"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 35
"Akting mu bagus juga, Kucing," ujar Gustav bangkit dari kasur.
Ia mendekat menyenderkan dagu pada bahu terbuka Gladys yang masih membeku.
"Kau sudah semakin pintar berpura-pura sekarang," desisnya.
"Siapa yang mengajarimu seperti ini, hem?"
Gladys mengigit bibir gugup mencengkram ponsel erat, jantungnya berdetak kencang. Matanya memejam takut ketika jari Gustav bergerak perlahan menarik kepalanya ke samping menghadap pada pria itu.
"Siapa yang mengajarimu?" ulang Gustav kali ini dengan nada penekanan.
Gladys menggeleng pelan, Gustav mengeram rendah, mengigit bibir gemas melihat reaksi ketakutan gadisnya, persis seperti anak kucing yang menyudut takut karena dimarahi.
Gustav menarik kembali Gladys berbaring ke atas ranjang, kali ini ia peluk erat-erat agar Gladys tidak bisa beranjak darinya.
"Besok tidak usah bekerja," ujar Gustav yang lebih seperti perintah.
"Kau tidak dengar aku?"
"De—dengar," jawab Gladys pelan. Barulah setelah berada di pelukan Gustav lagi dia berani membuka mata kembali.
Gustav mengangguk puas, hening beberapa saat di antara mereka hingga pria itu tiba-tiba melempar pertanyaan yang tidak pernah disangka oleh Gladys.
"Apa yang akan kau yang akan kau lakukan jika aku melepasmu?"
Gladys diam berpikir, sejenak lidahnya mendadak kelu, kediamannya malah membuat Gustav yang memiliki kesabaran setipis tisu menjadi kesal.
"Kenapa kau diam saja? Apa otakmu berhenti berfungsi?"
"Aku akan menikah," jawab Gladys spontan. Banyak sekali kata di dalam kepalanya tetapi entah mengapa hanya itu yang keluar.
Gustav mengerut dalam, kata terakhir yang gadisnya ucapkan membuat telinganya terganggu.
"Menikah?" ucapnya mengulang kata asing yang sangat ia benci itu.
"Ya, menikah dengan orang yang aku cintai. Aku juga berhak kan mengejar kebahagiaanku sendiri?"
"Kau punya?" tanya Gustav menunduk menatap wajah Gladys rumit.
"Punya apa?"
Gustav berdecak menyentil dahi Gladys kesal. Gladys memegangi dahinya yang sakit sambil cemberut.
"Apa kau memiliki pria yang kau cintai saat ini?"
Gladys menggeleng. "Tidak ada."
Pria itu tersenyum miring. "Lantas kau mau menikah dengan siapa, heh?" ejek Gustav. Jarinya mengapit dahu Gladys membawa wajah itu menghadap wajahnya.
Pria itu mengusap pipi kemerahan gadisnya yang lembut dan halus, mata bulat Gladys bergerak gelisah memikirkan sesuatu.
"Ada kok, pasti ada," jawab Gladys.
Gustav membuat raut wajah mengejek, jari-jarinya menelusuri belahan dada hingga perut Gladys yang terdapat bercak-bercak kemerahan hasil karyanya.
"Memangnya siapa yang mau dengan bekasku?" sinis pria itu menyesap leher Gladys kuat menambahkan satu jejak lagi di sana.
"Ah, aws ...," desis Gladys.
"Mulutmu jahat sekali, tentu saja ada pasti ada, aku kan cantik!" kesalnya menghapus sisa saliva Gustav di lehernya.
"Memangnya pria seperti apa yang ingin kau nikahi?"
Yang pasti bukan kamu!
"Em ... pria yang kaya dan tampan," celetuk Gladys yakin.
Gustav berdehem sombong, ia tersenyum pongah merasa jika pria kriteria Gladys itu sangat menggambarkan dirinya.
"Dan lembut," lanjut Gladys yang seketika membuat senyum Gustav surut.
Ruangan itu seketika hening. Gustav menatap Gladys diam dengan sorot mata tanpa ekspresi, kata-kata Gladys seakan menerbangkannya untuk sesaat lalu menjatuhkannya kembali ke bumi dengan keras.
"Lembut ya?" gumam Gustav tenang, nadanya datar seperti kubangan air tanpa riak.
Ketenangan yang malah membuat Gladys waspada, ia menunduk dengan wajah was-was, takut-takut Gustav merasa tersinggung dan marah padanya.
"Kalau begitu jawab jujur aku tipe yang kasar atau lembut seperti yang kau suka itu?" tanya Gustav masih dengan nada yang sama.
Gladys diam tidak berani menjawab.
"Jawab aku, Gladys."
Gladys menautkan jari-jarinya gelisah. "Em ... Itu ... berjanjilah kamu tidak akan marah dengan apapun yang aku katakan," ucap Gladys takut-takut.
"Janji." Dan entah mengapa Gustav memenuhi permintaannya. Padahal siapapun tahu jika ia adalah manusia dengan kesabaran setipis tisu, tempramen jelek dan mudah tersinggung.
