Airilia hidup dalam keterbatasan bersama ibunya, Sumi, yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya meninggal sejak ia berusia satu minggu. Ia memiliki kakak bernama Aluna, seorang mahasiswa di Banjar.
Suatu hari, Airilia terkejut mengetahui ibunya menderita kanker darah. Bingung mencari uang untuk biaya pengobatan, ia pergi ke Banjar menemui Aluna. Namun, bukannya membantu, Aluna justru mengungkap rahasia mengejutkan—Airilia bukan adik kandungnya.
"Kamu anak dari perempuan yang merebut ayahku!" ujar Aluna dingin.
Ia menuntut Airilia membiayai pengobatan Sumi sebagai balas budi, meninggalkan Airilia dalam keterpurukan dan kebingungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Rakha minta maaf
Keesokan harinya, Andira pulang dari kampung halaman Sumi dengan hati yang penuh luka. Kenyataan yang ia temui di sana semakin membuatnya merasa bersalah terhadap putrinya, Airilia. Pukul sepuluh pagi, Andira sudah berada di kantor Dion, memenuhi panggilan ayahnya. Namun, bukan solusi yang ia dapatkan, melainkan beban yang semakin menyesakkan dadanya.
Sesampainya di ruangan Dion, Andira melihat ayahnya tengah duduk bersama Rakha.
"Andira, akhirnya kamu pulang juga," ujar Dion seraya menghampiri putrinya yang masih berdiri di depan pintu.
Andira melangkah masuk tanpa menatap Rakha. Sementara itu, Rakha hanya bisa terdiam, merasa bersalah setelah mendapat nasihat dari Dion.
"Ayah menyuruhku ke sini untuk apa? Kalau hanya ingin membahas masalah kemarin, aku rasa tidak perlu. Aku bisa mengatasinya sendiri," ujar Andira dingin.
Dion menghela napas kasar. Putrinya memang keras kepala, persis seperti mendiang istrinya.
"Rakha, bisakah kamu keluar sebentar? Aku ingin bicara empat mata dengan Andira," kata Dion.
Rakha mengangguk pelan, lalu meninggalkan ruangan.
"Ayah, sebenarnya ada apa?"
"Andira, kalau memang kamu bisa mengatasi masalah sendiri, lalu kenapa kamu memilih kabur?"
Andira menggigit bibir bawahnya, air matanya mulai menggenang. Ia tahu apa yang dikatakan ayahnya benar.
"Masalah tidak akan selesai jika kamu terus lari, Nak," lanjut Dion.
"Aku tidak kabur, Yah. Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri," ujar Andira lirih.
Dion menarik putrinya ke dalam pelukan, menenangkan isak tangis yang mulai pecah.
"Kalau kamu ada masalah, ceritakan saja pada Ayah. Aku selalu siap mendengarkan," ucap Dion lembut.
Andira pun mulai menceritakan semuanya—pertengkarannya dengan Rakha, rasa rindunya pada Airilia, hingga kunjungannya ke kampung halaman Sumi yang justru membawa kabar duka. Dion ikut terenyuh mendengar kisah putrinya.
"Andira, Ayah akan mengerahkan anak buah untuk mencari Airilia. Apa kamu punya fotonya?"
Andira menggeleng pelan.
"Baiklah, Ayah akan menyuruh mereka ke kampung Sumi. Mungkin di sana kita bisa mendapatkan informasi atau foto Airilia."
"Terima kasih, Ayah," ujar Andira penuh harap.
"Tapi satu hal, Nak. Sekarang selesaikan dulu masalahmu dengan Rakha. Kalau perlu, minta maaflah padanya," ujar Dion tegas.
Andira langsung menatap ayahnya dengan mata tajam.
"Ayah menyuruhku meminta maaf lebih dulu? Kenapa? Aku tidak salah! Aku hanya ingin merindukan putriku, tetapi Mas Rakha tidak pernah mengerti. Dia hanya peduli pada Rehan, sementara aku bahkan tidak tahu di mana putriku sekarang!"
"Andira, jangan keras kepala. Kalian sudah menikah tujuh belas tahun, tidak mudah mempertahankan rumah tangga selama itu. Jangan sampai hubungan kalian renggang hanya karena kesalahpahaman kecil."
