ini.
Papa Wijatnako menatap mereka berdua dengan getir. Rumah kecil itu tiba-tiba terasa sesak oleh keheningan dan rasa bersalah.
“Kalian tidak perlu tahu di mana Shanum sekarang,” ujar Papa Wijatnako akhirnya. “Karena setelah ini, saya pastikan kalian tidak akan bisa menyakitinya lagi. Dan saya tidak akan menyerahkan cucu saya—jika nanti ada—kepada orang tua yang membuang anaknya hanya karena takut diomongin tetangga! Hidup kalian ini mau-maunya saja dikendalikan sama omongan tetangga, seakan-akan mereka yang membayar gaji padamu, Aiman.””
Suara itu membuat Bu Iffah tersentak. “C-cucu?”
Namun Papa Wijatnako tak menjawab. Ia melangkah pasti keluar dari rumah, menyusuri teras kecil yang kini dipenuhi tatapan para tetangga yang mengintip di balik jendela. Fatur, sopirnya, sigap membukakan pintu mobil. Namun sebelum masuk, Papa Wijatnako sempat menoleh sebentar ke arah rumah Aiman.
“Seharusnya rumah itu jadi tempat pulang, bukan tempat yang menyakitkan. Ingat itu baik-baik.”
Mobil mewah itu melaju meninggalkan gang sempit dengan batu-batu kecil yang berserakan. Suara mesin perlahan hilang, tapi gemanya tertinggal di hati yang hancur di dalam rumah itu.
Bu Iffah masih terduduk di lantai, wajahnya basah oleh air mata. Aiman hanya bisa berdiri terpaku, tak tahu harus berkata apa.
“Aku ... aku juga ibu yang gagal ...,” gumam Bu Iffah, nyaris tak terdengar. “Aku lah yang tegas mengusir anakku sendiri.”
Aiman menatap istrinya dengan perasaan campur aduk. Perasaan itu menyesakkan, menyesali setiap keputusan yang dulu mereka buat atas dasar emosi dan harga diri. Harga diri yang kini telah membuat mereka kehilangan kepercayaan seorang anak.
“Aku akan mencarinya,” ujar Aiman tiba-tiba. Suaranya pelan namun penuh tekad.
Bu Iffah menoleh dengan mata sembab. “Ke mana Ayah mau mencari?”
“Ke mana pun. Aku harus cari Shanum. Aku harus minta maaf ... sebagai ayah, aku tak pantas disebut manusia kalau membiarkan anakku sendirian di luar sana,” ucap Aiman lirih.
Namun, bahkan niat itu pun seperti dilemparkan ke ruang kosong. Mereka tak tahu harus mulai dari mana. Shanum tidak pernah meninggalkan pesan, tidak pernah mengabari, dan kini ... keberadaannya pun menjadi misteri.
Sementara itu, di dalam mobil yang melaju di jalanan besar, Papa Wijatnako menatap layar ponselnya. Video yang dikirim Bik Laras pagi tadi masih tersimpan, tak pernah ia hapus. Dalam diam, ia memutar kembali potongan adegan Shanum yang menangis, berteriak, memberontak saat Ervan mencium paksa bibirnya. Tangannya mengepal.
“Ervan, kamu harus memperbaiki semua ini ... atau Papa yang akan membuatmu melakukannya,” gumamnya lirih.
Fatur melirik tuannya dari kaca spion tengah. “Kita langsung ke kantor, Tuan?”
Papa Wijatnako menggeleng. “Tidak. Antar saya ke rumah sakit. Saya harus pastikan keadaan menantu dan calon cucu saya benar-benar baik-baik saja.”
Fatur mengangguk patuh, dan segera memutar arah. Mereka melaju ke tempat di mana gadis yang kini tengah menjadi pusat dari pusaran konflik itu beristirahat, tanpa tahu bahwa keputusan-keputusan besar sedang digodok di luar sana—yang akan mengubah seluruh hidupnya.
Bersambung .... ✍️
𝑚𝑎𝑘𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑚𝑜𝑚𝑚𝑦
𝑙𝑎𝑛𝑗𝑢𝑡💪💪💪💪💪