NovelToon NovelToon
Rembulan

Rembulan

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Tamat
Popularitas:66.5M
Nilai: 5
Nama Author: ShanTi

Dua putaran matahari ia lewati bersama laki laki yang sama dengan rasa yang berbeda

Cinta yang menggebu penuh dengan dambaan yang berakhir dengan kekecewaan kemudian mundur untuk memberikan ruang.

Cinta kedua yang dibelit oleh takdir karena kesalahpahaman namun berakhir untuk saling mengistimewakan menutup semua luka yang pernah ada.

Rembulan, berapa putaran bumi kau butuhkan untuk meyakinkan bahwa dia adalah laki-laki pilihan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ShanTi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mimpi Buruk yang Kembali

Juno POV

Flashback

Perjalanan Bandung Bogor terasa lambat, saat akhirnya aku memilih menggunakan bis karena setelah pengumuman ujian sidang, akhirnya bisa menengok Inge. Hampir tiga bulan lebih kami tidak pernah bertemu, lewat telepon pun bisa dihitung dengan jari.

Kesibukan menyelesaikan tugas akhir dan pekerjaan Inge di Jakarta mengakibatkan sulit bagi kamu untuk memadukan waktu. Biasanya paling tidak sebulan sekali aku memaksakan diri membawa motor ke Bogor saat dia pulang ke rumah.

Inge bisa selesai kuliah lebih cepat hanya 3.5 tahun, sudah aku perkirakan kalau ia akan selesai lebih cepat dari ku. Aku masih berkutat dengan tugas akhir membuat project design untuk apartemen Rusunami (Rumah Susun Sederhana Milik), lumayan menantang dan menyulitkan karena harus membuat desain dengan fasilitas lengkap tapi biaya minimalis.

Beberapa kali rancangan ditolak dengan alasan tidak memenuhi standar minimal keamanan, biaya operasional yang terlalu tinggi, hingga desain yang dianggap terlalu kompleks. Hingga akhirnya disepakati rancangan desain yang memenuhi prasyarat yang ditetapkan dosen pembimbing. Benar-benar menguras energi dan pikiran.

Aku sengaja tidak memberitahu Inge kalau aku datang ke Bogor, tapi aku sudah tahu kebiasaannya setiap minggu pertama selalu pulang untuk bertemu dengan Bunda. Semenjak kematian Ayah Inge setahun yang lalu mereka akhirnya memutuskan tinggal di Bogor dan menjual rumah di Jakarta sebagai bekal kehidupan mereka.

Dia pasti kaget dan tidak menyangka aku datang, sebulan kebelakang bahkan hanya dua kali kami sempat berkirim kabar lewat video call, selebihnya sesekali dengan pesan. Dia biasanya menjawab pesan dariku saat malam menjelang tidur. Katanya pekerjaan di Bank sangat menyita waktu di siang hari, terkadang masih dilanjut dengan acara pertemuan dengan klien di saat makan malam sehingga pulang sering lewat jam 9 malam.

Aku berharap setelah lulus bisa mendapatkan pekerjaan di Jakarta, kemarin sudah mengontak beberapa alumni dan mereka bilang membutuhkan tenaga baru untuk bergabung. Paling tidak aku bisa menemaninya kalau dia harus pulang malam, kehidupan di Jakarta terlalu keras untuk dijalani sendiri.

Rumah terlihat sepi, yah Bunda hanya tinggal bertiga dengan Arman adik Inge yang sekarang kuliah di IPB. Memilih kuliah di IPB supaya bisa menemani Bunda, karena Inge tetap tidak mau bekerja di Bogor, alasannya gaji di Jakarta lebih besar sehingga ia bisa mendapatkan selisih untuk membiayai Arman.

“Permisi…. Assalamualaikum…”

Kupijit bel, dilihat di jendela tampak ada dua orang di dalam, mereka tampaknya tidak menyadari ada orang di luar, apa belnya tidak berfungsi? Akhirnya ku ketuk jendela dan kembali memberi salam.

“Permisi.. Assalamualaikum” ku dekatkan kepalaku ke jendela agar terdengar, kenapa malah ada suara perempuan sedang menangis…

“Permisi …. Assalamualaikum…” kembali kuucapkan salam, suara tangisan itu berhenti.

“Bundaaa… itu… itu Je… jangan bilang kakak ada di rumah…” suara Inge…

“Ngee…. Woi kedengeran… ini aku… assalamualaikum…” dasar nih anak, pacar datang bukannya disambut malah dibilangin jangan ada di rumah… gak kangen memangnya sama Abang.

