Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aryo dan Filosofi Mie Instan
Kos sederhana di pinggir kota itu selalu penuh dengan suara diskusi, tawa, dan aroma mie instan. Malam itu tidak berbeda. Rehan duduk bersandar di tembok kamar sambil memegang mangkuk mie instan, sementara Aryo sibuk mengaduk kuah mie di depannya. Mereka berdua adalah penghuni tetap kos yang sering melewatkan malam dengan obrolan ringan, meski topik yang dibahas terkadang tidak biasa.
“Han, gue bilang ya, cinta itu kayak mie instan,” ucap Aryo tiba-tiba, membuka percakapan dengan analogi khasnya. Ia menyeruput kuah mie dengan semangat, seperti seorang filsuf yang baru saja menemukan teori hidup baru.
Rehan meliriknya tanpa banyak ekspresi. “Maksud lo apa? Murah dan gampang didapat?” tanyanya dengan nada datar.
Aryo menggeleng cepat. “Bukan cuma itu. Cinta itu cepet, murah, tapi enak! Lo nggak bisa bohong kalau mie instan adalah salah satu nikmat dunia yang paling simpel.”
Rehan mendesah pelan sambil mengaduk-aduk mie di mangkuknya. “Dan kayak mie instan, cinta juga nggak sehat. Lo tau kan, terlalu banyak makan mie instan bisa bikin hipertensi?”
Aryo menepuk jidat dengan dramatis. “Tuh kan! Makanya lo nggak punya gebetan! Lo tuh terlalu bawa logika ke semua hal. Kadang, Han, cinta itu nggak butuh penjelasan ilmiah.”
Diskusi antara Aryo dan Rehan seringkali berakhir seperti ini: Aryo mencoba membangun teori tentang kehidupan, sementara Rehan membongkar teori itu dengan logika tajamnya. Namun, meskipun sering berbeda pendapat, mereka tetap saling menghormati cara pandang masing-masing.
“Aryo, gue nggak bilang cinta itu nggak penting. Gue cuma nggak ngerti kenapa orang-orang rela ngelakuin hal bodoh demi sesuatu yang nggak bisa dijelaskan secara rasional,” kata Rehan sambil meletakkan mangkuknya.
Aryo memiringkan kepala sambil menatap temannya itu. “Lo nggak pernah ngerasain jatuh cinta, ya?”
Rehan mengangkat bahu. “Mungkin pernah, tapi nggak signifikan sampai bikin gue kehilangan akal sehat. Menurut gue, kalau lo jatuh cinta sampai jadi nggak logis, itu masalah.”
Aryo tertawa kecil. “Ya Tuhan, lo itu kayak robot, Han. Cinta itu nggak perlu logis. Lo harus ngerasain, biar lo tau gimana rasanya.”
Rehan menatap Aryo sejenak, lalu berkata, “Dan lo sendiri? Lo ngomong soal cinta, tapi lo juga nggak pernah punya pacar.”
Aryo tersenyum lebar. “Bener, gue emang nggak pernah pacaran. Tapi gue pernah suka sama seseorang. Dan itu cukup buat gue ngerti kalau cinta itu indah.”
Rehan terdiam. Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa tertarik dengan apa yang dikatakan Aryo.
“Coba ceritain,” pinta Rehan, mengejutkan Aryo yang sedang menyeruput kuah mie.
Aryo mengangkat alis. “Serius lo mau denger?”
Rehan mengangguk. “Gue pengen tau apa yang bikin lo percaya kalau cinta itu kayak mie instan.”
Aryo meletakkan mangkuknya dan mulai bercerita. “Waktu gue masih SMA, gue suka sama cewek namanya Rena. Dia cantik, pinter, tapi nggak sombong. Gue inget banget, dia pernah bantu gue ngerjain tugas biologi yang gue nggak ngerti sama sekali.”
“Dan lo nggak bilang kalau lo suka dia?” tanya Rehan, nadanya terdengar lebih ingin tahu daripada biasanya.
Aryo menggeleng. “Nggak. Gue terlalu takut. Tapi gue sering bikin alasan buat ngobrol sama dia. Mulai dari pura-pura butuh bantuan tugas, sampai nanyain hal-hal nggak penting kayak jadwal ujian. Gue tau, itu nggak logis. Tapi gue seneng setiap kali ngobrol sama dia.”
Rehan mengernyit. “Dan itu cukup buat lo?”
Aryo mengangguk dengan mantap. “Iya. Kadang, cinta itu nggak harus dimiliki, Han. Cukup dirasain aja.”
Rehan terdiam, merenungkan kata-kata Aryo. Mungkin ada benarnya, pikirnya. Tapi ia tetap tidak bisa sepenuhnya menerima gagasan bahwa sesuatu yang begitu abstrak bisa memiliki dampak sebesar itu.
Setelah beberapa saat hening, Aryo kembali membuka suara. “Tapi lo, Han. Apa lo nggak penasaran gimana rasanya punya seseorang yang selalu ada buat lo?”
Rehan mengangkat bahu. “Gue punya lo. Kita kan selalu ada buat satu sama lain,” jawabnya sambil tersenyum tipis.
Aryo tertawa terbahak-bahak. “Han, beda lah! Gue nggak bisa kasih lo pelukan hangat atau kata-kata manis kayak di drama Korea.”
“Dan gue nggak butuh itu,” balas Rehan. “Kalau lo pikir cinta bisa bikin hidup gue lebih baik, lo salah. Gue udah cukup bahagia dengan apa yang gue punya sekarang.”
Aryo memiringkan kepala, menatap Rehan dengan serius. “Lo tau nggak, Han? Kadang, orang yang bilang mereka bahagia itu sebenarnya cuma nggak mau keliatan lemah. Lo pasti pernah ngerasa kesepian, kan?”
Rehan terdiam lagi. Kata-kata Aryo menusuk lebih dalam daripada yang ia harapkan.
Setelah beberapa saat, Rehan akhirnya bicara. “Mungkin lo bener. Kadang gue ngerasa kesepian. Tapi gue nggak yakin cinta adalah jawabannya.”
Aryo tersenyum. “Nggak apa-apa, Han. Lo nggak harus percaya sama cinta sekarang. Tapi suatu hari, lo bakal ngerti kenapa gue bilang cinta itu kayak mie instan.”
Rehan tertawa kecil. “Kalau suatu hari gue jatuh cinta, gue bakal bilang ke lo.”
Aryo mengacungkan sumpitnya. “Deal! Gue tunggu hari itu, Han.”
Malam itu berakhir dengan mereka berdua tertawa bersama, seperti biasa. Meskipun sering berbeda pendapat, mereka tahu bahwa persahabatan mereka adalah sesuatu yang tak tergantikan. Dan bagi Rehan, obrolan malam itu meninggalkan sebuah pemikiran baru.
Mungkin, pikirnya, Aryo punya alasan untuk percaya pada filosofi mie instan. Sesuatu yang sederhana, cepat, dan mungkin tidak sehat, tapi tetap bisa memberikan kehangatan di tengah malam yang dingin.
Dan untuk pertama kalinya, Rehan mulai bertanya-tanya apakah ada hal lain dalam hidupnya yang belum ia pahami—termasuk soal cinta.