Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Makan Malam
Setelah pintu tertutup, Shanum menatap ke langit-langit lagi. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan tangis. Ia sudah terlalu lelah untuk menangis. Perutnya masih terasa tegang, meskipun infus yang mengalir ke tubuhnya perlahan membantu meredakan kontraksi.
Pikirannya kacau. Semua kata-kata Pak Wijatnako tadi terngiang dalam kepalanya, bercampur dengan bayangan wajah Ervan yang terlihat menyesal, tapi tetap pergi juga.
Ia membenci dirinya sendiri karena berharap terlalu banyak.
Lalu, suara pintu terbuka pelan.
Shanum menoleh dengan cepat, pikirannya sempat berdesir—tapi bukan Ervan yang masuk.
Seorang perawat perempuan masuk membawa nampan kecil berisi air hangat dan handuk.
“Maaf, Mbak Shanum. Saya bantu bersihkan badan sedikit ya, biar lebih nyaman. Nanti makan malamnya juga akan segera diantar,” katanya dengan ramah.
Shanum mengangguk pelan. “Terima kasih.”
Perawat itu dengan cekatan membantu membersihkan area sekitar tangan dan wajah Shanum, mengganti handuk kecil di dahinya.
“Mbak-nya tetap harus banyak istirahat. Hindari pikiran yang berat-berat dulu, ya. Kalau ada keluhan, langsung tekan bel atau hubungi kami.”
“Baik, Sus,” jawab Shanum.
Beberapa menit kemudian, makanan datang: sup ayam, bubur lembut, dan teh hangat. Shanum hanya menatapnya, tak ada nafsu makan sama sekali.
"Kamu kuat ya, Nak. Jangan ikut stres karena Ibu."
Tangis yang tadi ditahan, akhirnya mengalir juga. Tapi ia menekap mulutnya, menahan suara agar tidak memancing perhatian perawat. Bahunya bergetar.
“Kenapa ... kenapa kalian seperti ini? Kenapa kalian menginginkan Shanum keguguran ... anak Shanum nggak salah?” bisiknya lirih.
Di luar, malam benar-benar tiba. Langit Jakarta mulai gelap, dan lampu-lampu kota menyala satu per satu. Dari jendela ruang rawat VIP, Shanum bisa melihat gedung-gedung tinggi yang menjulang, seolah tak peduli pada kesedihan kecil yang terperangkap di lantai tujuh rumah sakit.
***
Sementara itu, Ervan sudah duduk di dalam mobil, memandangi jalan raya dengan pikiran melayang.
Ia tak tahu kenapa langkahnya terasa berat saat keluar dari ruang Shanum. Ia tak tahu kenapa perasaannya seperti ditinggal, padahal jelas-jelas ia yang meninggalkan.
Mobilnya melaju ke arah restoran tempat di mana ia sering makan bersama Meidina selama ini.
Tapi detak hatinya tertinggal di lantai tujuh.
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya ... ia merasa tidak ingin sampai di tempat tujuan.
***
LANTAI DUA RESTORAN MARBLE BLEU, JAKARTA PUSAT – 19.05 WIB
Mobil hitam dengan plat nomor khusus itu akhirnya berhenti di pelataran restoran. Seorang valet langsung sigap membuka pintu dan menyambut Ervan dengan senyum sopan, tapi tak mendapat balasan.
Langkah pria itu berat. Setiap gerakannya seperti dipaksa oleh waktu dan kewajiban, bukan keinginan. Ia menghela napas, memperbaiki jasnya sebentar sebelum akhirnya menaiki anak tangga menuju restoran mewah yang pernah menjadi tempat favoritnya dan Meidina—dulu, saat semuanya masih terasa sederhana.
Begitu pintu kaca dibuka oleh petugas, aroma anggur, daging panggang, dan lilin aromaterapi menyambutnya. Interior restoran itu seperti biasa: klasik, mewah, dan terlalu megah untuk malam yang rasanya terlalu muram baginya.
Waiter segera mendekat. “Selamat malam, Pak Ervan. Meja Anda sudah disiapkan. Ibu Meidina sudah menunggu,” katanya sopan, lalu memberi isyarat tangan untuk mengantar.
