apa jadinya kalau seorang istri dari CEO ternama selalu dipandang sebelah mata di mata keluarga sang suami.
kekerasan Verbal sekaligus kekerasan fisik pun kerap dialami oleh seorang istri bernama Anindyta steviona. memiliki paras cantik ternyata tak membuat dirinya di hargai oleh keluarga suaminya.
sedangkan sang suami yang bernama Adriel ramon hanya mampu melihat tanpa membela sang istri.
hingga suatu hari Anin mengalami hal yang membuat kesabaran nya habis.
akan kah Anin dapat membuat keluarga suaminya itu menerima balasan dendam darinya. semua jawaban itu terkuak dari novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifa Riris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Da-darah." Ucap Anin, matanya kini menatap kearah darah yang berasal dari dalam pakaian yang ia kenakan.
Setelah itu, Anin tak sadarkan diri lagi.
1 jam kemudian
Perlahan mata Anin mengerjap, matanya menelisik mengarah kearah ruangan.
"Dimana aku?" Tana Anin, sambil memegang kepala nya yang masih terasa sakit.
Ketika sedang berusaha untuk bangun, suara seseorang tengah berbincang terdengar di telinga Anin.
"Saya tidak tau kalau istri saya hamil."
"Setelah ini saya harap, anda lebih memberi perhatian pada istri anda. Karna....seperti yang anda ketahui, janin yang berada dalam kandungan pasien terbilang cukup bermasalah.
" Dan mungkin itulah penyebab, yang membuat janin dalam kandungan pasien mengalami keguguran hanya karna dorongan kecil."
Deg
Anin terdiam.
Obrolan sang dokter dan juga Adriel suaminya, terdengar cukup jelas di telinganya.
'Janin? Apa selama ini aku hamil? Tapi waktu itu aku tas pack, hasilnya negatif.' ucap Anin dalam hatinya.
Ketika dokter itu pergi, Adriel menatap kearah celah pintu kearah ruang inap, matanya tertegun akan wanita yang sudah berdiri tepat di samping ranjang sambil menatap kearah dirinya.
"Anin!" Lirih Adriel.
Perlahan langkah Adriel melangkah kedalam ruangan itu.
"Kamu sudah sadar?" Tanya Adriel.
Air mata Anin seakan menjawab perasaannya sekarang. Tak ada lontaran kata, Anin diam seribu bahasa. Akan tetapi, tatapan matanya mengarah tajam keara Adriel.
Merasa bersalah, Adriel mencoba meraih tangan Anin. Tapi langsung di hempas oleh Anin begitu saja.
Sambil mengatur nafasnya, Anin berucap. "Apa yang di katakan dokter tadi itu benar? Apa aku hamil? Dan apa aku telah keguguran?" Nada bicara Anin gemetar tak karuan.
"Anin!"
"Katakan!" Senta Anin. "Cepat Katakan!" Ulang Anin kembali, sembari penuh penekanan dalam berucap.
Bukannya menjawab, Adriel malah bersimpuh di depan Anin. Air mata pria itu keluar tanpa diminta. Dengan lontaran kata yang terdengar pilu, Adriel ucapkan. "Maafin aku, semua ini karna kesalahan ku."
"Apa?" "Hiks...huhuhu.." Anin meracau tak karuan, suara tangisan, hingga suara nafas tersengal pun terdengar.
Wajah Anin ia usap dengan kasar. Sentuhan Adriel pada tangannya ia hempas begitu saja, keberadaan Adriel yang berlutut di depannya pun ia dorong untuk menjauh dari dirinya.
"Menjauh dari ku!" Sentak Anin.
Kilatan kemarahan terpampang jelas di mata Anin.
Sedangkan Adriel tak mengelak sama sekali perlakuan Anin padanya. Pria itu hanya mampu menangis sambil meracau mengucap, minta maaf.
Langkah kaki Anin ia arahkan kearah pintu ruang inap.
"Anin, dokter bilang kamu harus istirahat yang cukup. Dokter... " Ucapan Adriel menghalau kepergian Anin pun terpotong.
Langkah kaki Anin terhenti. "Kau tau? Selamat mas, kau berhasil membuat ku hancur. Dan mungkin setelah ini, aku tidak akan ada belas kasihan lagi dengan mu dan juga keluarga mu itu."