Namun, dengan seorang Gladys ia bisa dengan mudah luluh, luluh oleh suara lembut yang merayu telinganya.
"Kamu kasar tidak ada lembut-lembutnya sama sekali, bicaramu, gerakmu, bahkan gaya bercinta mu juga sangat kasar," ucap Gladys jujur.
Rahang Gustav mengeras, ia mengigit pipi dalamnya kuat-kuat egonya tersentil tetapi tidak boleh marah karena sudah berjanji pada Gladys.
"Apakah aku se kasar itu?" tanyanya, Gladys mengangguk pelan.
Gustav menghela napas panjang, ia bangun dari kasur lalu memakai bajunya kembali.
"Kamu mau pergi ke mana?" tanya Gladys kebingungan.
"Bukan urusanmu!"
Gladys memilih bungkam setelah merasa jika mood pria itu tiba-tiba berubah, ia membiarkan Gustav dengan aktivitasnya memakai kembali baju-bajunya.
Setelah mengaitkan kancing terakhir lengan kemejanya Gustav melenggang pergi.
"Jangan pergi ke mana-mana, aku akan kembali besok pagi," perintahnya sebelum benar-benar pergi.
"Aneh," gumam Gladys heran karena tidak mau ambil pusing dia pun memilih untuk lanjut tidur.
***
Gustav menyalakan rokok, asapnya mengepul tipis di dalam mobil yang melaju cepat menuju apartemen Nick. Kata-kata Gladys masih berputar di kepalanya.
"Kasar. Tidak ada lembut-lembutnya sama sekali."
Sialan!
Gustav memukul stir mobil kesal, bukan kesal karena tersinggung atas kata-kata itu tapi kesal karena perkataan Gladys benar adanya.
Gustav bukanlah pria lembut. Sejak kecil ia di didik dengan keras dan mendominasi oleh orang terdekatnya, dia di doktrin harus menjadi orang yang kejam jika ingin dihargai dan sialnya doktrin itu berhasil memengaruhi psikologis Gustav hingga dewasa, ia pun tumbuh menjadi orang yang kasar tanpa empati.
Semula Gustav pikir beginilah caranya orang-orang seperti dia hidup namun ia menjadi ragu dengan pikirannya sendiri setelah bertemu dan bersama dengan Gladys selama tiga tahun.
Mobil berhenti di basement, Gustav bergegas masuk ke lobi dan menaiki lift untuk menuju unit milik Nick.
Begitu sampai di depan pintu Gustav masukin pin kunci dan masuk begitu saja menemui Nick di ruang tamu yang sedang merawat luka-lukanya.
Nick yang awalnya sedang meringis mengobati luka sendiri berdecak begitu melihat si pembuat luka tiba-tiba datang kemari.
"Jangan bilang kau datang karena ingin memukulku lagi?" decak Nick melempar kapas alkohol pada Gustav, wajah pria itu memerah emosi, sudah tidak ada lagi panggilan sopan dan formal yang biasa ia pakai karena sudah di luar jam kerjanya.
Gustav melempar jasnya sembarangan, mengambil botol whiskey dari meja dan meneguknya langsung dari mulut botol.
"Bagaimana caranya jadi pria yang lembut?" tanya Gustav.
Nick menyeringai. "Kau mau jadi pria lembut?"
"Ck! Jawab saja!" decak Gustav meneguk kembali botol whiskey nya.
"Percuma belajar, kau tidak cocok jadi orang lembut."
"Aku tahu," sahut Gustav datar menghempaskan dirinya ke sofa.
"Aku sudah memikirkannya, aku tidak mau kehilangan Gladys, dia berguna bagiku tapi dia bisa saja pergi jika aku tidak berubah," ujarnya lagi.
Nick berdecak kesal. Si bodoh ini rupanya belum sadar juga. Dia masih mempertahankan ego dan gengsinya yang setinggi langit itu.
"Kau bilang kau bisa menggantinya kapan saja dengan yang lain lalu kenapa harus khawatir?" sarkas Nick merebut botol whiskey nya dari tangan Gustav.
Pria itu meneguknya, lalu menoleh pada pria di sampingnya.
"Lagipula sebentar lagi Gladys lulus, sejak awal kalian berdua membuat kesepakatan bersama sampai hingga ia lulus kuliah dan dia bisa pergi."
Darah Gustav mendidih, ia merebut botol di tangan Nick dan membantingnya ke lantai hingga hancur berkeping-keping.
"Berhenti mengatakan dia pergi!" hardiknya dengan napas naik-turun.
Nick menghela napas lelah. "Lihat dirimu? Kau mudah mudah marah dan suka membanting apa saja! Perempuan mana yang tahan dengan sifatmu itu?" cecar Nick.
"Kalau kau terus begini kau akan kalah dari George."
"Kenapa tiba-tiba kau membahas si bajingan itu?"
Nick terkekeh singkat. "George menginginkan Gladys. Dia dan Brica membuat rencana untuk memisahkan kalian berdua."