tag khusus : cinta lansia
“Renata Thomson ?” panggil seorang pria bernama Prima ( 48 tahun ).
Suara yang tak asing dan bahkan sangat lama sekali tak pernah Re dengar tiba – tiba memanggil jelas namanya.
Re menoleh, alangkah terkejutnya ia dengan sosok pria bertubuh tinggi dan atletis itu. Ia tergugu dalam diam. Detik berikutnya ia setengah berlari seolah baru saja melihat hantu.
Setelah 22 tahun dan berumah tangga dengan pria lain, Renata bertemu kembali dengan tunangannya dulu.
Karena Duan sudah bosan dengan kehidupannya bersama Re, pada akhirnya Duan menceraikan Renata.
Lalu apakah Re akan terbuka kembali hatinya untuk seorang Prima ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Hari menjelang sore, Prima lantas mandi dan berganti pakaian santai. Ia mengomando Mika untuk segera bersiap.
"Kita akan pergi kemana, Om ?"
"Jalan - jalan. Suruh ibumu untuk segera bersiap juga."
Mika sangat girang, tidak pernah sebelumnya ia diperlakukan seperti yang diucapkan Prima barusan dari ayahnya dulu, Duan.
"Hore, kita jalan - jalan!"
"Kamu sangat senang?"
"Oh, tentu saja Om, sejak dulu ayahku tak pernah mengajakku untuk pergi bersama. Andai saja aku punya ayah seperti Om Prima." kelakarnya dan tanpa sepengetahuannya Re sudah berada di belakangnya.
"Mika, jaga bicaramu!" Tegur Re sambil berkacak pinggang.
Mika menoleh dan langsung mengatupkan kedua telapak tangannya meminta ampun. "He he he, maaf." lalu segera beranjak pergi.
"Kamu setuju jika aku bersama ibumu?" bisik Prima sebelum Mika pergi.
Mika mengangguk cepat.
"Hei, apa yang kalian rencanakan!" teriak Re.
Mika setengah berlari menuju kamar mandi.
Prima menunjukkan deretan giginya yang putih, "He he, tidak ada. Bergegaslah Re, kita akan pergi ke luar."
Re memalingkan muka, "Pergi lagi denganmu? Tidak mau."
"Baiklah." Prima mendesah kasar. "Jika kamu menolak, aku akan tinggal di sini lebih lama lagi. Mike ! Siapkan keperluanku!" teriaknya pada pria yang tengah bermain game.
"Baik Tuan."
"Hah !" Re terbengong. Ia tidak ingin di cap sebagai wanita idaman lain jika Prima tinggal serumah dengannya. Bisa - bisa istrinya datang dan mengamuk.
"Jangan Prima ! Kamu jangan mempersulitku. Baiklah. Aku akan mengikuti kemauanmu. Tapi, kumohon setelah ini segeralah pulang !"
"Tidak janji." ucap Prima lalu berlalu ke luar rumah untuk melihat pemandangan sore.
Re sangat geram ingin rasanya ia menjitak kepala pria berkumis tipis itu. Sikapnya tidak berubah sama sekali. Seenaknya sendiri. Re setengah kesal juga, ia berbalik menuju kamar untuk bersiap.
.
"Pilihlah baju yang menurut kalian pas dan pantas !" titah Prima sambil menunjuk ke lokasi mall.
Mika menjerit tak percaya. "Wow, ini keren ! Ini adalah mall terkenal di kota. Barangnya branded dan harganya selangit."
"Harga tidak masalah bagiku." Prima menatap Re yang agaknya juga terpukau.
"Prima, kamu tidak salah mengajak kami berbelanja di sini?" tanya Re memastikan. Ia tahu Prima sangatlah kaya dan tak ingin diangap penggoda suami orang, untuk itu ia sangat berhati - hati menjaga jarak.
"Anggap saja ini sebagai hadiah pertemuan kita. Ayo, kita masuk !" Prima menggiring mereka dan Mike mengekor di belakang.
Mika yang kesenangan berjalan duluan disusul Re berjalan beriringan dengan Prima.
Melihat begitu banyak pilihan dan model baju, Re dan Mika dibuat bingung.
"Aku bisa membantu untuk memilih jika kamu tidak keberatan."
"Sayangnya aku sangat keberatan." Re melengos pergi. Terlalu lama berdekatan dengan pria bertubuh atletis itu ia tidak menjamin jantungnya akan bermasalah.
Mika sudah mendapatkan semua yang ia inginkan. Baju 6 stel, daleman, tas, sandal dan sepatu.
"Om Prima, apa ini tidak terlalu banyak ? Aku akan mengembalikan tas ini." sebuah tas bermerek ELISABETH yang selama ini ia inginkan.
"Jangan, sudah aku bilang bukan ? Ambillah sesukamu, jadi jangan membuat dirimu menyesal." Prima merasakan kedekatannya dengan Mika seolah bukanlah orang asing. Sesekali ia memanjakan putri dari wanita yang ia cintai.
Mika memeluk kembali tas hitam itu. Berbeda dengan Re, satu pun barang belum ia dapatkan.
Prima menghampirinya. "Setelan kemeja biru laut ini sangat cocok dengan kulitmu." Prima mengambil pakaian itu dan beberapa pakaian lain. Meminta karyawan untuk segera membungkusnya.