Setelah mengatakan hal itu, Anin beranjak pergi. Langkah kakinya mengarah ke luar ruangan itu.
****
Di atas atap gedung rumah sakit
Mata Anin menatap kearah gedung-gadung yang kini nampak di depannya. Pandangan yang terlihat sayu, bekas air mata yang masih saja terlihat di pipi mulus nya.
"Apa salah anak ku? Kenapa kau mengambilnya Tuhan? Bahkan tanpa aku tau kehadirannya selama ini, kenapa kau mengambilnya?" Ucap Anin.
Mendadak ingatannya kembali pada kejadian dimana Adriel yang mendorong tubuhnya, hingga ia sampai keguguran.
"Ahhhh..." Anin berteriak cukup kencang. "Apa salah ku Tuhan? Kenapa kau selalu mengujiku? Jika di dunia ini, tak ada yang memihak ku, lalu kenapa kau juga ikut tak memihak ku?"
"Kamu salah." Ucap pria yang telah berdiri, dengan jas putih atau snell kedokteran.
Tubuh Anin pun berbalik, matanya kearah sosok pria tampan yang tampaknya seorang dokter.
"Tuhan selalu mihak kamu, hanya kita saja yang tak menyadarinya." Imbuhnya kembali.
Senyuman remeh Anin berikan. Masih dengan posisi yang sama, berdiri di pinggir pagar besi diatas atap gedung rumah sakit itu. "Kau tau apa tentang ku? Kau tak tau, bagaimana Tuhan berlaku tak adil selama ini dengan ku." Ucap Anin.
"Apa kau yakin Tuhan seperti itu?"
"Apa?"
"Kau tau bahwa Tuhan tak seperti itu, hanya kau ingin melampiaskan kegagalan mu pada Tuhan yang selama ini memberi mu hidup dengan sehat."
Anin terdiam. Air matanya keluar tanpa di minta.
Perlahan pria itu berjalan kearah Anin berada, tangannya ia ulurkan kearah Anin. "Turun, dan aku katakan padaku, apa yang membuat mu sampai tidak percaya kebaikan Tuhan?" Ucapnya.
Sambil terisak, Anin pun akhirnya luluh. Tangan pria itu ia raih, sekaligus segera turun dari atas pagar besi di tempat itu.
*****
Kini Anin dan pria yang masih mengenakan pakaian dokter sama-sama mengarahkan pandangan nya kearah langit yang cerah.
"Jadi kau keguguran, dan itu semua karna suami mu?"
"Em." Jawab Anin, ia tersenyum simpul setelah itu. "Kau pasti mengasihani ku sekarang, apa sekarang kau setuju kalau tuhan tak adil dengan ku?" Imbuh Anin.
Pria itu menatap lekat kearah Anin. "Siapa bilang? Aku tetap tak setuju dengan ucapan mu itu."
"Apa?" Anin mengernyitkan dahi nya. Tapi setelah itu ia kembali tertawa ringan. "Tentu saja, kau mana paham. Kau seorang dokter tampan, bicara mu juga seperti dari keluarga baik-baik. Dibanding dengan ku kau.... "
Ucapan Anin di sela oleh sang dokter itu. "Mama ku selingkuh, dan meninggalkan diriku saat aku masih kecil. Ayah ku meninggal setelah nya. Dan disusul dengan kematian mama yang mendadak. Aku tinggal bersama Eyang ku saja, hanya dia yang aku punya.
"Tapi tak lama dia juga pergi meninggalkan aku setelah itu, tak ada yang mendukung ku selama ini. Aku menjadi dokter, dan hidup baik hanya karna kebaikan Tuhan memberiku kekuatan itu."
Anin terdiam.
Pria itu mengulurkan tangannya pada Anin. "Nama ku Danu!" "Maukah kau berteman dengan ku, mungkin kau bisa meminta ku untuk berada di pihak mu."
Mata Anin tertegun menatap pria di depannya.
'Bukan lah dia pria yang sama dengan pria yang menyelamatkan ku waktu itu, mengapa dia ingin membantu ku? Siapa dia sebenarnya? Apa benar dia ingin memihak ku?' ucap Anin dalam hatinya.
Bersambung.