Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 11.
...« Adek mau jalan-jalan lagi »...
“Mas, please, ya? Bener cuma dua hari satu malam aja. Habis itu aku pulang. Gak ikut yang lain lagi.”
Arasya sedang berada di kamar Devan juga Senaza, mengganggu sepasang suami-istri itu dengan memohon meminta izin.
“Bilang sama Mami langsung aja kenapa sih?” ujar Devan malas. Malam-malam begini sangat enak jika dihabiskan untuk bermesraan dengan sang istri, tetapi entah dari mana asalnya bocah kematian itu datang merusuh.
“Ya bantuin makanya! Nanti tuh pasti gak dibolehin sama Mami kalau aku bilang sendiri.” Rengek Arasya sembari menggoyangkan lengan Devan.
“Ya udah jadi gak boleh. Gampang ‘kan? Sana balik.”
“Ihh, Mas Devan!!!!” teriak Arasya marah.
“Sama siapa aja, Dek?” Senaza bertanya setelah puas tertawa.
“Sama Dina, Elsa, Voni juga.”
“Cuma berempat sama kamu? Itu pun bocah semua. Mantap dah tuh, Mami langsung gak kasih izin.” Kompor Devan.
“Haaaa, Mas Devan tuh ngeselin banget, Kakak!” adu Arasya pada Senaza.
“Kakak juga gak akan kasih izin, Dek. Bahaya kalau gak ditemenin sama orang yang lebih tua.”
“OH!” Arasya tiba-tiba teringat sesuatu. “Ada kok, ada. Kakaknya Dina juga ikut, hehehehe. Jadi boleh, ‘kan?”
Mendengar ada yang asing, Devan segera menatap Arasya sembari menyipitkan matanya. “Kakak temenmu?”
Arasya mengangguk bersemangat.
“Ajak Mas Gavan sekalian aja. Pasti dikasih izin.”
“Lah? Kok? Gak mau ih! ‘Kan ini acara perempuan aja.” Arasya kembali merengek karena tidak setuju.
“Mas jelasin pelan-pelan. Dengerin. Kata kamu kemarin Mas Gavan deket sama Kakak temen kamu, ‘kan?”
“Iya ih, aku gak bohong, Mas! Terus apa hubungannya?!”
“Ya itu, kalau Mas Gavan sama Kakak temenmu itu bisa punya hubungan, udah deh. Langsung Mami kasih izin. Bukan cuma dua hari satu malem, seminggu juga dibolehin sama Mami.”
Arasya termenung setelah mendengarkan penjelasan dari Devan. Sedangkan si empunya sedang tertawa iblis di dalam hatinya. Merasa puas telah memanipulasi si kecil.
Senaza sebagai istri selalu merasa takjub dengan ide Devan yang sering kali muncul secara tiba-tiba.
”Nanti Mas pinjemin mobil deh buat kalian. Yang nyetir ‘kan bisa Mas Gavan tuh.”
Sebuah kesepakatan yang menggiurkan, tetapi Arasya menggeleng sebagai jawaban. “Enggak. Maunya tuh naik kereta, Mas. Aku juga pengen ngerasain naik kereta kayak gimana.”
“Oalah, ceritanya ini kamu pengen naik keretanya, Dek? Sama Kakak ‘kan juga bisa. Apalagi ngajak Mami.”
Penawaran selanjutnya terbilang masih bagus, Arasya sempat terdiam sebelum kembali menggelengkan kepalanya. “Aku juga mau nginep sama temen-temen.”
“Emang kamu bisa tidur?”
Pertanyaan dari Devan langsung membungkam mulut Arasya, sehingga membuat Devan tertawa terbahak-bahak.
“Bocah, bocah.”
“Terus gimana ih, Mas?” Arasya menjadi frustasi sendiri.
“Ya mau penawaran Mas yang pertama, ngajak Mas Gavan juga. Atau penawarannya Kakak, naik keretanya sama Mami juga.”
Pilihan yang sulit. Pilihan pertama, kenapa harus mengajak Gavan? Pilihan kedua sangat bagus, tapi Arasya ingin merasakannya bersama teman-teman terlebih dahulu.
“Mau ngajak Mas Gavan aja deh.”
Lantas, Devan tersenyum kemenangan. “Nah, sana ke Mas Gavan kalau gitu.”
“Loh, katanya mau bantuin?”
“Lah sejak kapan Mas iyain? ‘Kan Mas bilang kalau ngajak Mas Gavan, Mami langsung bolehin.”
“IH!”