Sesaat kemudian malah keheningan yang kudengar dan pintu kamar yang ditutup di dalam rumah. Apakah mereka tidak mengenali suaraku… akhirnya kembali ku ketuk pintu dan mengucapkan salam.

“Assalamualaikum… Ingee… Bunda… ini aku Juno” lama ku ketuk-ketuk pintu hingga akhirnya pintu terbuka. Ternyata Bunda yang membuka pintu. Matanya merah seperti habis menangis dan mukanya tampak sembab.

“Juno…” hanya satu kata pendek yang ia ucapkan dan air matanya kembali mengalir.

“Bunda … kenapa menangis ada apa? Ada apa?” aku kaget, artinya suara menangis tadi adalah suara Bunda tapi rasanya itu seperti suara Inge.

“Ada apa Bunda?” aku semakin merasa penasaran, Bunda hanya menutup muka dan kemudian masuk ke dalam tanpa mempersilahkan aku masuk. Aku mengikutinya, ia duduk di sofa ruang keluarga. Semenjak pindah ke Bogor aku sering datang ke rumah ini, menemani Inge yang ingin pulang hingga kembali ke Bandung. Rumah ini seperti rumah kedua bagiku.

“Juno…. Maafkan Inge yaah…..aaaahhh..…” Bunda kembali menangis tersedu-sedu di sofa. Aku semakin tidak mengerti.

“Bunda… tolong jelaskan aku gak ngerti, ada masalah apa? Inge mana?” aku menengok ke arah kamarnya, pintu kamarnya tertutup. Saat aku akan beranjak ke kamarnya Bunda menahan tanganku.

“Jangan Jun… jangan temui dia dulu sekarang, dia perlu waktu..” Bunda malah melarangku tanpa alasan yang jelas. Kulepaskan genggaman tangannya dan berjalan ke kamarnya, ku coba membuka pintu kamarnya ternyata dikunci.

“Ingee… buka pintu.. Ada apa ini… Ngeee” aku mengetuk-ketuk pintu kamarnya, samar ku dengar dia menangis. Aku jadi semakin kesal.

“Ngeee… jangan kaya anak kecil. Perjalanan dari Bandung ke Bogor itu gak sebentar, dari kemarin aku gak tidur”

“Aku mau ngasih tau… aku udah beres ujian kemarin. Makanya baru bisa ketemu kamu sekarang”

“Ngee buka pintu” suara tangisan dari kamar makin terdengar keras, aku jadi semakin bingung.

Kuketuk pintunya dengan keras, dan akhirnya aku menggedor pintu kamar.

“Ngee BUKA PINTU… JELASIN KAMU KENAPA?” akhirnya aku berteriak keras, semakin ku gedor dengan keras pintu hingga akhirnya Bunda menarik tanganku dan berteriak.

“Inge HAMIL JUNOOO… HAAMILLLL…. Aaaa…..” Bunda menangis sambil memelukku. Menahan tanganku untuk tidak kembali memukul pintu dengan keras.

“Inge hamil…. Inge hamil….” suara itu seperti berdengung di kepalaku. Kenapa Inge bisa hamil? Aku bingung….

“Ma..maksud Bunda Inge hamil bagaimana?” aku masih belum bisa mencerna perkataannya. Tidak mungkin Inge hamil selama ini dia selalu bersamaku.

“Juno maafkan Inge…. Dia khilaf… Maafkan ya nak… Bunda juga tidak tahu ini harus bagaimana” Bunda seperti kehilangan tenaga menangis tersedu-sedu hingga akhirnya jatuh terduduk di lantai. Suara tangisan Inge di dalam kamar semakin terdengar keras.

“Ingeee… keluar jelasin aku gak ngerti” aku kembali menggedor pintunya dengan keras. Dia bukan tipe perempuan yang suka bergaul dengan orang sembarangan, dia perempuan yang sangat pemilih. Hanya sedikit teman dekat yang ia miliki, memang dia pandai bergaul tapi dia tidak seperti itu.

“INGEEE… KELUAR” kutendang pintu… tapi tidak bergeming…

“Junoo… “ suara tangisan Bunda menyadarkanku, ia terduduk di lantai sambil menangis.

