Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.
Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!
Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.
“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Ceraikan Shanum!
Pipinya dicium! Mata Shanum menyalak, tapi sayangnya tangannya tidak bisa menggapai pipi suaminya.
“Kurang ajar!” sergahnya.
Ervan tahu mengapa gadis itu marah. “Saya tunggu di luar. Kalau butuh apa-apa, panggil ya.” Ervan tidak menunggu jawaban, langsung melangkah keluar dan menutup pintu kamar mandi setengah rapat. Kemudian mencoba menetralkan degup jantungnya yang sempat berirama cepat.
“Ish, kenapa bisa-bisanya aku mencium pipinya,” batin Ervan.
“Bisa-bisanya pria itu cium pipi Shanum! Emangnya Shanum ini cewek gampangan, mau disosor sana sini ... ergh! Laki-laki sama saja, dasar playboy!” Shanum geram, tangannya pun mengusap pipi bekas dicium Ervan.
Di luar, perawat menunduk sopan. “Terima kasih, Pak. Saya sangat menghargai bantuannya.”
Ervan hanya mengangguk dan menyandarkan punggungnya ke dinding, mengembuskan napas panjang.
Beberapa menit kemudian, suara pintu kamar mandi diketuk dari dalam.
“Suster, saya sudah.” Suara Shanum terdengar pelan.
Ervan langsung masuk kembali. “Mau ngapain? Yang Shanum panggilkan susternya, bukan Bapak? Atau mau ambil kesempatan dalam kesempatan lagi ... hah!” cerocos Shanum dengan mendelik curiga.
“Bisakah kita tidak ribut di kamar mandi? Suster mana bisa mengendong kamu keluar.”
“Enggak adik, enggak kakaknya, ternyata sama-sama mesum, otaknya sama. Menyesal sekali Shanum—“ Belum menyelesaikan kalimat, Ervan sudah menunduk. Dengan perlahan dan hati-hati, ia kembali menggendong Shanum keluar, lalu membaringkannya kembali di ranjang. Perawat segera merapikan posisi bantal dan menyelimutinya.
“Terima kasih ya, Pak. Saya lanjut cek tekanan darahnya dulu, ya, Bu Shanum. Dan nanti sekitar jam 9 akan ada pemeriksaan kembali dengan dokter Karina.”
Shanum hanya mengangguk lagi, kali ini matanya mulai tampak kesal melihat sosok suaminya yang kini berdiri di sisi ranjang.
Setelah pengecekan selesai, perawat pamit meninggalkan ruangan.
Suasana hening kembali tercipta. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak lambat.
“Sarapan dari rumah sakitnya mau kamu makan?” Pertanyaan Ervan memecahkan keheningan yang sempat terjadi di antara mereka berdua.
Shanum melengos dari tatapan suaminya yang kini menyodorkan piring yang berisikan roti panggang dan telor rebus.
“Tadi Bik Laras beli roti manis, mau saya ambilkan?” Ervan masih tampak berusaha membuat istrinya kembali berbicara.
Lagi dan lagi Shanum diam, malas membuka suaranya. Dan bersamaan itu pula ponsel milik Shanum yang diletakkannya di atas nakas berbunyi. Ervan yang masih berdiri antara sisi ranjang dan nakas menajamkan matanya.
‘Mas Yogi.’ Nama ini yang tertera di layar ponsel Ervan, lantas ingatannya berkelana saat ia menelepon Shanum tempo hari. Tangan Ervan tergerak mengambil ponsel Shanum, namun gadis itu lekas merebut darinya.
“Mas Yogi,” gumam Shanum sebelum menjawab panggilan telepon.
Dengan santainya Shanum menerima tanpa menatap Ervan yang menatap tajam padanya. “Assalamualaikum, Mas Yogi.” Suara Shanum begitu lembut dan ramah.
“Waalaikumsalam, Shanum. Sekarang kamu ada di mana? Kok belum datang ke toko. Ini tadi Mbak Tia ke kost’an kata bu kost kamu nggak ada?” cecar Yogi dibalik telepon.
Duh, Shanum baru teringat belum kasih kabar pada Tia atau Bu Ririn kalau hari ini tidak masuk kerja. “Shanum ada di rumah sakit, Mas. Kemarin waktu pas rapi-rapi barang di tempat acara ... Shanum jatuh kepeleset.” Terpaksa Shanum berkata bohong. Alis mata Ervan saling bertautan, matanya pun menyipit, sekilas Shanum melihatnya, tapi secepat mungkin ia mengalihkan pandangan ke arah jendela.