Merasa terbohongi, Arasya menampar lengan Devan sekuat tenaga. “Aku aduin Mami!” ancamnya, kemudian kabur dengan cepat keluar dari kamar sepasang suami istri itu.
“Nyebelin banget. Tahu gitu dari awal gak usah minta bantuan Mas Devan!” gerutu Arasya sebab kekesalannya semakin memuncak.
“Ngapain?”
Suara berat yang khas menyambut pendengaran milik Arasya. Membuat si empu segera mendongak dan menatap sumbernya.
Mata Arasya menangkap entitas Gavan yang akan masuk ke kamarnya. “Mas habis dari mana?” tanyanya basa-basi.
“Habis dari bawah. Adek mau pulang? Mas anterin.”
Arasya menggeleng. “Mami masih di bawah?”
“Udah ke kamar tadi. Istirahat. Terus mau ke mana, Dek?”
“Mau ke kamar Mas Gavan.”
Si pemilik kamar tercengang beberapa saat, alisnya terangkat sebab masih tidak percaya atas jawaban yang diberikan Arasya.
“Ya ayo, masuk.” Ajak Gavan. Ia tidak ingin terlalu memikirkannya.
Setelah Arasya masuk dan tanpa malu-malu melemparkan diri ke ranjang Gavan. Si pemilik kamar menebak sesuatu akan terjadi.
Gavan memilih diam, ia ikut merebahkan dirinya di samping Arasya yang tidur tengkurap. Ini pertama kalinya setelah sekian lama Arasya tidur di kamar Gavan.
Ada rasa menggelitik di perutnya yang membuat hati Gavan berbunga-bunga. Meskipun Gavan tahu pasti bahwa akan ada sesuatu di belakang Arasya.
“Mas...”
Ini awal mulanya. Gavan sudah bisa menebak, walaupun belum pasti.
“Jadi, ‘kan, aku mau main sama temen aku.”
Gavan menganggukkan kepalanya, mengerti.
“Tapi mau nginep juga.”
Kedua alis Gavan otomatis terangkat lagi.
“Awalnya mau seminggu nginepnya. Tapi pasti gak dibolehin. Jadi aku ikutnya cuma dua hari satu malem aja. Terus habis itu pulang, gak ikut mereka lanjut.”
Baiklah. Gavan sudah mengerti arah tujuan Arasya ke kamarnya.
“Mau minta izin? Sini, hadap Mas yang bener. Jangan tiduran dulu.” Ujar Gavan yang segera dipatuhi Arasya dengan berat hati.
“Iya. Bantuin minta izin ke Mami. Tadi ke Mas Devan gak mau bantu. Malah disuruh ajak Mas Gavan biar langsung dibolehin Mami.”
Lalu Gavan memberikan beberapa pertanyaan yang langsung dijawab oleh Arasya. Seperti, kapan, dengan siapa, pergi ke mana saja, menginap di mana. Semuanya Arasya jawab tanpa ada yang ditutup-tutupi.
“Beneran bisa tidur gak? Kalau bisa, nanti Mas bantu ngomong ke Mami.”
Inilah pertanyaan yang sulit. Jujur, Arasya tidak bisa. Tetapi, jika dijawab seperti itu, ia tidak akan dibantu.
“Mas sibuk gak?”
Arasya justru balik melayangkan pertanyaan.
“Sibuk.” Jawaban asal dari Gavan membuat Arasya mendesah kecewa.
“Ya udah gak jadi aja perginya.”
Lalu setelahnya, Gavan dibuat panik karena Arasya meneteskan air mata.
“Lho, iya-iya Mas gak sibuk.” Gavan cepat-cepat meralat jawabannya.
Tidak ingin sesuatu terjadi seperti sebelumnya, Gavan segera mengangkat tubuh Arasya dan mendudukkannya di pangkuan.
“Iya, nanti dibantu sama Mas, ya? Udah cup, cup, jangan nangis.” Ujar Gavan sembari mengusap punggung kecil Arasya.
“Mas--- hiks, hiks, ikut juga.”
“Iya, Mas ikut juga. Udah ah nangisnya, nanti Mas dimarahin Mami.” Ucap Gavan yang ada benarnya.
Hening beberapa saat dengan Gavan yang sibuk menenangkan Arasya. Menepuk punggung Arasya, mengusap kepalanya, dan air mata yang berjatuhan.
Hingga akhirnya tangis Arasya mereda. “Kalau mau pulang Mas anterin.”
Arasya menggeleng dan bersembunyi di area ceruk leher Gavan. “Mau tidur di sini.”
Bibir Gavan tersenyum tipis. “Boleh. Ayo tidur sini.”
...« Terima kasih sudah membaca »...