NovelToon NovelToon
Reina: Become Trouble Maker

Reina: Become Trouble Maker

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Pembaca Pikiran
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.

Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35

Leon menatap kedua putri angkatnya yang tengah menyantap makan malam dalam keheningan. Suasana di rumah itu terasa jauh lebih tenang sejak Reina memutuskan untuk 'membuang' Arina. Namun, ketenangan itu hanya sementara, karena hati Leon kini dibayangi penyesalan.

Bukti-bukti yang berhasil dikumpulkannya menunjukkan sesuatu yang seharusnya ia perhatikan lebih awal. Perasaan menyesal muncul—kenapa ia tidak mendengarkan peringatan Reina?

Pertengkaran hebat antara mereka masih membekas. Leon akhirnya memilih pergi, lalu membawa pulang Arina dan Althea, tapi sejak saat itu, Reina berubah. Gadis yang dulu ceria dan penuh ide kini menjelma menjadi pribadi yang penuh misteri dan gelap.

Leon pernah memergoki Reina melakukan sesuatu yang bahkan tak pernah ia bayangkan. Dengan wajah dingin dan tanpa belas kasih, Reina menyiksa seseorang, dibantu oleh seorang pria misterius dengan aura yang sangat tidak biasa. Tatapan mata pria itu, tajam dan dingin seperti elang, masih terngiang dalam ingatannya.

Leon mengalihkan pandangannya ke arah Althea. Setelah ibunya disingkirkan oleh Reina, gadis itu menjadi lebih ekspresif, meski sebagian besar waktunya dihabiskan menatap layar ponsel. Sesekali, Leon memergokinya tenggelam dalam kegiatan cosplay dadakan dengan gaun-gaun yang... yah, sulit dicerna oleh mata.

Namun, dibandingkan masa lalu, Althea setidaknya tidak lagi menyebalkan seperti dulu. Leon merasa lega bahwa ia tak perlu menghadapi drama tambahan dari gadis itu.

Malam itu, ia hanya duduk diam, menatap kedua putri angkatnya, sambil bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah ini hanya ketenangan sebelum badai? Atau mungkin, akhir dari sebuah babak penuh kekacauan?

"Jika saja dulu aku mendengarkan Reina," pikir Leon penuh penyesalan. Mungkin, saat ini dia bisa menjalani hari-hari dengan keponakan yang dia anggap sebagai anaknya dalam kebahagiaan, seperti beberapa waktu lalu sebelum semuanya berubah.

Namun, lamunan itu terhenti oleh suara yang tak terduga. "Apa yang Ayah sesalkan?" Pertanyaan Reina memecah keheningan, membuat Leon terperanjat. Bagaimana dia bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkannya?

Leon menoleh perlahan, tapi sebelum dia sempat menjawab, Reina sudah melanjutkan. "Yang lalu tidak bisa diubah, termasuk yang sudah mati. Jadi, Ayah, fokuslah pada yang ada sekarang, bukan berpaling ke masa lalu," ucapnya dengan nada tajam.

Mata hijau Reina memancarkan ketegasan, tetapi di balik itu, ada luka mendalam yang tak terlihat. Luka yang tidak pernah dia ungkapkan.

"Oh, atau mungkin Ayah sedang menyesal, Kak," sahut Althea dengan nada santai, menatap Reina sekilas sebelum kembali sibuk dengan ponselnya. "Mungkin Ayah menyesal telah memutuskan untuk merawat kita."

Komentar Althea membuat suasana semakin hening. Reina hanya menatap Leon sejenak dengan tatapan dingin, seolah menantang pria itu untuk menyangkalnya. Namun, Leon tidak menemukan kata-kata. Semua yang terjadi di masa lalu terasa seperti beban yang menghantui setiap langkahnya.

Reina mendesah pelan, lalu bangkit dari kursinya. "Jangan terlalu keras pada dirimu, Ayah," ucapnya dengan suara datar sebelum berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Leon yang terdiam di tempatnya.

Leon hanya bisa menatap punggung Reina yang menjauh, sambil bertanya-tanya apakah dia masih punya waktu untuk memperbaiki semuanya—atau apakah semuanya sudah terlalu terlambat.

'Plak!'

"Kyaaaa!!!"

Jeritan histeris Althea mengguncang seluruh rumah berlantai dua itu. Gadis itu panik, sibuk menyingkirkan kelelawar yang menempel di wajahnya. Jeremy—sang kelelawar usil—dengan santai mengemut ujung hidung Althea sambil bergelantungan seperti tak terjadi apa-apa.

"Jeremy! Apa kau tidak punya hal lain selain menempel di wajah orang?!" seru Reina kesal, dengan cekatan menarik kelelawar itu dari wajah Althea. Wajah gadis itu sudah memucat, matanya berair dengan air mata yang nyaris tumpah.

"Reina sayang~ Aku bosan! Lud menyerangku tadi, dan hampir membuat wajahku yang tampan ini rusak!" Jeremy merajuk sambil melipat sayapnya dengan ekspresi menggerutu. "Lagipula aku sedang tidak ada kerjaan!"

Reina menatap Jeremy dengan ekspresi datar, tapi senyumnya mulai berubah menjadi seringai tajam. "Kau bosan, ya?" tanyanya dengan nada yang terlalu manis untuk tidak mencurigakan.

Melihat seringai itu, Althea langsung merinding. "Reina, jangan macam-macam... Kasihan dia," bisiknya pelan, tapi jelas tidak ada yang mendengar.

Dan kemudian...

"Reina!! Hei!! Apa-apaan ini!!!"

Suara histeris Jeremy menggema. Kini, dia berada di atas kompor dengan kedua sayap terikat lakban. Panci air mendidih mengepul tepat di bawahnya, mengirimkan gelombang uap panas yang membuatnya meringis.

"Bukannya kau sedang bosan? Aku hanya membantumu menghabiskan waktu," ucap Reina dengan nada manis yang tak sepadan dengan ekspresi penuh kenakalannya. "Nikmati sop uapnya, kelelawar usil!"

Dia tertawa puas, terkekeh seperti iblis kecil.

"Ahahaha!! Kau benar-benar, ya! Kau pikir aku akan takut dengan uap begini? Tidak, Sayang~ Aku menikmati ini!" balas Jeremy dengan nada sok berani, meskipun jelas matanya mulai melirik cemas ke arah panci mendidih di bawahnya.

Althea, yang menyaksikan semua itu, hanya bisa memandang pasrah. "Kenapa mereka tidak pernah normal satu hari saja..." gumamnya, sebelum memutuskan pergi meninggalkan duo aneh itu.

Jeremy terus meronta di atas kompor, tapi Reina tetap bersikap santai, bahkan terlihat menikmati momen tersebut.

"Kau mau minta ampun, Jeremy?" tanya Reina, mencondongkan tubuhnya ke arah kelelawar itu dengan tatapan tajam.

"Memangnya kenapa kalau aku bosan? Apa ini caramu memperlakukan temanmu? Aku tidak pernah diperlakukan sekejam ini oleh siapa pun, Reina sayang!" Jeremy berteriak dramatis, meski ada sedikit getaran di suaranya yang memperlihatkan ketakutannya.

Reina hanya mendengus. "Ini bukan kekejaman, Jeremy. Ini pelajaran. Kau pikir aku tidak tahu betapa seringnya kau mengganggu orang lain, terutama Althea?"

"Dia butuh hiburan!" Jeremy membela diri sambil menggerak-gerakkan tubuhnya, mencoba melepaskan diri dari lakban di sayapnya.

"Dia butuh ketenangan, bukan hiburan dalam bentukmu yang menempel di wajahnya," jawab Reina sinis, sambil mengecek suhu air di panci.

Sementara itu, di sudut ruangan, Althea kembali mengintip dengan hati-hati. "Kak Reina, cukup! Kasihan dia!" serunya dengan nada memohon.

Reina berbalik, menatap Althea dengan ekspresi datar. "Dia tidak akan jera kalau tidak diberi pelajaran. Lagi pula, ini tidak akan membunuhnya. Jeremy terlalu keras kepala untuk itu."

"Aku setuju dengan Reina!" suara familiar muncul dari arah pintu. Lud, seekor burung hantu dengan tatapan tajam, masuk sambil mengepakkan sayapnya. "Dia tadi mencuri makananku."

"Hei! Kau jangan ikut-ikutan!" teriak Jeremy protes, melotot ke arah Lud.

"Kalau kau berhenti menyebalkan, mungkin aku akan mempertimbangkan membebaskanmu," ucap Reina sambil mengangkat bahu.

"Tidak! Aku tidak menyerah! Kau harus tahu, Reina, aku tidak mudah dikalahkan!" Jeremy bersikeras, meski sekarang keringat mulai bercucuran di dahinya karena uap dari panci.

Reina hanya menghela napas panjang. "Terserah kau saja, Jeremy. Kalau kau masih mau keras kepala, ya silakan nikmati waktu istirahatmu di sana."

Reina berjalan menjauh, meninggalkan Jeremy di atas kompor, sementara Lud tertawa kecil melihat sahabatnya itu dalam keadaan menyedihkan. Althea, yang merasa tidak tega, akhirnya mendekati kompor untuk menolong Jeremy.

"Baiklah, baiklah, aku menyerah! Lepaskan aku!" teriak Jeremy akhirnya, membuat Althea langsung menarik lakban di sayapnya.

"Jeremy, kau memang cari masalah," kata Althea sambil mendengus, melepaskan ikatan terakhirnya.

"Kau tidak tahu betapa aku menderita," keluh Jeremy, terbang menjauh dengan wajah yang mencerminkan trauma sementara.

Reina hanya melirik dari jauh, menyeringai kecil. "Semoga dia kapok," gumamnya puas.

"Semoga saja." Lud hinggap di bahu Reina sambil menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.

Jeremy menggoyangkan gelas kristal di tangannya, menatap cairan merah tua di dalamnya dengan senyum penuh kemenangan. Itu bukan darah, melainkan wine terbaik yang berhasil dia curi dari atasan yang sering memperlakukannya seperti budak.

"Kyahaha~ Akhirnya kau jadi milikku, sayang~" Jeremy terkikik geli membayangkan reaksi sang atasan saat menyadari salah satu koleksi winenya hilang begitu saja dari lemari penyimpanan rahasia.

Namun, kesenangannya tak berlangsung lama. Tepat ketika dia menyesap minuman itu, pintu ruangan Jeremy didobrak keras hingga membuatnya nyaris tersedak. Dengan terburu-buru, dia menenggak habis wine itu sambil menatap kesal pada sosok yang masuk tanpa izin.

'Glek.'

"Ada apa?" Jeremy bertanya ketus sambil mengusap bibirnya. Matanya menangkap sosok pria dengan rambut merah gelap dan tatapan dingin berdiri di ambang pintu.

Pria itu adalah Nicodemus Urobach, salah satu iblis api terkuat dan pengawal setia sang kaisar iblis.

"Aku mendengar Carvina sudah bereinkarnasi," ucap Nicodemus datar, berjalan mendekati Jeremy yang terlihat sibuk jatuh cinta pada wine curiannya.

Jeremy tertawa kecil, mengabaikan nada serius Nicodemus. "Benar, benar~ Aku menyuruhnya mencari raja iblis yang kabur ke dunia manusia. Kau tahu kan, drama kecil seperti ini yang membuat segalanya lebih menarik." Dia menyeringai, lalu mengangkat gelasnya. "Tapi, hei, tidak asyik ngobrol tanpa minuman. Bagaimana kalau kita minum dulu?"

Nicodemus memicingkan mata, memandang Jeremy penuh curiga. "Darimana kau dapatkan wine itu?" tanyanya. Dia tahu reputasi Jeremy sebagai pembuat masalah.

"Ah, aku menemukannya di mejaku, mungkin hadiah dari penggemar rahasiaku?" Jeremy menjawab enteng, menuangkan wine ke dalam sloki dan menyodorkannya pada Nicodemus.

Nicodemus mengambil gelas itu tanpa berkata apa-apa, tapi tatapannya tak lepas dari Jeremy, penuh tanda tanya. Ketika dia hendak meminum wine itu, pintu ruangan kembali terbuka kasar, kali ini lebih keras daripada sebelumnya.

Sosok pria dengan wajah sempurna dan sorot mata tajam berdiri di ambang pintu, membuat suasana ruangan mencekam. Wajahnya terlihat seperti dipahat oleh tangan dewa, tapi sorot matanya cukup untuk membuat siapa saja mundur. Itu adalah Lud Adbadon, salah satu Marquis paling ditakuti di dunia iblis.

Tatapannya langsung tertuju pada botol wine di meja, membuat Jeremy menelan ludah. Wajah Lud menyipit, dan Jeremy tahu dia sudah dalam masalah besar.

"Oh, Tuan Adbadon~" Jeremy bersikap manis dengan senyum palsu di wajahnya. "Mau minum bersama?" Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dia sudah tahu betul, wine ini adalah milik Lud.

Lud mendekati meja dengan langkah lambat, duduk dengan anggun di sofa sambil terus memandang Jeremy. "Tentu, kalau kau tak keberatan."

Dengan tangan gemetar, Jeremy menuangkan wine ke dalam gelas Lud dan menyodorkannya. Lud meminum wine itu perlahan, matanya tak pernah lepas dari Jeremy, menambah tekanan di ruangan.

Jeremy mencoba menyembunyikan kegelisahannya dengan tertawa gugup. "Ahahaha~ Nikmat, kan? Wine terbaik, ya?"

Lud tidak menjawab, hanya menatapnya dengan ekspresi datar yang cukup membuat Jeremy merasa seperti domba yang siap disembelih.

Akhirnya, Jeremy mengambil keputusan cepat. "Ah, aku baru ingat ada urusan mendesak yang harus kuselesaikan! Selamat menikmati, ya!" katanya, segera berdiri.

Sebelum Lud bisa berkata apa-apa, Jeremy langsung menghilang dalam kepulan asap hitam yang berubah menjadi kawanan burung gagak. Burung-burung itu terbang berhamburan, meninggalkan ruangan dengan bulu hitam bertebaran.

Lud menatap kosong ke arah pintu yang kini terbuka lebar, lalu beralih ke Nicodemus. "Dia benar-benar tak berubah," gumamnya sambil meneguk wine lagi.

Nicodemus hanya mengangguk kecil. "Setidaknya wine-mu aman, untuk saat ini."

Lud menghirup aroma wine di gelasnya, matanya sedikit menyipit saat rasa familiar mulai terlintas di pikirannya. Dia kembali menyeruput pelan-pelan, lalu menatap botol wine di meja dengan pandangan tajam.

"Jeremy," gumam Lud dengan suara rendah, hampir seperti desisan, tetapi cukup untuk membuat Nicodemus meliriknya.

"Apa?" Nicodemus bertanya sambil mengangkat alis, meskipun dalam hatinya dia sudah bisa menebak apa yang terjadi.

Lud mengangkat botol wine itu, memperhatikannya dengan seksama. Kemudian, dia melihat tanda kecil di bagian bawah botol, sesuatu yang hanya bisa dikenali oleh seorang kolektor sejati.

"Wine ini," Lud berbicara perlahan, nyaris tidak percaya, "adalah milikku."

Nicodemus terdiam, mencoba menahan tawa yang mulai menggelitik di tenggorokannya. "Milikmu?" tanyanya, meskipun dia tahu jawabannya.

"Ya," jawab Lud tegas, matanya menyipit penuh kemarahan. "Ini adalah salah satu koleksi pribadiku. Botol ini seharusnya ada di ruang penyimpananku yang terkunci." Dia mendecakkan lidah, meletakkan botol itu kembali ke meja dengan bunyi keras. "Bajingan kelelawar itu benar-benar melampaui batas."

Nicodemus akhirnya tidak bisa menahan tawanya. "Aku sudah bilang, dia tidak pernah berubah. Kau harus lebih berhati-hati dengan barang-barang berhargamu di sekitarnya."

Lud memutar matanya, tetapi kemarahannya terlihat jelas. Dia berdiri, kedua tangannya mengepal. "Aku tidak akan membiarkan ini begitu saja. Dia harus membayar untuk ini."

Nicodemus mendesah panjang, mencoba menenangkan situasi. "Lud, ini hanya sebotol wine. Kau tahu Jeremy—dia hanya mencari kesenangan kecil di tengah kekacauan kita. Apakah ini benar-benar layak untuk dibesar-besarkan?"

Namun, Lud tidak peduli. Baginya, koleksi winenya adalah hal yang sakral. "Ini bukan tentang wine," katanya dingin. "Ini tentang harga diri."

Nicodemus mengangkat bahu, tidak berusaha menghentikan Lud yang sudah bersiap meninggalkan ruangan. "Kalau kau ingin mengejarnya, aku tidak akan menghentikanmu. Tapi jangan lupa, dia sangat ahli dalam melarikan diri."

Lud hanya mendengus. "Dia bisa mencoba lari sejauh mungkin, tapi aku selalu tahu di mana menemukannya."

Dan dengan itu, Lud menghilang dalam bayangan, meninggalkan Nicodemus yang hanya bisa menggelengkan kepala sambil menyeruput wine milik Lud. "Bodoh, tapi menyenangkan," gumamnya pelan, menikmati kekacauan yang akan segera terjadi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!