Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Bapak dan Emak, tiba-tiba datang berkunjung.
Dering panggilan di ponselku menyibak konsentrasiku saat mendesain kebaya. Uly memintaku merancang kebaya untuk dia pakai di hari bahagianya. Aku mencari-cari ponselku yang terselip entah dimana. Ternyata ada dibawah tumpukan kertas yang berserak diatas tempat tidur.
Aku melihat notif siapa yang menelponku. Ternyata panggilan dari Bapak. Panggilan itu telah berakhir. Aku berpikir sejenak untuk balik menelpon. Apakah Amang dan Inang sudah tiba di kampung dan sudah bertemu Emak dan Bapakku. Jika begitu berarti Emak dan Bapakku otomatis sudah tau kejadian yang menimpa rumah tanggaku.
Tapi tunggu dulu, sepertinya Amang dan Inang belum berangkat ke kampung. Bukankah beliau bilang minggu depan? Sementara ini masih hari ketiga aku resmi bercerai. Ataukah jadwal kepulangan mereka dipercepat? Aku sangat penasaran jadinya.
Sekali lagi panggilan masuk berdering, lagi dari Bapak. Segera aku angkat untuk memastikan hal yang sebenarnya.
"Shalom, iya halo, Bapak!" aku menyahut salam yang diucapkan Bapak.
"Apa Pak?!" seruku kaget. Hampir saja ponselku terjatuh dari tangan. Ternyata kedua orangtuaku sedang berada di depan rumahku saat ini. Maksudku di rumah yang aku tinggali bersama Arbian. Ternyata orang tuaku datang berkunjung tanpa memberitahuku lebih dulu. Mereka sengaja memberi kejutan untukku.
Astaga! Aku jadi semaput saking paniknya. Tidak pernah berpikir akan terjadi kejadian seperti ini. Jarak antara kampungku dengan tempat tinggalku ditempuh semalam perjalanan. Padang Sidempuan-Medan. Perkiraan berangkat malam sampai disini pagi harinya atau sebaliknya.
Kebetulan hari ini aku masih cuti. Bangun jam empat subuh tadi langsung mengerjakan mendesain kebaya Uly.
"Bapak, tunggu bentar ya Pak. Aku akan menjemput Emak dan Bapak. Rania sudah pindah dari rumah itu. Rumahnya sudah kosong Pak," ungkapku jujur.
"Pindah? Kapan kamu pindah dari sini. Kenapa tidak pernah ngasih tau Bapak." Nada suara Bapak sedikit kesal. Mungkin karena sudah capek selama dalam perjalan taunya mereka salah alamat lagi.
"Nanti Rania cerita Pak. Tunggu sebentar, aku akan jemput Bapak dan Emak."
"Iya, cepatlah kau kemari jemput kami. Emakmu sudah lelah, karena mabuk perjalaanan." Aku bergegas keluar kamar. Menyambar kunci mobil. Mobil yang baru kubeli kemarin dan baru kali ini resmi aku bawa keluar rumah.
Bisa kubayangkan kondisi Emak saat ini efek dari mabuk perjalanan. Entahlah, hari gini Emak masih saja saja suka mabuk setiap melakukan perjalanan. Makanya Emakku itu jarang bepergian. Sekalinya pergi karena urusan penting sekali.
Pasti karena ada hal penting semisal rindu yang sudah tak tertahan lagi kepadaku, sampai Emak bela-belain datang mengunjungiku. Tanpa ngasih khabar dulu biar aku kaget pasti, eh malah mereka yang kaget karena aku sudah pindah rumah. Dan lebih kaget lagi jika tau aku sudah bercerai dari helanya atau menantunya.
Benakku sibuk mereka-reka bagaimana nanti caraku memberitahu Bapak dan Emak tentang perceraianku. Pastinya mereka akan ngamuk dan menyalahkan aku, kenapa sampai bisa memutuskan untuk berpisah. Tanpa pernah bicara sama sekali pada mereka.
Tentunya pula aku akan jujur pada akhirnya. Dan mereka akan terluka sama seperti mertuaku. Mungkin aku akan disalahkan atau sebaliknya dikasihani. Karena "boru panggoarannya" ini harus menerima nasib tragis ini.
Tentunya perceraian adalah momok yang menyakitkan sekaligus membuat malu bagi keluarga.
Aku segera turun dari mobil begitu melihat Bapak dan Emak masih berdiri di depan pintu pagar. Pagi yang masih berembun ini tentu membuat mereka kedinginan, apalagi semalam hujan turun.
