NovelToon NovelToon
Adharma

Adharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Horror Thriller-Horror / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.

Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.

Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.

Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebuah Kehangatan Sebelum membantai

Rumah kecil itu terasa begitu hening setelah Bima kembali ke kamarnya. Lampu ruang tamu temaram, hanya menyisakan cahaya lembut dari lampu sudut. Rini duduk di sofa, memeluk cangkir teh yang sudah mulai dingin.

Darma masih diam, matanya menatap kosong ke lantai. Luka-luka yang ia pendam terlalu dalam kini mengapung ke permukaan.

"Sejak kapan kau kembali?" suara Rini lembut, tapi penuh rasa ingin tahu.

Darma menghela napas panjang. "Tidak lama… Aku kembali bukan sebagai diriku yang dulu."

Rini memperhatikan wajahnya yang penuh luka, mata yang kosong, bahu yang sedikit membungkuk seolah menanggung beban dunia.

"Aku bisa melihat itu," Rini menyesap tehnya. "Darma yang aku kenal dulu selalu tersenyum. Dia pekerja keras, ayah yang baik, suami yang penuh kasih."

Darma mengepalkan tangannya di atas pahanya. "Orang itu sudah mati, Rini."

Keheningan kembali mengisi ruangan.

Rini menatapnya dalam-dalam. "Tapi kau masih hidup."

Darma terkekeh pelan, tapi bukan karena lucu—lebih seperti seseorang yang sudah menyerah pada dunia. "Apa gunanya hidup kalau aku tidak punya alasan lagi?"

PLAK!

Tangan Rini mendarat di punggung tangannya. Bukan tamparan, hanya sentuhan tegas.

"Jangan pernah berkata seperti itu."

Darma menoleh, melihat mata Rini yang berkaca-kaca.

"Kau masih punya nyawa, Darma. Kau masih punya kesempatan. Aku tahu kau ingin membalas dendam, tapi... ini bukan cuma soal kau."

Darma menatapnya lama. "Aku tidak mencari alasan untuk hidup, Rini. Aku mencari alasan untuk menyelesaikan semua ini."

Rini menggeleng pelan. "Dan setelah semuanya selesai? Apa yang kau lakukan?"

Darma terdiam.

"Kau mati begitu saja? Seperti itu?" lanjut Rini dengan suara yang bergetar. "Lalu apa bedanya kau dengan mereka yang membunuh Sinta, Dwi, dan keluargamu?"

Darma merasakan amarah merambat ke dadanya. "Aku bukan seperti mereka!"

"Lalu kenapa kau ingin mengakhiri hidupmu setelah membunuh mereka?"

Darma terkesiap.

Ia belum pernah berpikir sejauh itu.

Rini menarik napas panjang. "Dulu, saat suamiku meninggal... aku juga ingin mati, Darma."

Darma menoleh, menatapnya dengan dahi berkerut.

"Aku pikir, kalau aku ikut mati, mungkin aku bisa bertemu dengannya di dunia lain. Tapi saat aku melihat Bima—anak yang bahkan belum bisa memahami apa itu kematian—aku sadar aku tidak bisa egois."

Darma menelan ludah.

"Bima butuh aku. Dan kalau aku menyerah, lalu apa yang tersisa untuknya?"

Rini mengusap pipinya. "Aku tahu kehilangan orang yang kau cintai itu menyakitkan. Tapi aku juga tahu bahwa Sinta tidak akan pernah mau melihatmu seperti ini."

Darma menunduk. Genggamannya di lutut menguat.

"Aku tidak bisa kembali," suaranya lirih. "Aku sudah terlalu dalam."

"Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkanmu?" suara Rini terdengar hampir putus asa.

Darma mendongak, menatapnya.

Matanya yang dulu penuh kasih sayang kini hanya menyisakan kehampaan.

"Kau tidak bisa menyelamatkanku, Rini."

"Kenapa?"

"Karena aku sudah mati di malam itu."

Rini menggigit bibirnya, matanya kembali basah.

Darma berdiri.

"Aku harus pergi."

Rini buru-buru bangkit. "Tunggu! Kau mau ke mana?"

Darma menarik tudung jaketnya kembali. "Melanjutkan apa yang harus kuselesaikan."