“Astaghfirullah, pantas saja kemarin kita cari kamu tidak ketemu. Kenapa kamu nggak kasih kabar. Sekarang dirawat di rumah sakit mana, nanti kalau sempat kita jenguk.”
“Eh, jangan repot-repot Mas Yogi, Shanum di rawat di rumah sakit Brawijaya, kemungkinan nanti sore juga sudah pulang kok,” balas Shanum, menolak secara halus. Bukannya kenapa-napa, pertama ia dirawat di ruangan yang begitu mewah, lalu yang kedua ada tunangannya Meidina. Ia tidak mau jadi gunjingan rekan kerjanya.
“Tidak merepotkan kok, namanya orang sakit ... ya harus dijenguk. Ya sudah, nanti kabari saja kalau memang sore sudah diizinkan pulang,” putus Yogi.
“Iya Mas, makasih banyak perhatiannya. Nanti Shanum kirimkan foto kalau memang Shanum dirawat, tidak bohong kok. Sekalian nanti juga akan minta surat izin dari dokter.”
“Oke, cepat sehat ya. Kalau begitu aku lanjut kerja, banyak orderan kue lagi.”
“Ya, Mas. Semangat kerjanya ya.” Shanum mengakhiri panggilan teleponnya.
“Eh!” seru Shanum terkesiap, ponselnya sudah berpindah tangan di tangan Ervan dan disimpannya ke dalam satu celana bahannya.
“Kenapa hp Shanum diambil? Kembalikan hpnya!” serunya dengan merentangkan tangannya mencoba menggapai badan suaminya.
“Agar bisa kamu foto selfie dan mengirimnya sama laki-laki yang bernama Yogi itu!” balas Ervan ketus.
Kening Shanum mengernyit, “Ya, memangnya kenapa?”
“Oh, jadi ini alasan kamu semalam minta kita bercerai. Karena sudah ada laki-laki lain yang akan bertanggungjawab! Dasar perempuan —“
“Murahan! Ya, Shanum perempuan murahan. Dan Shanum berhasil menjebak kakaknya kak Reinaldi. Biar Shanum bisa hidup nyaman dan jadi orang kaya dengan cara instan!” lantangnya dengan sorot mata tegasnya.
Ervan bergeming.
“PUAS! Inikan yang mau Bapak ucapkan! Sudah Shanum ucapkan sebelum Bapak mengotori mulutnya sendiri untuk mengatai perempuan miskin ini. Jadi tidak perlu repot-repot,” tegas Shanum.
Pria itu melangkah mendekat, Shanum menarik napasnya dalam-dalam dengan kembali memalingkan wajahnya ke arah yang berbeda.
“Shanum sangat menyesal meminta tolong. Shanum memang telah melakukan kesalahan, tapi bukan berarti harga diri Shanum seenaknya diinjak-injak! Lebih baik kita cerai hari ini juga. Talak lah Shanum. Masih banyak di luar sana laki-laki yang bisa menghargai—akh!”
Gadis itu terkesiap, dagunya terangkat secara paksa karena capitan jemari Ervan. Pandangan matanya beradu pandang dengan sorot mata suaminya yang begitu tajam.
Dalam per sekian detik pandangan mereka berdua terkunci, tanpa bersuara, dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
“Talak Shanum sekarang juga!” seru Shanum sembari menepis tangan Ervan, tapi justru salah satu tangan Ervan memegang tengkuknya, ia tak bisa memalingkan wajahnya.
“Lepaskan Shanum!!” pekik Shanum tak tahan.
Rahang Ervan mengeras, bahkan giginya menggertak melampiaskan emosinya yang tiba-tiba menguasai dirinya tanpa alasan yang tidak ia mengerti.
“Saya amat tidak suka kamu dekat atau menerima telepon dari pria lain. Mengerti!”
Shanum berdecih pelan, sudut bibirnya tersenyum miring. “Shanum tidak butuh penjelasan! Shanum hanya butuh ditalak sekarang juga, Shanum menyesal dan minta maaf!” sentaknya. Dan bersamaan itu juga tubuh Shanum tersentak, sampai-sampai salah satu tangannya memegang bahu suaminya saat pria itu duduk di sisinya.
Wajah pria itu semakin memerah, deru napasnya nampak naik turun. Shanum bisa merasakannya, bahkan gadis itu semakin tak kuasa melihat sorot mata Ervan yang seakan-akan sedang mengobrak-abrik perasaannya.
“Ingin bercerai?” Ervan berkata lantang, pandangan matanya pun turun ke bibir ranum milik Shanum.
Bersambung ... ✍️
𝑚𝑎𝑘𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑚𝑜𝑚𝑚𝑦
𝑙𝑎𝑛𝑗𝑢𝑡💪💪💪💪💪