Eleanor tak pernah membayangkan akan bertemu Nicholas lagi, mantan suami yang bercerai darinya tujuh belas tahun silam. Semua berawal dari pesta rekan kerja yang ia datangi demi menemani sahabat kecilnya, William. Malam yang mestinya biasa berubah kacau saat tatapannya bertemu dengan Nicholas, lelaki yang dulu pernah ia cintai habis-habisan sekaligus orang yang paling ia hindari saat ini. Pagi hari setelah pesta, Eleanor menemukan dirinya terbangun tanpa pakaian di samping Nicholas. Pertemuan malam itu membawa hubungan baru dalam hidup keduanya. Apalagi setelah Nicholas dikejutkan dengan keberadaan remaja berusia enam belas tahun di rumah Eleanor.
Bagaimana takdir akan membawa hubungan mantan suami istri itu kembali? Atau justru Eleanor akan menemukan cinta yang baru dari seorang berondong yang sudah lama mengejar cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menggunakan Kuasa
Pierre meletakkan map di meja. Suara kertas beradu dengan kaca terdengar pelan tapi jelas di antara keheningan. Nicholas menatapnya lama sebelum membuka.Di dalamnya terdapat fotokopi tiket penerbangan ke Paris, tanggal 17 tahun lalu. Nama-nama penumpang: Eleanor Chen dan William Duval. Nicholas menggeser lembaran berikutnya. Catatan sewa apartemen di Rue de Universite. Kontrak listrik, rekening air, semuanya atas nama William Duval tapi tanda tangan Eleanor ada di setiap lampiran sebagai “penyewa kedua.” Di lembar terakhir, ada foto 14 tahun lalu yang diambil di balkon apartemen dimana William sedang memangku seorang anak kecil berambut gelap, sementara Eleanor berdiri di belakangnya tersenyum samar, seperti foto keluarga yang utuh.
Nicholas menatap lama, tangannya mengepal diantara helaian kertas. “Jadi setelah perceraian mereka pergi ke Paris bersama, lalu tinggal bersama hingga ada seorang anak.”
Pierre berdiri di seberang meja dengan tangan di belakang tubuhnya, suaranya tenang dan terkontrol. “Itu tampaknya benar, Tuan. Tapi hubungan mereka tidak seperti…”
“Tidak seperti apa?” potong Nicholas tajam, suaranya rendah namun menggigit. “Sialan…” desisnya dalam ketegangan.
Pierre tidak menjawab, ia tahu tuannya tidak ingin mendengar sudut pandang lain. Nicholas berdiri, berjalan ke arah jendela besar yang menunjukkan pemandangan seluruh kota. Refleksi dirinya di kaca tampak kusam, matanya merah karena kurang tidur. “Pria itu, bukan William. Dia… bukan orang yang bersamanya malam itu.” batinnya dalam hati.
Nicholas melangkah cepat, lalu duduk di kursinya. Ia menatap Pierre tajam, “Hanya ini saja?”
Pierre akhirnya berkata, “Tuan, sebaiknya Anda beristirahat….”
Ia menatap Pierre dengan sorot mata tajam yang hampir tak manusiawi. “Tutup mulutmu, Pierre.”
Pierre hanya mengangguk gugup, lalu berkata pelan, “Ada satu hal lagi yang harus Anda tahu, Tuan.”
Nicholas mendongak, nadanya dingin. “Katakan!”
Pierre menarik napas, membuka amplop kecil di dalam map lalu meletakkannya di meja. “Laporan terakhir dari orang kita di rumah sakit Saint-Luc. Madame Eleanor sedang hamil, sepuluh minggu.”
Nicholas terdiam, matanya perlahan menatap amplop itu seolah benda itu memancarkan cahaya yang membutakan. Ia menatap Pierre tanpa ekspresi.
“Sepuluh minggu?” suaranya rendah.
Pierre mengangguk. “Ya, Tuan.”
Nicholas menarik napas panjang, lalu tertawa kecil.
“Sepuluh minggu setelah malam itu,” katanya pelan. “Kau menyembunyikannya dariku. Sialan kau Eleanor.” Nicholas menatap kaca jendela lagi, ia yakin bayi itu miliknya.
Hujan turun tipis di jendela hitam mobil Bentley hitam itu. Kota Paris masih dingin, langitnya kelabu seperti lembar surat tua. Nicholas duduk di kursi belakang, jasnya rapi sempurna dan dasi hitam yang terpasang rapi menggantung di leher.
Pierre duduk di depan memegang tablet berisi laporan pagi. “Rapat proyek dimulai pukul sembilan, Tuan,” katanyapelan.
Nicholas hanya menjawab, “Kita datang sekarang.” Jam di dashboard masih menunjukkan pukul 08.12.
Mobil berhenti di depan bangunan yang sudah hampir jadi , proyek hotel kolaborasi antara Armand Group dan Institut Budaya Paris. Bau semen dan kayu basah bercampur dengan aroma hujan.
Begitu Nicholas turun, semua pekerja berhenti sejenak. Pierre membuka payung, menutupi tuannya dari gerimis, sementara Nicholas berjalan langsung ke ruang rapat yang sementara. Beberapa orang sudah berkumpul, menunggu di dalam ruangan. Di ujung meja, seorang perempuan muda berambut coklat kemerahan sedang mempersiapkan persentasi finishing interior pada layar besar. Sarah, salah satu desainer muda dari tim Eleanor. Ketika Nicholas masuk, semua orang berdiri.
