Di sebuah sekolah yang lebih mirip medan pertarungan daripada tempat belajar, Nana Aoi—putri dari seorang ketua Yakuza—harus menghadapi kenyataan pahit. Cintanya kepada Yuki Kaze, seorang pria yang telah mengisi hatinya, berubah menjadi rasa sakit saat ingatan Yuki menghilang.
Demi mempertahankan Yuki di sisinya, Ayaka Ito, seorang gadis yang juga mencintainya, mengambil kesempatan atas amnesia Yuki. Ayaka bukan hanya sekadar rival cinta bagi Nana, tapi juga seseorang yang mendapat tugas dari ayah Nana sendiri untuk melindunginya. Dengan posisi yang sulit, Ayaka menikmati setiap momen bersama Yuki, sementara Nana harus menanggung luka di hatinya.
Di sisi lain, Yuna dan Yui tetap setia menemani Nana, memberikan dukungan di tengah keterpurukannya. Namun, keadaan semakin memburuk ketika Nana harus menghadapi duel brutal melawan Kexin Yue, pemimpin kelas dua. Kekalahan Nana dari Kexin membuatnya terluka parah, dan ia pun harus dirawat di rumah sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Ibadurahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
...Yui Nakahara ...
Pertarungan antara kelas 1 dan kelas 2 akhirnya berakhir tanpa korban jiwa. Namun, luka-luka yang diderita oleh banyak siswa tidak bisa dianggap remeh. Beberapa harus dilarikan ke rumah sakit, termasuk Nana dan Zelda.
Di salah satu kamar rumah sakit, Nana masih terbaring tak sadarkan diri. Wajahnya penuh dengan perban, beberapa bagian tubuhnya diperban dan infus terpasang di lengannya. Luka-luka akibat pukulan brutal Zelda masih meninggalkan bekas yang jelas.
Di sisi tempat tidurnya, Yuna dan Yui duduk berjaga. “Yuna, dulu saat Nana menghajar Yuki waktu itu, apa dia menghajarnya seperti dia menghajar Zelda?” tanya Yui, mengingat kejadian di masa lalu.
Yuna menatap Nana yang masih tak bergerak, lalu mengangguk pelan. “Iya,” ucapnya.
Yui terdiam sejenak, menelan ludah. “Nana benar-benar mengerikan, Saat amarahnya menguasai dirinya, dia bukan lagi Nana yang kita kenal. Dia berubah menjadi iblis yang siap membunuh siapa saja,” ucapnya dengan suara pelan, seakan masih tak percaya dengan apa yang ia saksikan tadi.
“Tapi, kenapa dia sampai marah seperti itu ke Yuki dulu?” tanya Yui lagi, masih belum bisa memahami.
Yuna menoleh menatap Yui, lalu menjawab dengan nada datar, “karna elu dan Ayaka.”
Yui mengernyit. “Gua?” tanyanya heran.
“Nana sudah menebak kalau lu salah satu orang yang mengeroyok Yuki waktu itu, tapi Yuki gak mau jujur. Itu yang bikin dia marah. Bukannya mengakui kesalahannya, Yuki malah bergandengan tangan sama lu di tempat tongkrongan anak 1G,” jelas Yuna.
Yui terdiam. Dadanya sedikit berdegup.
Yuna menatapnya lebih tajam. “Jangan-jangan, lu sengaja gandeng tangan Yuki biar Nana marah?” tanyanya penuh tuduhan.
Yui menundukkan kepala, tidak berani menatap Yuna. “Maaf,” ucapnya lirih.
Yuna mendengus, lalu bersandar di kursinya dengan ekspresi tak terkejut. Seakan dia sudah menebak sejak awal.
“Tapi,, kenapa Nana sampai marah sebesar itu ke Yuki?” tanya Yui lagi.
Yuna terdiam sebentar, lalu mendesah pelan. “Sebenernya, Nana udah memaafkan Yuki soal lu. Tapi, dia melihat sesuatu yang gak bisa dia maafkan.”
Yui menatap Yuna penuh tanya. “Apa?”
“Nana melihat Yuki ciuman sama Ayaka di kamarnya.”
Yui membelalak. “Hah?!”
“Itu sebabnya dia ngajak Yuki bertarung,” lanjut Yuna.
Yui semakin paham, tapi juga semakin terkejut. Dia tahu betapa dalamnya perasaan Nana untuk Yuki, dan dia bisa membayangkan betapa sakit hatinya Nana saat melihat pemandangan itu. Sebelum mereka bisa melanjutkan pembicaraan, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.
Yuki dan Ayaka masuk. Yuki langsung melangkah ke sisi tempat tidur Nana. Matanya menatap gadis itu dengan penuh kekhawatiran. “Gimana keadaannya?” tanyanya.
Yuna mendengus sinis tanpa menoleh. “Lu gak punya mata?” balasnya dingin.
Ayaka langsung melangkah maju, meraih kerah baju Yuna dengan kasar. “Jawab yang bener kalau ditanya pacar gua,” ucapnya tajam.
Yuki buru-buru menarik Ayaka agar menjauh. “Sayang, jangan bikin keributan. Ini rumah sakit,” ucapnya, berusaha menenangkan.
Ayaka melepaskan Yuna, meskipun wajahnya masih penuh kekesalan.
Namun, Yuna juga kesal. Bukan hanya karena perlakuan Ayaka, tapi juga karena satu kata yang keluar dari mulut Yuki, ‘sayang’.
Bagaimanapun juga, Yuna adalah pacar Yuki juga, dan dia orang kedua yang pernah di pake Yuki. Karena itu dia selalu kesal dan cemburu saat melihat Yuki dengan Ayaka.
Saat suasana semakin menegang, tiba-tiba pintu kembali terbuka dengan kasar.
BRAK!
Kexin masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi dingin. Dia tidak mengatakan apapun dan langsung berjalan ke sisi tempat tidur Nana, menatap gadis itu yang masih tidak sadarkan diri.
Ruangan mendadak sunyi. Lalu, suara Kexin terdengar, penuh ancaman. “Kalau Zelda sampai mati, lu juga harus mati.” Ucapan itu ditujukan pada Nana, meskipun gadis itu tidak bisa mendengarnya.
Setelah mengatakan itu, Kexin berbalik dan berjalan pergi. Namun, sebelum keluar, dia berhenti tepat di samping Yuki. “Pertarungan kita belum selesai,” ucap Kexin dingin, lalu melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
Ruangan kembali sunyi setelah kepergiannya. Yuna menatap Yuki dengan ekspresi serius. “Sebaiknya lu pergi,” ucapnya. “Bawa pacar lu juga.”
Yuki mengernyit. “Kenapa?”
Yuna mendesah kesal. “Gua gak mau saat Nana sadar, langsung lihat lu sama pacar lu di sini.”
Yuki masih kebingungan, tapi sebelum dia bisa protes, Ayaka sudah menarik tangannya. “Ayo, sayang. Sebaiknya kita pulang,” ucap Ayaka.
Yuki akhirnya mengikuti Ayaka keluar dari ruangan, meskipun pikirannya masih penuh tanda tanya.
Di dalam kamar, Yuna kembali menatap Nana yang masih tak sadarkan diri. “Yuki ,,,Bodoh,” gumamnya lirih.
Begitu Ayaka dan Yuki keluar dari ruangan, Yui mengamati ekspresi Yuna yang tampak sedikit berbeda. Ada sesuatu di wajah gadis itu, sesuatu yang tidak biasa. "Lu kayak cemburu liat Yuki sama Ayaka," ucap Yui tiba-tiba.
Tatapan Yuna langsung berubah tajam, menusuk ke arah Yui. "Brisik lu," balasnya ketus.
Yui justru semakin penasaran. "Jangan-jangan lu juga suka sama Yuki?" godanya.
Yuna mendecak kesal. "Banyak bacot lu, anjir," geramnya.
Yui terkekeh, tapi kemudian mendengus. "Parah lu. Lu temennya Nana, tega banget kalau suka sama Yuki," ucapnya, kali ini dengan nada serius.
Kalimat itu sukses menyulut emosi Yuna. Tanpa pikir panjang, tangannya langsung meraih kerah baju Yui dan menariknya dengan kasar. "Heh, brengsek, mau gua suka atau nggak sama Yuki, itu bukan urusan lu!" bentaknya.
Meski masih dalam cengkeraman Yuna, Yui tetap menatapnya dengan mata penuh perlawanan. “Lu yang temen deketnya Nana aja bisa ngkhianatin dia, apalagi gua yang cuma temen biasa,” ucapnya santai, seakan sengaja menyulut api.
Wajah Yuna semakin mengeras. "Heh, anjir,, jangan bilang lu suka sama Yuki juga?" cecarnya sambil mengencangkan cengkeramannya.
Yui tidak gentar. "Mau suka atau nggak, itu bukan urusan lu," balasnya dengan nada dingin.
Rahang Yuna mengatup erat, tangannya hampir saja melayangkan pukulan. "Lu bener-bener ya, anjir, bikin gua naik darah," geramnya.
Namun sebelum itu terjadi, suara batuk-batuk yang lemah terdengar dari tempat tidur. Nana mulai sadar.
Yuna buru-buru melepaskan cengkeramannya pada Yui dan bergegas mendekat.
Nana mengerjap pelan, matanya masih lemah dan kesulitan fokus. Dengan suara serak, ia bertanya, “Kenapa kalian berdua malah berantem?”
Yuna langsung memasang senyum palsu. “Nggak kok, cuma bercanda,” ucapnya santai.
“Iya, Nana. Kami cuma becanda,” timpal Yui, meski di dalam hatinya ia masih menahan kesal.
Nana menghela napas lemah, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum dia kehilangan kesadaran. Bayangan pertempuran tadi muncul kembali di kepalanyadarah, rasa sakit, "Yuki."
Wajah Nana berubah saat mengingat bagaimana Yuki menerima tinjuan brutal dari Zelda demi melindunginya. Hatinya mencelos. “Yuki,,, apa Yuki baik-baik saja?” tanyanya, suaranya penuh kecemasan.
Yuna menatapnya sebentar sebelum menjawab. “Lu nggak usah khawatir, Yuki baik-baik aja,” ucapnya, berusaha menenangkan Nana.
Tapi jauh di dalam hati Yuna, ada rasa tidak nyaman. Ia tahu Yuki baik-baik saja secara fisik, tapi pikirannya, siapa yang tahu?
**
Di dalam apartemen Ayaka, Yuki duduk di sofa dengan pandangan kosong. Ucapan Yuna tadi masih mengganggu pikirannya. "Gua nggak mau Nana, pas dia sadar, langsung lihat lu sama pacar lu di sini."
Kenapa Yuna berkata begitu? Apa yang sebenarnya dia pikirkan?
Yuki mencoba mengingat kejadian di lapangan. Saat dia melihat Nana dalam bahaya, tubuhnya langsung bergerak sendiri. Tidak ada waktu untuk berpikir, dia hanya tahu bahwa dia harus melindunginya.
Kemudian, dia mengingat wajah Nana saat mengamuk. Wajah itu, penuh dengan kemarahan, kesakitan, dan sesuatu yang lain, sesuatu yang dalam dan gelap. "Apa Nana semarah itu karena melihat gue dipukul Zelda?"
Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak. Lalu, tiba-tiba, sesuatu berkelebat di dalam kepalanya. Sebuah bayangan. Buram, tapi cukup jelas. Nana yang sedang memukulinya tanpa ampun. Yuki tersentak. Apa itu? Sebuah kenangan? Tapi, kapan? Kenapa dia tidak bisa mengingatnya dengan jelas?. Ekspresi Yuki berubah. Tangannya mengepal tanpa sadar.
Ayaka, yang sedang duduk di sebelahnya, menyadari perubahan sikap Yuki. Dia mengernyit dan menyentuh lengannya. “Sayang, ada apa?” tanyanya lembut.
Yuki menggelengkan kepala, berusaha menyembunyikan pikirannya. “Aku cuma kepikiran ucapan Yuna tadi,” gumamnya.
Ayaka mendengus kecil. “Jangan terlalu dipikirkan, sayang. Yuna memang nggak suka lihat kamu,” ucapnya dengan nada meremehkan.
Lalu, dia mulai berbicara lagi, mencoba mengalihkan perhatian Yuki, mencoba membelokkan pikirannya ke arah lain. Dan tanpa Yuki sadari, sedikit demi sedikit, Ayaka terus mempengaruhi pikirannya.