Rini menggeleng. "Tolong... Jangan buat Sinta menangis di surga, Darma."

Darma memejamkan matanya sejenak, membiarkan kata-kata itu meresap.

Saat ia membuka mata, tatapannya kembali dingin.

"Aku tidak punya pilihan lain."

Dan dengan itu, ia melangkah keluar, meninggalkan Rini yang hanya bisa memandang punggungnya dengan perasaan hancur.

Darma berhenti di ambang pintu, tangannya sudah di gagang pintu, siap untuk pergi. Tapi sebelum melangkah keluar, ia menoleh ke arah Rini yang masih berdiri di tengah ruangan dengan mata yang masih sembab.

"Kalau Bima sudah bangun, bilang padanya lain kali aku akan menginap di sini," kata Darma, suaranya rendah namun mantap.

Rini menatapnya dalam-dalam. Ada ketidakpercayaan di matanya, seolah ia tahu bahwa kata-kata Darma hanya sekadar janji kosong. Namun, ia tidak ingin berdebat.

Darma berbalik lagi, kali ini benar-benar ingin pergi.

Tapi sebelum ia sempat melangkah keluar, tiba-tiba Rini menarik pergelangan tangannya.

Darma terkejut, tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Rini sudah menariknya ke dalam sebuah pelukan erat.

Hangat.

Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia merasakan ini.

Pelukan yang tulus.

Pelukan yang penuh kepedihan.

"Jangan buat aku kehilangan kau juga, Darma," bisik Rini di bahunya, suaranya bergetar. "Aku sudah kehilangan Sinta… aku tidak mau kehilanganmu juga."

Darma diam. Ia tidak membalas pelukan itu, tapi ia juga tidak menolaknya.

Untuk pertama kalinya dalam sekian lama, hatinya terasa bergetar.

Tapi ia tahu, jalan yang ia pilih tidak akan membawanya kembali.

Dengan pelan, ia melepaskan diri.

Tatapan mereka bertemu.

"Terima kasih, Rini."

Itu adalah kata-kata terakhirnya sebelum akhirnya melangkah keluar ke dalam gelapnya malam.

Darma berjalan menyusuri trotoar dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaket hoodie-nya. Langkahnya tenang, tapi pikirannya berkecamuk. Malam masih sunyi, hanya suara kendaraan yang sesekali melintas di kejauhan.

Tapi ada sesuatu yang aneh.

Ia mulai merasa banyak mata yang memperhatikannya.

Darma menghentikan langkahnya di bawah cahaya lampu jalan. Angin malam berhembus pelan, menggoyangkan kertas-kertas yang tertempel di tiang listrik dan tembok-tembok bangunan.

Matanya membelalak saat melihat poster buronan yang terpampang jelas di seberang jalan.

Bukan lagi gambar topeng tengkorak seperti sebelumnya.

Tapi wajahnya sendiri.

Terpampang besar, dengan detail yang sangat jelas.

Nama: Guntur Darma

Julukan: Adharma

Status: Buronan Kelas A – Sangat Berbahaya

Hadiah: 500 Juta Rupiah untuk Informasi yang Akurat

Darahnya mendidih.

Ini bukan hanya sekadar perburuan biasa.

Ini adalah pernyataan perang.

Wali Kota Damar Kusuma sudah tidak main-main lagi.

Sekarang, semua orang di kota ini tahu wajahnya. Tidak ada lagi tempat aman untuk bersembunyi.

Darma mengepalkan tangannya, menatap poster itu dengan penuh kebencian.

Ia menarik napas dalam, lalu menyobek poster itu dengan kasar. Tapi itu hanya satu dari ratusan, bahkan mungkin ribuan yang sudah tersebar di seluruh penjuru Kota Sentral Raya.

Wali Kota ingin dia mati.

Tapi Darma tidak akan membiarkan itu terjadi.

Tidak sebelum dia sendiri yang menyeret Damar Kusuma ke dalam neraka.

1
NBU NOVEL
jadi baper ya wkwkwkk
Xratala
keluarga Cemara ini mah /Smirk/
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
NBU NOVEL: wkwkwkwk versi dark ny
total 3 replies
Xratala
waduh ngena banget /Chuckle/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!