"Pak, Mak!" seruku lantas memeluk kedua orangtuaku melepaskan rasa rindu yang setahun ini aku tahan.
"Mana hela Bapak? Kenapa tidak turut menjemput Bapak dan Emakmu." Bapak celingukan melihat sekeliling.
"Nanti Rania akan cerita sesampainya di rumah, Pak." Aku menuntun Emak yang sudah lemas. Bapak akhirnya diam dan menyimpan sejuta keheranannya dalam hati. Kondisi Emak lebih penting dari sikapku yang menyimpan sesuatu. Buktinya sepanjang perjalanan Bapak hanya diam saja. Lebih fokus mengoleskan minyak kayu putih ke kening Emak.
"Kamu tinggal disini? Kenapa kalian pindah. Bukankah rumah itu hadiah pernikahan dari mertua kamu." Rasa curiga Bapak makin menjadi, saat aku memarkir mobil di rumah kostku.
Jelas rumah ini lebih mungil tapi lumayanlah untuk ditinggal sendiri. Karena ada dua kamar dan halaman yang agak luas.
"Mari Mak," aku menuntun Emak keluar dari mobil. Wajah Emak sedikit pucat karena sepanjang perjalanan mabuk, kata Bapak.
"Mak mu ini parah. Muntah terus sampai lemas begitu, tapi maksa mau mengunjungi kamu karena sudah rindu kali sama kau." Bapak ikutan merebahkan tubuhnya di sofa, diseberang Emak berbaring.
"Bentar ya Mak, Rania buatkan teh dulu. Sama Bapak teh atau kopi?" tanyaku.
"Iya kopi." Aku pergi ke dapur menyeduh dua gelas teh manis dan kopi. Lalu membawa ke ruang tamu berikut sisa camilan kemarin. Aku belum sempat belanja. Rencananya hari ini. Barang-barangku saja belum rapi kususun. Tumpukan kardus masih teronggok di sudut ruangan.
"Sepertinya kamu baru pindahan, semua masih berantakan. Mana si Arbi belum muncul sedari tadi. Masih ngorok ya? Dasar menantu tidak ada akhlak." Tanganku tiba-tiba terhenti saat menaruh gelas minum diatas meja. Apakah Bapak sudah tau sesuatu? Batinku curiga.
"Mak tehnya diminum dulu, biar tubuh Mak lebih hangat dan segar." Aku mengambil sesendok teh, meniupnya lalu mengarahkannya ke mulut Emak.
"Biar Mak saja," Emak meraih gelas dari tanganku enggan aku suap. Padahal biasanya suka aku gitukan.
"Ini ada roti Pak, dicelupin biar perutnya kenyang." Aku membuka bungkus roti dan menyerah sepotong roti ke tangan Bapak.
"Mak sudah lapar? Biar Rania masak dulu." Aku sengaja menghindar karena melihat Bapak yang mulai curiga padaku. Aku belum siap untuk bercerita. Selain karena mereka masih lelah, aku juga kesulitan mau memulai cerita dari mana.
Sungguh kedatangan kedua orangtuaku membuatku shok!
"Duduklah dulu kau. Nantilah soal makan itu. Kami tadi sudah makan di terminal." Bapak menatapku penuh selidik.
Deg!
Saat itu akhirnya tiba. Aku menarik napas panjang. Duduk dihadapan Bapak dan Emak. Beberapa saat hening menyungkup. Aku mengaduk tehku mengurai kegugupan yang menyergap tiba-tiba.
Bapak juga menarik napas panjang sebelum mulai bicara.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan rumah tanggamu?" Bapak telah mengendus ada yang tidak beres. Tentu saja. Pertama kepindahanku dan kedua kenapa helanya tidak juga muncul.
Aku menelan salivaku yang mendadak pahit.
Aku bisa kuat dan bertahan setelah bercerai. Aku bisa menyembunyikan kepedihan ini rapi dalam hati. Tapi saat melihat kedua orangtuaku, entah kenapa aku mendadak rapuh dan lemah.
Aku tidak sanggup menentang sorot mata tua itu. Yang sepertinya menahan luka sebelum aku sempat bercerita.
Tiba-tiba air mataku luruh satu-satu. Dadaku berguncang naik turun. Aku tetaplah seorang anak yang butuh tempat mengadu, semandiri apapun aku selama ini. Saat berhadapan dengan orangtuaku seperti ini, semua kekuatanku luruh. ***
Catatan.
Boru panggoaran\= Putri sulung
Hela \= Menantu laki-laki.
di bab sebelumnya itu pram lho thor
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor