Kapan lagi baca novel bisa dapat hadiah?
Mampir yuk gaes, baca novelnya dan menangkan hadiah menarik dari Author 🥰
-------------------
"Aku akan mendapatkan peringkat satu pada ujian besok, Bu. Tapi syaratnya, Bu Anja harus berkencan denganku."
Anja adalah seorang guru SMA cantik yang masih jomblo meski usianya sudah hampir 30 tahun. Hidupnya yang biasa-biasa saja berubah saat ia bertemu kembali dengan Nathan, mantan muridnya dulu. Tak disangka, Nathan malah mengungkapkan cinta pada Anja!
Bagaimana kelanjutan kisah antara mantan murid dan guru itu? Akankah perbedaan usia di antara keduanya menghalangi cinta mereka? Ikuti kisah mereka di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Kebenaran yang Terkuak
"Permisi Bu," Anja mengetuk pintu ruangan kepala sekolah. Setelah diizinkan masuk, ia lantas duduk di kursi yang ada di depan wanita bertubuh besar itu.
"Saya mau minta izin pulang duluan karena tidak enak badan Bu," katanya dengan suara bergetar.
Bu Kepala sekolah menatap Anja dengan heran. "Astaga, wajah Bu Anja kelihatan merah sekali. Apa Bu Anja demam?"
Anja tidak menjawab, ia hanya terdiam sambil menundukkan kepalanya.
"Aduh, aduh, ya sudah, silahkan pulang dulu. Istirahat yang cukup ya supaya cepat sehat," Ujar Bu Kepala Sekolah sambil menepuk-nepuk pundak Anja.
"Terimakasih Bu," Anja menyalami Bu Kepala Sekolah dengan masih menundukkan Kepala. Kemudian ia segera berjalan keluar dari kantor dan menuju tempat parkir.
Sepanjang perjalanan menuju hotel, Anja merasa tangannya terus gemetar. Jalanan yang biasanya ia lalui terasa begitu asing. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin gelisah. Berulang kali ia mencoba menelepon Raffi, tapi tetap tidak ada jawaban. Rasanya seperti berlari menuju jurang, tapi Anja tahu, semakin lama ia menunggu, semakin sakit pula hatinya.
Sampai di depan hotel, Anja tidak langsung masuk. Ia terlebih dulu menatap gedung hotel yang menjulang di depannya dengan dada bergemuruh.
"Aku percaya padamu Raffi, aku percaya kamu tidak akan melakukan hal seperti itu." Anja berusaha meyakinkan diri sendiri sebelum akhirnya melangkah masuk ke lobi hotel. Di sana, Anja segera menemui resepsionis yang sedang berjaga.
"Permisi Mbak," Anja mencoba bicara dengan tenang, meski ia tak bisa menyembunyikan suaranya yang terdengar bergetar. "Maaf, saya ingin bertanya, apakah Raffi—eh, maksud saya... ada tamu yang menginap di sini bernama Raffi?"
Resepsionis itu menatap Anja dengan bingung sejenak. "Maaf, kami tidak bisa memberikan informasi tamu tanpa persetujuan mereka."
Anja menahan desakan amarah yang mulai memuncak. "Tolong, saya... saya hanya butuh tahu. Ini penting sekali." Suaranya bergetar, nyaris memohon.
"Maaf mbak, tetap tidak bisa." Resepsionis itu menggeleng.
"Saya mohon mbak, ini sangat penting. Saya bisa membayar berapapun,"
"Maaf, tetap tidak bisa." Resepsionis itu masih menggelengkan kepala.
Anja mengatupkan rahangnya, berusaha menahan emosi yang semakin membuncah. Anja tahu, Resepsionis itu hanya melakukan tugasnya, tapi merasa putus asa. Rasa sakit yang tertahan di dadanya mulai berubah menjadi kemarahan.
“Baiklah,” ujar Anja akhirnya, dengan nada putus asa. Ia melangkah menjauh dari meja resepsionis, tetapi bukan menuju pintu keluar. Sebaliknya, ia duduk di salah satu kursi di lobi, menatap lekat ke arah lift.
Pikirannya berputar, mencoba mencari cara lain. Kalau resepsionis tidak mau membantunya, mungkin ada jalan lain untuk mendapatkan jawaban. Mungkin... dia bisa menunggu di sini sampai Raffi muncul.