Ervan mengangguk pelan. “Terima kasih.”
Langkahnya mengikuti pelayan hingga tiba di sudut ruang privat restoran, dekat jendela besar yang menghadap ke lampu-lampu kota. Di sana, Meidina duduk anggun mengenakan dress satin merah marun yang membingkai tubuh jenjangnya. Rambutnya disanggul setengah, memperlihatkan anting berlian kecil yang berkilau di bawah lampu gantung kristal.
Begitu melihat Ervan, Meidina langsung berdiri. Senyumnya merekah, lalu dengan tanpa ragu, ia mengecup pipi Ervan singkat.
“Finally, Kak Ervan datang juga,” ucapnya dengan nada manja, meski sorot matanya menyiratkan kekesalan.
Ervan membalas dengan senyum seadanya. “Maaf, tadi siang ada rapat dadakan di kantor. Dan tidak sempat pamit langsung.”
Meidina menghela napas, lalu duduk kembali. “Ya ampun, kamu itu ya. Udah kayak hantu sekarang, susah banget dicari.” Ia menatap Ervan lekat-lekat. “Aku hampir kira kamu ngilangin aku pelan-pelan.”
Ervan tertawa kecil, paksa. “Tidak mungkin. Mana bisa aku ngilangin kamu?”
“Bisa. Kalau kamu mau,” balas Meidina sambil memainkan sendok peraknya. “Tapi aku tidak akan semudah itu nyerah.”
Pelayan datang membawa dua gelas wine dan menu. Meidina langsung memilih tanpa berpikir lama—steak wagyu favoritnya, salad keju, dan lava cake untuk penutup.
Ervan hanya memesan sup jamur dan air mineral. Ia tak punya nafsu makan sejak tadi.
“Boleh aku yang pesan anggur untuk kamu juga, Kak?” tanya Meidina sambil memiringkan kepala.
Ervan cepat menggeleng. “Nggak usah. Lagi nggak pengin minum.”
“Oh, kamu sekarang jadi makin boring, ya?” Meidina terkekeh kecil. “Atau jangan-jangan kamu lagi diet rahasia buat nikah nanti?”
Pertanyaan itu membuat Ervan diam sejenak. Tangannya mencengkeram pinggir meja, lalu perlahan merilekskan diri. “Mungkin,” jawabnya singkat.
Meidina tertawa renyah, lalu menyender ke kursi. “Gimana soal Om Wijatnako? Sudah dikasih tahu rencana pernikahan kita dimajukan?”
“Belum. Aku belum bertemu Papa,” jawab Ervan tanpa semangat.
Suasana hening sejenak, lalu pelayan kembali datang membawa makanan. Meidina langsung semangat saat melihat steaknya, sementara Ervan hanya menatap sup jamur yang mengepul ringan di depannya.
Malam itu harusnya jadi malam romantis. Tapi tidak untuk Ervan.
Pikirannya masih tertinggal di lantai tujuh rumah sakit. Masih membayangkan wajah Shanum yang pucat, suara lirihnya yang menyuruh Ervan pergi, dan kalimat terakhirnya yang pedih: "Selamat menikmati makan malamnya."
“Kak Ervan, kenapa sih diem aja?” Suara Meidina memecah lamunannya.
Ervan tersentak, buru-buru tersenyum. “Maaf. Tadi sempat baca laporan yang masuk ke email.”
Meidina memutar bola matanya. “Duh, jangan bawa kerjaan terus ke meja makan, dong Kak. Kita jarang banget ketemu sekarang. Aku pengen ngobrol serius malam ini.”
Ervan mengangguk. “Ya, maaf. Aku dengerin.”
Meidina meletakkan garpunya, menatap Ervan serius. “Aku tahu Kakak lagi banyak pikiran, dan aku ngerti. Tapi please ... jangan coba-coba menjauh kayak gini. Kita punya masa depan yang harus kita bangun. Kak Ervan udah tunangan sama aku hampir satu tahun. Dan aku tahu kamu sayang sama aku.”
Ervan menunduk. “Aku tidak bermaksud menjauh.”
“Tapi Kak Ervan agak sedikit berubah sejak tadi pagi.”
Bersambung ... ✍️