Ana terpaksa menikah dengan seorang pria lumpuh atas desakan ibu dan kakaknya demi mahar uang yang tak seberapa. Pria itu bernama Dave, ia juga terpaksa menikahi Ana sebab ibu tiri dan adiknya tidak sanggup lagi merawat dan mengurus Dave yang tidak bisa berjalan.
Meskipun terpaksa menjalani pernikahan, tapi Ana tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dengan ikhlas dan sabar. Namun, apa yang didapat Ana setelah Dave sembuh? Pria itu justru mengabaikannya sebagai seorang istri hanya untuk mengejar kembali mantan kekasihnya yang sudah tega membatalkan pernikahan dengannya. Bagaimana hubungan pernikahan Ana dan Dave selanjutnya? Apakah Dave akan menyesal dan mencintai Ana? atau, Ana akan meninggalkan Dave?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maksudmu?
Malam itu sunyi. Angin malam berhembus lembut melalui celah jendela, membuat tirai kamar sedikit bergoyang. Ana duduk di kursi dekat lemari, matanya menatap lurus ke arah satu bingkai foto yang masih terpajang di kamar Dave.
Foto pertunangan Dave dan Bella.
Ana menyunggingkan senyum tipis, senyum yang lebih terasa seperti pahit di dalam hatinya. Wajah Bella dalam foto itu tampak sangat bahagia, begitu juga dengan Dave.
"Entah apa alasannya kau masih menyimpan foto ini?" bisik Ana pelan, jemarinya sedikit meremas ujung bajunya.
Matanya menelusuri setiap detail foto itu. Gaun Bella yang indah, tatapan penuh cinta yang diberikan Dave padanya... dan fakta bahwa sampai sekarang, Dave belum menurunkan foto itu dari dinding kamar.
"Aku sudah tahu," gumam Ana sambil menghela napas panjang. "Setelah kamu sembuh, kamu pasti akan mencarinya lagi, kan?"
Ia tersenyum lagi, lebih kepada dirinya sendiri.
"Lagipula, siapa aku?" Ana tertawa kecil, tapi suaranya terdengar getir. "Aku cuma seseorang yang kebetulan ada di sampingmu karena keadaan. Aku bukan siapa-siapa, Dave."
Ia melirik sekilas ke arah tempat tidur, melihat Dave yang sudah tertidur pulas setelah seharian kelelahan berlatih berjalan. Wajah pria itu terlihat tenang, tanpa beban.
"Setidaknya, sebelum semuanya berakhir, aku masih bisa menemanimu..." Ana menundukkan kepalanya, mencoba menahan rasa sakit yang entah sejak kapan mulai tumbuh di dalam hatinya.
Malam semakin larut. Ana menarik selimutnya erat-erat, mencoba mengusir dingin yang terasa menusuk. Bukan hanya dingin di udara, tapi juga dingin yang perlahan mengisi hatinya.
Malam semakin larut, namun Ana masih terjaga. Matanya enggan beranjak dari foto itu. Sebuah bukti tak terbantahkan bahwa hati Dave pernah, atau mungkin masih, dimiliki oleh Bella.
Ana menggigit bibirnya, seolah berusaha menahan sesuatu yang ingin ia lepaskan—sebuah perasaan yang bahkan tak seharusnya ada.
Ia menghela napas panjang, lalu berbisik lirih, "Setelah semua ini selesai, aku akan pergi..."
Suara gerakan di ranjang membuat Ana menoleh. Dave tampak menggeliat dalam tidurnya, napasnya teratur. Ia pasti sangat kelelahan.
"Setelah kamu bisa berjalan lagi... setelah semuanya kembali seperti dulu..." Ana tersenyum kecil, meskipun matanya terasa panas. "Aku akan menjauh. Aku janji, Dave."
Tangannya mengepal, mencoba menekan perasaan sesak yang mulai menyelinap di dadanya.
Ia berdiri perlahan, mendekati meja di mana bingkai foto itu berdiri. Jarinya menyentuh kaca yang melindungi gambar Dave dan Bella, membiarkan ujung kukunya menyapu halus permukaannya.
"Kamu pasti akan kembali padanya, kan?" gumamnya. "Dia yang ada di hatimu sejak dulu."
Ana memejamkan mata sejenak, mencoba menguatkan dirinya sendiri.
Namun, senyuman Bella dalam foto itu terasa begitu menusuk. Seolah menegaskan satu hal: Ana tak pernah menjadi bagian dari cerita ini.
Sebuah cerita yang sejak awal hanya tentang Dave dan Bella.
Dengan hati yang terasa berat, Ana memutar tubuhnya dan berjalan menuju ranjangnya sendiri. Ia berbaring dan menarik selimutnya hingga menutupi separuh wajahnya.
Malam itu, ia tidur dengan mata yang masih basah.
___
Matahari mulai menyelinap masuk melalui celah tirai kamar. Ana terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya terasa sedikit sembab, namun ia tetap bangkit dari tempat tidur dan menatap Dave yang masih terlelap.
Pagi ini terasa berbeda. Ada sesuatu di hatinya yang membuatnya sedikit enggan untuk tetap berada di sini. Tadi malam, ia telah memantapkan hati.