"Tapi jika aku yang harus meminta maaf duluan, itu sama saja Ayah menganggap aku yang salah, bukan?"
Dion menghela napas panjang. "Bukan itu maksud Ayah, Nak..."
"Cukup, Yah! Aku tidak akan meminta maaf duluan karena aku tidak bersalah. Jika Ayah ingin aku berdamai dengan Mas Rakha, maka Ayah harus membawa putriku ke hadapanku!" ujar Andira sebelum melangkah keluar ruangan.
"Andira! Dira!" teriak Dion, namun putrinya sudah pergi.
Di luar, Rakha yang sejak tadi menunggu langsung menahan tangan Andira.
"Andira, aku perlu bicara sebentar," katanya lembut.
Namun, Andira langsung menepis tangan Rakha dengan kasar.
"Bicaralah cepat, aku sibuk!"
Rakha menatapnya dengan tatapan terluka. "Kemana saja kamu selama ini?"
"Itu bukan urusanmu," jawab Andira ketus.
"Andira, aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Tolong, pulanglah. Rehan sakit, dia terus mencari kamu," ujar Rakha dengan nada penuh harap.
Andira menatap suaminya tajam. "Jadi, kamu meminta maaf hanya agar aku pulang karena Rehan sakit?"
"Bukan begitu, Dira. Aku tulus meminta maaf. Aku benar-benar menyadari kesalahanku."
Andira menahan napas, berusaha meredam emosinya. "Kenapa baru sekarang kamu meminta maaf? Kenapa tidak dari kemarin kamu mencariku?"
"Karena aku butuh waktu untuk merenungkan segalanya... Andira, aku mohon, maafkan aku. Jika kamu masih marah padaku, setidaknya pulanglah demi Rehan," ujar Rakha dengan suara bergetar.
"Cukup, Mas! Aku selalu disuruh memahami kamu, tapi kamu tidak pernah berusaha mengerti aku. Aku lelah... Aku selalu berusaha menjadi ibu yang baik untuk Rehan, tetapi aku gagal menjadi ibu bagi putriku sendiri," isaknya.
Andira pun berbalik dan pergi. "Aku akan pulang jika hatiku sudah tenang."
Rakha hanya bisa menatap punggung istrinya yang semakin menjauh.
-----
Sementara itu, hampir seminggu Aluna rutin berbelanja sayuran, meskipun pada akhirnya hanya berakhir di tempat sampah. Namun, ada satu hal yang membuatnya senang—ia mulai akrab dengan para tetangga. Mulai dari ibu-ibu beranak satu hingga beranak empat, semuanya sudah mengenalnya.
Siang itu, mereka berkumpul sambil menikmati rujak bersama.
"Aluna, jangan kebanyakan makan nanas, nanti bisa keguguran," ujar seorang wanita yang duduk di seberangnya.
"Oh, terima kasih. Aku tidak tahu soal itu," jawab Aluna dengan tersenyum.
"Suamimu ke mana, Lun? Kok jarang kelihatan?" tanya Ibu RT.
"Suami saya sibuk bekerja. Maklum, pekerjaannya di kapal, jadi sering berlayar," jawab Aluna berbohong. Ia tidak ingin tetangganya tahu tentang status Reza yang sebenarnya.
"Wah, pasti gajinya besar, ya?" sahut Ibu Sasa.
Aluna hanya tersenyum tipis.
Tak lama kemudian, mereka melihat seorang wanita bernama Mila berjalan terburu-buru.
"Mau ke mana, Mbak Mila?" tanya Ibu RT.
"Mau ke rumah Mbak Dinda," jawab Mila singkat.
Setelah Mila pergi, para ibu-ibu mulai berbisik-bisik.
"Kasihan ya, Mbak Mila..."
"Memangnya kenapa?" tanya Aluna penasaran.
"Anaknya masuk penjara," jawab Ibu Caca.
"Iya, dan sempat mau pinjam uang ke aku buat membebaskannya," tambah yang lain.
"Kamu kasih, nggak?"
"Nggaklah! Buat apa anak seperti Boy dibebaskan? Bisa-bisa malah bikin ibunya tambah sakit hati."
Aluna hanya terdiam, mendengarkan gosip yang mengalir begitu saja. Entah mengapa, senyum kecil terbit di bibirnya.
Bersambung...