“Maafkan Inge yaaa sayang… maafkan… Bunda juga tidak mau kejadian seperti ini… tapi Laki-lakinya katanya mau bertanggung jawab” penjelasan Bunda seperti dengungan lebah di telingaku.

“Laki-laki siapa? SIAPA? SIAPA INGEEE” kembali ku pukul keras pintu kamarnya. Kenapa dia begitu pengecut.

“INGEEE.. KELUAR” Teriakanku yang terakhir seakan memecahkan kerongkonganku..

“Pergiiiii….. Aaahhh…. Pergi…. Aku ga mau ketemu kamu…..aaaaaaahaaahaa” akhirnya terdengar suaranya di antara suara tangisan.

“Bukan begini caranya… keluar kamu” teriakku.

“Aku gak akan pernah mau ketemu kamu lagi…. Kita sudah berakhir…” BANG…. Semudah itu mengucapkan kata berakhir.

“Mau kamu apa Nge… keluar bicara baik-baik” akhirnya aku menurunkan suara menjadi lebih lunak. Kerongkonganku terasa sakit, tadi selama di perjalanan tidak sempat minum dan sekarang berteriak-teriak seperti orang gila.

“Junooo…. Aku mohon tinggalkan aku sendiri sekarang… aku gak mau ketemu kamu lagi… aku bukan lagi Inge yang dulu ...aaaaahhaaaaaahaa” suaranya terdengar di belakang pintu.

“Aku gak akan pernah bisa ketemu kamu lagi… Tolong lupakan aku… Maafin aku….ahaaaahaaaa” suaranya semakin lemah, suara tangisan Bunda di belakangku menjadi seperti bersahutan dengan tangisan dari dalam kamar.

“Siapaa laki-laki itu…..?” dia tidak pernah menjawab…

Flashback Off

Kejadian 6 tahun ini masih membekas di ingatanku, sejak saat itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan Inge. Orang memanggilnya Inne atau Inneke tapi aku memanggil nama panggilan kecil di rumahnya Inge.

Dia tidak pernah memberi tahu dengan siapa menikah, hari itu aku diam di rumahnya, hingga malam tapi ia tidak pernah keluar dari kamar. Akhirnya aku memutuskan pulang, bisa-bisa ia sakit karena tidak makan karena aku tetap di rumahnya.

Minggu depannya saat aku kembali ke Bogor Inge tetap tidak mau menemuiku, bahkan Bunda hanya menerimaku di teras depan. Bunda menjelaskan kalau keluarga laki-laki sudah datang untuk melamar dan bertanggungjawab atas anak yang dikandung Inge. Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak datang lagi ke rumah itu dan melupakan perempuan itu.

Sampai akhirnya dua minggu kemarin aku seperti kembali mengalami mimpi buruk itu lagi, selama enam tahun semenjak perpisahan itu akhirnya aku melihat anak itu dan laki-laki yang menghamilinya. Selama ini ternyata Afi dan Bulan satu kantor dengannya, entah apa yang terjadi selama enam tahun ke belakang, laki-laki itu ternyata sudah pindah dari Bank, karena kudengar saat berita pernikahan Inge muncul di grup kelas, ia menikah dengan teman sekantornya di Bank.

Tentu saja aku tidak datang pada pernikahan dia, teman-teman sekelas tidak berani bergunjing di grup hanya sesekali ada ungkapan ledekan padaku “jagain jodoh orang” katanya tapi aku tidak pernah menanggapi apapun.

Laki-laki itu yang bertemu di Mall yang memandangku penuh dengan tatapan keingintahuan, aku tidak pernah bertemu dengannya, tapi kenapa dia seperti mengenaliku. Aku lebih mengenali anaknya, tatapannya seperti aku kenal. Matanya dan aura perempuan yang kuat menatapku… anak kecil itu seperti menghakimiku.

Saat Bulan menjelaskan kalau anak itu adalah anak Inge, aku seperti dilemparkan kembali ke masa lalu… mengikis kembali luka yang tidak pernah sembuh, luka yang selalu basah, yang aku selalu coba tutup dengan tumpukan pekerjaan dan kesibukan. Aku mengira waktu akan menyembuhkan, ternyata salah… luka itu tidak pernah sembuh.