Ana menarik napas dalam, lalu bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Tangannya bekerja secara otomatis, namun pikirannya melayang.
"Apa aku benar-benar harus pergi?"
"Apa Dave akan baik-baik saja?"
Tiba-tiba suara langkah kaki di belakangnya membuat Ana tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Dave berdiri di ambang pintu dapur dengan bantuan tongkat.
Ana membelalakkan mata, terkejut.
"Kamu… sudah bangun?" tanyanya.
Dave menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ya. Aku bangun dan tidak menemukanmu di kamar."
Ana buru-buru tersenyum. "Aku sedang menyiapkan sarapan. Akku akan membantumu."
Dave mendesah pelan dan berjalan ke meja makan, meskipun dengan langkah yang masih kaku. Ana ingin membantunya, tapi Dave mengangkat tangan, memberi isyarat agar Ana tidak melakukannya.
Ana hanya diam, memperhatikannya. Pria itu benar-benar berusaha keras untuk berdiri di atas kakinya sendiri.
Ketika akhirnya Dave menikmati makanannya, ia menatap Ana dengan ekspresi penuh arti.
"Ana, kenapa semalam kamu menangis?"
Ana tersentak. Tangannya yang sedang menuangkan teh mendadak gemetar. "Aku… Aku tidak menangis."
Dave memiringkan kepala, jelas tidak percaya. "Matamu bengkak. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"
Ana mencoba tersenyum, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Aku hanya kurang tidur, itu saja."
Tapi Dave tidak bodoh. Tatapannya semakin tajam, seolah berusaha membaca isi hati Ana.
"Ana," panggilnya pelan. "Katakan yang sebenarnya."
Ana menggigit bibirnya. "Dave, ayo sarapan dulu. Setelah itu kamu harus latihan lagi hari ini."ljje
Dave mendengus. "Kamu selalu mengalihkan pembicaraan."
Ana tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil dan duduk di depannya, mencoba fokus pada sarapan yang telah ia siapkan. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu… Waktu untuk pergi semakin dekat.
Setelah selesai makan, Ana mendorong kursi roda Dave menuju ruangan kerjanya. Ana kaluar begitu saja meninggalkan Dave yang memandang bingung pada sikap Ana yang sering kali berubah-ubah.
"Dave, Ana kenapa?" tanya Andre yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
"Tidak tahu!" jawab Dave singkat.
Andre membuang napas pelan, rasanya ingin gila kalau memperhatikan rumah tangga Dave dan Ana yang sama sekali tidak jelas.
___
Sementara itu, di dalam sebuah apartemen mewah yang disewa oleh Lusi, Ratna dan Rani duduk di sofa dengan wajah masam. Sudah hampir satu jam mereka berusaha mencari cara untuk membuat Ana datang menemui mereka, tetapi tidak ada satu pun ide yang berhasil.
"Kenapa Ana keras kepala sekali?! Aku kakaknya, seharusnya dia menurut padaku!" Rani menggerutu sambil membanting bantal ke lantai.
Ratna yang duduk di sampingnya hanya menghela napas panjang. "Kita sudah coba segalanya. Mengancam, membujuk, bahkan memancingnya dengan kabar bohong soal aku sakit. Tapi dia tetap tidak mau datang."
"Kalau begini terus, kita tidak akan pernah mendapatkan bantuan dari Lusi," gumam Rani, menggigit kukunya dengan kesal.
"Kamu pikir Ibu tidak tahu itu?" Ratna melotot. "Lusi sudah mulai kehilangan kesabaran. Kalau kita tidak bisa mengendalikan Ana, dia bisa saja membatalkan janjinya untuk menjadikanmu artis!"
Rani langsung panik. "Terus gimana, Bu? Kita tidak bisa datang ke rumah Dave begitu saja. Kita sudah dilarang masuk!"
"Aku tahu!" Ratna menekan pelipisnya, mencoba berpikir keras. Tapi semakin ia berpikir, semakin buntu otaknya.
Suasana ruangan terasa tegang. Mereka benar-benar kehabisan ide.
"Tunggu… bagaimana kalau kita manfaatkan Andre?" Rani tiba-tiba berseru.
Ratna menoleh, sedikit tertarik. "Maksudmu?"
"Andre kelihatan peduli pada Ana. Mungkin kita bisa pakai dia untuk memancing Ana keluar," jawab Rani dengan mata berbinar.
Ratna mengangguk pelan, lalu tersenyum licik. "Itu bisa dicoba. Tapi kita harus cari cara yang lebih cerdas. Kita tidak boleh gegabah."
Meskipun belum menemukan rencana yang pasti, Ratna dan Rani akhirnya mendapatkan satu titik terang. Kini, mereka hanya perlu mencari cara yang tepat untuk mengeksekusinya.
"Ibu, aku tidak mau pergi dari apartemen ini. Lihatlah, kita seperti orang kaya," ucap Rani dibenarkan ibunya.
eh.... ada lagi kak othor, dave kan lumpuh kenapa tiba² jalan😭
kalo aku jadi ana, pasti aku akan minta uang bulanan. taat boleh tapi kesejahteraan diri harus prioritas🤭🤣