"Pri - ma ? I-tu berlebihan ...." Re ingin merebut kembali namun dicegah olehnya. Prima memaksa nya untuk mencoba setelan kemeja itu. Re terpaksa mengikuti perintah.
"Apa lagi yang kamu butuhkan? Oh ya, sepatu." Prima menggiring Re ke bagian penjualan sepatu. Mendudukkan Re dan meminta karyawan untuk mengambil sepasang sepatu lalu memasangkan di kakinya.
"Prima, aku bisa melakukan sendiri," Re merasakan gesekan kulit kakinya dengan tangan Prima.
"Diam dan tenanglah !" Prima merasa ukuran sepatu itu kebesaran.
"Coba yang nomor 38 !"
Karyawan mengambil sepatu lain, Prima mencoba mengenakan kembali di kaki Re, dan ternyata yang ini sangat pas.
"Re, berdiri dan cobalah untuk berjalan !" titah Prima.
Re agak canggung. Sudah lama ia tidak mengenakan sepatu jenis pantofel.
Setelah berjalan beberapa langkah karena rok yang dikenakan agak sempit membuatnya kesulitan berjalan.
"Arrg !" Re memekik dan hampir jatuh. Beruntung Prima menahan tubuhnya. Kedua mata mereka saling beradu.
'Re, kamu masih sama cantiknya dengan yang dulu. Tidak berubah.'
"Maaf." Re melepas pegangan tangannya.
.
"Apa yang kamu lakukan di kamar kakakmu ?"
"Ma-ma ?" Darwin terbata, ia tidak mengira jika ketahuan memasuki kamar Lyon.
Diana melipat tangan di dada menunggu putra bungsunya itu untuk menjelaskan.
"Ehm, itu tadi aku denger kak Lyon berteriak. Setelah aku cek, ternyata kak Lyon hanya menggigau. Aku pikir terjadi sesuatu di kamarnya, untuk itu aku masuk, Ma." jelasnya dengan alibi palsu.
Diana membuka kembali pintu kamar Lyon yang baru saja Darwin tutup untuk mengecek sendiri keadaannya. Didapatinya Lyon sudah bangun. Diana mendekatinya lalu bertanya. "Kamu sudah minum obat ?"
Lyon hanya menggeleng lemas. Diana meraih sebotol obat lalu mengeluarkan sebutir dan memberikannya. "Minumlah!"
Lyon menelan pil itu, Diana menyodorkan segelas air putih.
"Bagaimana keadaanmu ?"
"Masih pusing, Ma."
Diana tersenyum simpul. Itu artinya obatnya bekerja. "Jika kamu belum sembuh juga, mama terpaksa akan membawaku berobat ke luar negeri."
"Terserah Mama, asal aku bisa sembuh dan segera bisa bertemu dengan Mika."
Diana membatin, "Teruslah berharap, karena itu semua tidak akan terwujud."
"Baiklah. Cepatlah tidur !" titahnya.
Lyon mengangguk lalu segera memejamkan mata.
Diana beranjak keluar, di luar masih ada Darwin.
"Ma, sepertinya obat yang diresepkan dokter tidak ampuh. Kenapa tidak ganti dokter lain saja," tukas Darwin ingin mengetahui respon Diana seperti apa.
"Ini sudah dokter yang ke empat kali, aku yakin kakakmu akan segera sembuh. Tinggal menunggu hari saja."
"Aku harap juga begitu, Ma." Darwin tersenyum tipis karena Lyon akan segera sembuh betulan seperti yang Diana katakan, karena ucapan adalah do'a.
Lantas Diana memperingatkan pria berusia 20 tahun itu untuk istirahat. "Sudah malam, kembalilah ke kamarmu!"
"Baik Ma." Darwin bisa bernafas lega, mamanya tidak mengetahui apa yang sudah ia lakukan.
Keesokan paginya.
Diana terperanjat kaku mendapati putra pertamanya tak ada di kamar. Ia berteriak memanggil nama Lyon, Lyon muncul dari arah kamar mandi.
"Lyon, kamu sudah bisa bangun?" tanya Diana dengan mata terkejut. Seharusnya, Lyon masih terbujur lemas tidak seperti saat ini yang terlihat bugar.
"Iya, aku sudah lelah memakai pispot." menunjuk benda itu tergeletak di bawah pintu. Badannya juga terasa pegal - pegal karena berbaring terlalu lama. Pagi ini entah ada energi dari mana ia merasa badannya menjadi bugar.
Diana menelan ludahnya kasar, "Kepalamu masih pusing?" tanyanya untuk memastikan obat itu masih berfungsi.
"Masih, Ma." sahut Lyon sambil menekan pelipisnya.
Diana meletakkan nampan berisi sarapan di atas meja lalu menuntun Lyon duduk. "Sarapan dulu, setelah itu minum obatmu !"
Lyon menurut saja karena ia percaya dengan apa saja yang sudah Diana usahakan untuk kesembuhannya.
Darwin mengintip dari balik pintu lalu bergumam, "Kak Lyon harus tahu kalau sakitnya itu hanya akal - akalan yang dibuat mama untuk menjauhkan Kak Lyon dengan gadis bernama Mika." bergegas pergi setelah melihat Diana menuju ke arah luar.
Meski di kampus yang sama dengan Lyon, tapi Darwin tak pernah bertemu dengannya. Pagi ini ia berencana untuk menemui Dio dan Timmy.
.
selamat membaca dan semoga terhibur!
😘😘😘