Dan hari ini aku akhirnya melihatnya lagi… dia masih sama, masih cantik dengan memakai baju kantor yang selalu ingin ia pakai untuk menunjukkan sebagai seorang wanita karir yang berhasil. Ia memang berhasil mencapai tujuannya, menjadi Kepala Cabang di usia muda. Suatu pencapaian yang tidak biasa untuk seorang perempuan. Tapi memang Inge bukan perempuan biasa dia cantik, pintar dan memiliki ambisi untuk melakukan semua dengan baik, hanya satu cacat yang ia miliki dimataku hamil di luar nikah dengan laki-laki yang tidak pernah aku kenal.

Saat SMA kami memiliki minat yang sama, menggambar desain. Kalau dia senang menggambar desain pakaian, aku lebih suka menggambar desain ruang. Mungkin itu yang membuat kami dulu dekat hingga akhirnya masuk kelas tiga. Inge mengklaim kalau aku adalah kekasihnya. Siapa yang tidak bangga dipilih menjadi pacar oleh perempuan idola di sekolah, disaat perselingkuhan Papa dan pertengkaran di rumah menjadi beban pikiran, kehadiran Inge yang menguatkan dan menemani saat aku merasakan ketidakbahagiaan di rumah.

Saat kuliah aku sengaja memilih mengambil jurusan Desain di Bandung, aku sengaja ingin jauh dari rumah, supaya tidak usah bertemu dengan Papa, melihat tangisan Mama dan mendengar pertengkaran mereka. Untungnya Inge mau ikut denganku kuliah ke Bandung, walaupun orang tuanya menentang, tapi dia adalah perempuan yang keras kepala. Bahkan Bunda pun tidak bisa menghalangi keinginannya untuk bisa bersamaku kuliah di Bandung.

Sayangnya dia tidak lulus masuk ke Departemen Desain tapi masuk ke pilihannya yang kedua di Akuntansi di Universitas Negeri di Bandung. Ia memang ingin masuk ke dunia perbankan, menurutnya dunia itu sangat menantang dan menjanjikan perkembangan karir yang cepat. Aku mendukung semua keinginannya, dia adalah perempuan yang sulit ditentang, lebih suka merubah pendapat karena kesulitan yang dialaminya sendiri daripada mendengarkan saran orang lain.

Ada saat-saat dimana dia sering menjadi rentan dan membutuhkan bahu untuk bersandar. Saat ia mulai lelah dengan semua ambisinya, saat semua tidak berjalan sesuai dengan keinginannya, biasanya dia akan mencariku untuk mendapatkan rasa tenang. Aku selalu ingat ucapan dia.

“Bahu kamu selalu terasa hangat”

“Dipeluk sama kamu tuh kaya masuk ke charger baterai …. Kalau energi habis tinggal masuk ke pelukan kamu… pasti nanti keluarnya langsung segar”

Aku masih ingat ucapannya itu, rupanya dia sudah menemukan bahu yang lain, bahu yang memberikannya rasa hangat dan bisa menambah energinya disaat tiga bulan aku tidak bertemu untuk menyelesaikan studiku.

PEREMPUAN MEMANG TIDAK PERNAH BISA DIPEGANG KATA-KATANYA

1
dyul
🤣🤣🤣🤣🤣
Ayaa
ahhh thorrrr lanjutin cerita hasna reza dan ameera angga, KANGENN BANGETTTTTTT😩😍
dyul
mbul... ilmu banget itu....
dyul
Ternyata.... si angga jodoh nya ameraa, 🤣🤣🤣
ᴷᴮ⃝🍓𝓓ͥ𝓪ͫ𝓷ͦ𝓲ͤ𝓪ͭᵇᵃˢᵉՇͫɧͧeᷡeͤՐͤՏꙷ
Juned udah gak tahan pingin eheeeem 🤣🤣🤣🤣🤣🤣
dyul
papi... kudisan.... si tukang marah....lakinya hasna 🤣🤣🤣🤣
dyul
mbul..... 🤣🤣🤣🤣
dyul
🤣🤣🤣🤣
dyul
shrook..... antara sedih sm lucu
dyul
duh😭😭😭😭
dyul
alah maneh beny gangguin org belah duren🤣🤣🤣🤣
larasati
Luar biasa
dyul
🤣🤣🤣🤣
dyul
😭😭😭😭
Cucu Supriatin
ntah yg ke berapa x ny baca ulang

..GK bosen2...
Herawati
Luar biasa
Herawati
Lumayan
Dwi Nuryani
luar biasa
Widayati Y
seruuu
Nani Widia
baca episode ini sama bulan putus pasti nanggis padahal dah baca beberapa kali/Sob//Sob//Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!