“Duduk,” katanya pelan. Suaranya tenang, tapi setiap orang menunduk spontan seolah itu perintah militer.
Sarah menelan ludah, menekan remote di tangannya. “T-Tuan Armand, selamat pagi. Kami sedang membahas revisi tata ruang untuk lobby utama. Madame Chen sempat memberikan…”
“Di mana Madame Chen?” potong Nicholas, tanpa menaikkan nada.
Sarah terdiam, lidahnya terasa kelu. Matanya mencari Pierre seolah minta tolong.
Pierre menatap Nicholas dulu sebelum berkata, “Beliau sudah tidak lagi menangani proyek ini, Tuan.”
Nicholas mengalihkan pandangan pada Sarah. “Tidak lagi menangani? Maksudmu apa?”
Sarah menarik napas dengan gemetar. “Beliau mengundurkan diri kemarin, Tuan. Semua kontrak dengan pihak kami telah diselesaikan. Dendanya pun sudah dibayar penuh.”
Nicholas berjalan ke arah meja panjang, jarinya menyentuh permukaannya yang dingin.
“Denda,” katanya perlahan. “Kau tahu apa yang kulihat ketika seseorang membayar denda padaku, Mademoiselle Sarah?”
Sarah menggeleng cepat, wajahnya memucat.
“Itu artinya,” lanjut Nicholas lembut, “ia pikir bisa menebus proyekku dengan angka.”
Ia berhenti di depan layar yang menampilkan desain lobby bertema “Siluet Timur dan Barat.”
Gambarnya menampilkan kombinasi lampion merah muda lembut dengan batu marmer Prancis.
Nicholas menatap layar itu lama, lalu berkata datar, “Hilangkan semua unsur China. Eleanor yang merancang ini, bukan?”
Sarah menunduk. “Benar, Tuan. Tapi tema itu sudah…”
“Ganti.”
“Tapi…”
Nicholas berbalik tiba-tiba, suaranya meninggi hampir tidak terkendali. “Kau tidak dengar perintahku? Apa aku sedang meminta pendapatmu?”
Sarah terpaku, ketakutan. “Baik, Tuan.”
Hening panjang kembali menyapa. Nicholas merapikan jasnya.
“Pierre.”
“Ya, Tuan.”
“Kontak direktur Institut Budaya Paris. Aku ingin tahu siapa yang menandatangani surat pengunduran dirinya.”
Pierre ragu sejenak. “Tuan, mereka mungkin tidak akan memberikan informasi se…”
Nicholas memotong dengan nada ringan yang justru menakutkan. “Pierre, aku punya investasi tiga belas juta euro di proyek yang mereka tangani tahun ini. Kau pikir mereka akan menolak memberikan informasi itu padaku?”
Pierre menunduk. “Baik, Tuan.”
Nicholas mengambil ponselnya dari meja lalu berjalan keluar ruangan tanpa menoleh. Sementara itu Pierre mengikuti dari belakang, berusaha menyesuaikan langkah cepat tuannya.
Begitu mereka keluar ke koridor, Nicholas berkata datar, “Atur panggilan ke Institut Budaya Paris. Aku ingin mendengar jawaban keteledoran ini dari direktur mereka. Dan Pierre…”
Pierre menunduk, menunggu instruksi.
Nicholas menatap ke arah langit kelabu di luar kaca. “Pastikan mereka mengerti satu hal,” katanya tenang. “Mengizinkan Eleanor mengundurkan diri tanpa izinku, akan membuat mereka menanggung akibatnya.”
Sore itu William berdiri di galeri seninya di Rue Saint-Honoré, menatap berita di layar ponsel.
Nama “William Duval” terpampang di situs bisnis ternama dengan judul: “Armand Group Memutus Kontrak karena Pelanggaran Etika.”
Ia mengembuskan napas keras, lalu mencengkram ponselnya erat. Sebelum sempat bereaksi lebih lanjut, ponselnya berdering.
“Nicholas,” katanya tanpa basa-basi.
Suara di ujung sana terdengar tenang dan ramah, namun terkesan dibuat-buat seolah sedang menyiratkan ejekan.
“Kau masih di galeri? Aku dengar lukisanmu tak laku hari ini.”
William mengepalkan tangan. “Apa maumu?”
“Mauku?” jawab Nicholas pendek. “Kau tahu persis kenapa aku melakukan ini. Aku hanya mengambil kembali sesuatu yang seharusnya tidak pernah kau sentuh.”
“Eleanor bukan barang…”
Nicholas memotongnya. “Jangan pernah menyebut namanya! Kau tak pantas.”
William berusaha menahan amarah. “Kau tidak punya hak menghancurkan hidup orang hanya karena obsesimu, Tuan.”
Nicholas tertawa kecil. “Sayangnya kita punya cara pandang yang berbeda, William Duval.”
Hening sebentar sebelum sambungan terputus, William menatap layar ponsel lama-lama sebelum melemparnya ke lantai. “Sial…”
hny gara2 merasa tdk mendapat kasih-sayang & di beda2kan oleh orang-tua nya..
lanjut thor..
Nicholas sll ada utk Eleanor & Ellio ..
gerak cepat yg tdk di ragukan lagi hehehehe