Waktu terasa berjalan lambat. Setiap kali pintu lift terbuka, Anja merasa napasnya tertahan. Tapi, hanya tamu-tamu lain yang keluar. Satu jam berlalu, lalu dua jam. Anja mulai lelah, namun perasaan gelisah tidak mengizinkannya pergi.
Di saat pikirannya mulai melayang-layang, pintu lift kembali terbuka, dan kali ini... Anja melihat sosok yang sangat dikenalnya. Raffi keluar dari lift, berbicara dengan seseorang—seorang wanita.
Wanita itu lebih muda, dengan rambut panjang yang tergerai, mengenakan gaun pendek yang menonjolkan bagian depan dan belakangnya. Mereka tampak berangkulan mesra, dan Raffi... mencium bibirnya lembut.
Anja terpaku. Tangannya gemetar di sisi tubuhnya, tubuhnya terasa kaku. Raffi tidak melihatnya, terlalu sibuk dengan wanita di sampingnya. Mereka berjalan bersama, menuju pintu keluar hotel.
Anja tak bisa menahan diri lagi. Dengan langkah tergesa, ia bangkit dari kursi dan berlari mengejar mereka. “Raffi!” serunya, suaranya pecah karena emosi yang tak terbendung.
Raffi berhenti, terkejut. Ia berbalik, dan matanya membelalak ketika melihat Anja berdiri di depannya.
"Anja... kamu... apa yang kamu lakukan di sini?"
Anja tidak langsung menjawab. Matanya beralih ke wanita di sebelah Raffi, yang kini terlihat kebingungan “Siapa dia, Raffi?” tanya Anja dengan suara bergetar, meski ia sudah tahu jawabannya.
“Ini... ini bukan seperti yang kamu pikirkan,” Raffi berusaha menjelaskan, tapi Anja tak mau mendengarnya.
“Bukan seperti yang aku pikirkan?” Anja mendengus, suaranya mulai meninggi. “Lalu seperti apa? Jelas-jelas kamu ada di sini bermesraan dengan wanita lain! Kamu pikir aku bodoh?”
Wanita itu tampak semakin tidak nyaman, melirik Raffi seolah meminta penjelasan. Raffi menghela napas berat, lalu menatap Anja dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Anja, tolong, jangan buat keributan di sini. Kita bisa bicara nanti, di tempat lain."
"Tidak!" Anja menatap Raffi dengan penuh luka. "Kamu sudah membohongi aku. Kita bicara sekarang, di sini."
Wajah Raffi berubah kesal, dan wanita di sebelahnya mulai mundur perlahan, tampak ingin menghindari situasi yang tidak nyaman itu.
"Anja, aku bisa jelaskan semuanya, tapi ini bukan waktu yang tepat," Raffi mencoba menenangkan Anja, namun kalimat itu justru membuat kemarahan Anja semakin membuncah.
"Jelaskan apa lagi, Raffi? Kamu sudah ketahuan! Sudah cukup! Aku capek dengan semua kebohonganmu. Selama ini aku terlalu sabar menghadapi kamu. Aku bahkan diam saja saat kamu bilang lembur setiap hari sampai susah dihubungi. Tapi ternyata, di belakangku kamu begini! Tega kamu, Raffi! Tega!" Anja menangis terisak sambil memukul-mukul dada Raffi dengan emosinya yang meluap-luap, air matanya mengalir tanpa henti.
"ANJA! CUKUP!" Raffi berseru sambil menghempaskan tubuh Anja dengan kasar. Hal itu membuat Anja langsung terhuyung ke belakang.
Raffi kemudian mencengkram tangan Anja dan menyeretnya keluar hotel.
"Lepasin aku, Raffi! Lepasin!" Anja berusaha keras melepaskan diri, tetapi cengkeraman tangan Raffi terlalu kuat.
Begitu mereka sampai di luar hotel, di area yang sepi, Raffi akhirnya melepaskan tangannya dengan kasar, membuat Anja terhuyung dan hampir jatuh.
"Mau apa lagi kamu, hah?!" Anja berteriak emosi. "Nggak ada yang perlu dijelasin lagi Raffi, karena aku sudah muak!"
"Kamu pikir aku nggak muak sama kamu?!" balas Raffi tak mau kalah. "Ini semua kan juga gara-gara kamu! Kalau kamu mau aku sentuh, aku pasti nggak perlu cari pelampiasan ke cewek lain!"
Anja terbelalak mendengar ucapan Raffi. "Omong kosong apa itu Raffi? Jadi maksudmu, ini salahku? Karena aku nggak bisa memberikan apa yang kamu mau, makanya kamu selingkuh?"
Raffi tidak menjawab, hanya menatap Anja dengan tajam. "Aku laki-laki. Wajar kan kalau aku meminta lebih dalam hubungan ini? Aku juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi," katanya dengan nada penuh pembenaran.
"Omong kosong!" sergah Anja dengan kesal. "Kamu hanya membuat alasan. Selama ini, aku juga sudah sering mengajak kamu menikah, tapi apa jawaban kamu? Kamu perlu waktu, perlu mengumpulkan biaya dan alasan-alasan lain yang selalu mengulur waktu!" Suara Anja mulai pecah, amarah dan rasa sakit bercampur menjadi satu.
Raffi mendengus, seakan merasa tersudut. "Anja, aku bukan robot! Aku juga butuh melampiaskan hasratku. Kita sudah pacaran bertahun-tahun, tapi kamu nggak pernah mengizinkan aku melakukannya. Aku merasa kalau kamu tidak mencintaiku,"
Anja terdiam sejenak, menatap Raffi dengan mata yang penuh luka. "Jadi menurut kamu, cinta itu hanya soal berhubungan badan? Kalau iya, maka kamu nggak pernah benar-benar mencintaiku, Raffi. Kamu cuma cinta bagian yang kamu inginkan dariku."
Raffi terdiam, bibirnya bergetar sejenak. "Aku..." suaranya melemah, tapi dia tetap bertahan dengan sikap defensifnya. "Ini bukan cuma soal aku. Kamu juga nggak pernah coba memahami posisiku!"
Anja menatap Raffi dengan tatapan penuh kekecewaan. "Aku selalu berusaha mengerti kamu, Raffi. Aku juga sudah bilang berulang kali, aku punya prinsip untuk menjaga kesucian sampai kita menikah. Tapi sekarang, kamu malah memilih wanita lain hanya karena aku nggak bisa memenuhi keinginanmu?"
Raffi membuang muka, tak sanggup menatap Anja lagi. "Aku nggak punya pilihan lain..."
Mendengar itu, hati Anja hancur berkeping-keping. "Pilihan?" bisiknya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Kamu selalu punya pilihan, Raffi. Kamu bisa memilih untuk sabar, atau mempercepat pernikahan kita. Tapi kamu memilih untuk mengkhianatiku."
Air mata mulai mengalir di pipi Anja, namun ia berusaha menahan isak tangisnya. "Kita sudah selesai, Raffi. Aku nggak bisa terus begini."
Raffi mencoba melangkah mendekat, tangannya terulur ingin menyentuh Anja, namun Anja segera mundur, menghindar dari cengkeramannya. "Jangan sentuh aku," ujarnya dingin. "Kamu sudah cukup menyakitiku."
"A-Anja, dengar dulu," Raffi mulai panik, suaranya bergetar.
"Tidak ada lagi yang perlu didengar." Anja menggeleng pelan. "Kamu sudah membuat pilihanmu. Sekarang, aku juga membuat pilihanku."
Tanpa menunggu jawaban dari Raffi, Anja berbalik dan berjalan menjauh. Tangisnya pecah saat punggungnya menjauh dari Raffi, tapi dia tahu, dia harus tetap melangkah. Rasa sakit yang dirasakannya akan pulih, tapi ia tak ingin terus terjebak dalam hubungan yang hanya menyisakan luka.
Raffi tetap diam di tempatnya, menyadari bahwa hubungan mereka selama enam tahun sudah berakhir.
Sementara itu, Nathan diam-diam memperhatikan mereka dari kejauhan.
ga semua maksud baik itu kebenaran dan terbaik
dan yang kita terbaik belum tentu dibutuhkan
dan yang kita pikir buruk nyatanya itulah yang terbaik
terkadang ujian cinta memang agak rumit tapi selalu menemukan jalan tik bersatu
#dibalas ma authornya kek gini .. " dih siapa elo?"
😂😂😂😂😂😂