"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."
Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."
Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."
****
Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.
Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Hana melemparkan tubuhnya ke atas ranjang, wajahnya terkubur dalam bantal. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan detak jantungnya yang masih kacau setelah kejadian di Colosseum.
"Sial! Hampir aja gue jadi mangsa om-om hidung belang," keluhnya, suaranya teredam oleh bantal. Ia menggulingkan tubuhnya ke sisi lain ranjang, tatapannya menerawang ke langit-langit.
Pikirannya melayang ke kejadian tadi malam. Pria asing yang memanggilnya “bocil,” tatapan dingin si hidung belang, dan pesan misterius yang membawanya ke tempat itu. Semua terasa seperti potongan puzzle yang tak saling terhubung, membuat Hana semakin frustrasi.
Ia meraih kertas lusuh yang ada di kantongnya, membaca kembali kata-kata yang tertera di sana.
"Gue tahu siapa orang yang lo cari. Colosseum, jam 22.30."
"Kurang kerjaan! Lagian gue ngapain bego banget sih, mau-maunya ketempat luknud itu." Hana meremas kertas tersebut dan melemparkannya ke tong sampah. "Untung gue nggak di bungkus sama om-om."
Helaan nafas Hana terdengar lagi. Mata gadis itu melirik jam di dinding kamarnya yang sudah menunjukkan pukul dua dinihari. Suasana kamar begitu hening, hanya terdengar suara lembut pendingin ruangan yang menyapu udara. Ia menghela napas panjang dan menarik selimut hingga menutupi setengah tubuhnya.
Pikirannya masih sedikit kacau, mengulang kejadian-kejadian aneh tadi malam seperti film yang diputar ulang. Namun perlahan-lahan, kelelahan menguasai dirinya. Matanya yang sebelumnya sibuk menatap langit-langit kini mulai berat. Ia menguap kecil, lalu menutup matanya rapat.
Tak butuh waktu lama hingga Hana terlelap dalam tidurnya yang tenang. Dalam mimpi, semua kegelisahan dan rasa takutnya menghilang, digantikan oleh kehadiran seseorang yang sangat ia rindukan.
Kekasihnya.
Wajah Rico muncul dengan senyum hangat, matanya memandang Hana seolah-olah hanya ada dia di dunia ini. Dalam mimpinya, mereka berada di sebuah taman dengan pepohonan rindang dan bunga-bunga bermekaran. Kekasihnya menggenggam tangannya dengan lembut, membawanya berjalan di bawah sinar matahari yang menyenangkan.
“Hana,” suara lembut Rico memanggil, penuh kasih. “terimakasih sayang, aku tahu kamu mencintaiku.” Rico mengecup punggung tangan Hana yang lembut.
Cup!
Hana hanya tersenyum, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Ia merasa ringan, seperti semua beban di pundaknya lenyap dengan kehadiran kekasihnya.
Namun, tiba-tiba, langit cerah di mimpi itu berubah menjadi kelabu. Senyuman kekasihnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi muram.
“Sayang…” katanya lagi, kali ini dengan nada serius. “Hati-hati. Mereka nggak akan berhenti sampai dapat apa yang mereka mau.”
Hana tertegun, bingung. “Mereka? Siapa yang kamu maksud?”
Namun sebelum ia mendapat jawaban, pemandangan itu memudar, menariknya kembali ke dunia nyata.
Hana terbangun dengan napas memburu, keringat dingin mengalir di dahinya. Ia menoleh ke arah jam dinding, "3:15 dinihari."
Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu jelas. Dan yang membuatnya lebih aneh adalah pesan terakhir dari kekasihnya. Siapa “mereka”? Dan apa yang mereka inginkan darinya?
***
"Duduk, Hana Priscilia!" Suara tegas sang papa membuat langkah Hana terhenti di tengah jalan. Ia menoleh perlahan, matanya bertemu dengan tatapan tajam pria yang selama ini menjadi sosok otoritas di rumah mereka.
Dengan enggan, Hana kembali duduk di kursinya, tangannya meremas ujung rok yang ia kenakan. Suasana di ruang makan mendadak berubah tegang.
"Papa sama Mama bicara baik-baik, tapi kamu selalu menghindar," lanjut papanya dengan nada dingin. "Berapa lama lagi kamu mau terus-terusan seperti ini? Kehilangan itu berat, Papa paham. Tapi hidupmu nggak boleh berhenti di sini."
Hana menunduk, matanya berkaca-kaca, tapi ia tidak membalas sepatah kata pun.
"Hana, jawab Papa," desak beliau. "Apa kamu sudah pikirkan masa depanmu? Kampus mana yang mau kamu tuju? Apa rencana kamu?"
"Aku nggak tahu, Pa..." jawabnya pelan.
Mamanya menghela napas panjang, ekspresinya mencerminkan rasa frustasi bercampur iba. "Hana, kita nggak mau nyalahin kamu, tapi kamu harus bangkit, sayang. Kamu masih muda, hidup kamu masih panjang."
Hana mendongak, air matanya menetes tanpa ia sadari. "Mama pikir gampang? Bangkit, terus pura-pura semua baik-baik aja? Aku capek, Ma. Aku nggak tahu harus ngapain lagi."
Ruangan itu hening. Hanya isak tangis kecil Hana yang terdengar. Papanya, yang tadinya keras, kini melembut.
"Sayang," ucapnya dengan suara pelan, "kita semua pernah kehilangan, dan itu menyakitkan. Tapi kamu nggak sendiri. Papa dan mama ada buat kamu. Kalau kamu terus menutup diri, gimana kami bisa bantu kamu?"
Hana hanya terdiam, hatinya masih penuh dengan rasa kehilangan yang begitu mendalam. Tapi di sisi lain, ia tahu orang tuanya benar. Ia tidak bisa terus seperti ini.
"Hana butuh waktu, Pa." katanya dengan lemah. "Tolong, kasih Hana waktu."
Mamanya menoleh ke arah sang papa, berharap ada sedikit empati dari pria yang kini duduk dengan rahang mengeras. Tatapan mereka bertemu, dan akhirnya, dengan helaan napas berat, papanya mengangguk.
"Oke, papa kasih kamu waktu seminggu lagi. Setelahnya, papa mohon kamu pikirkan kampus mana yang akan kamu tuju. Atau kalau nggak, terpaksa papa kirim kamu ke Sidney dengan Mahesa—kakakmu." Tukasnya, lalu berdiri dari kursinya, merapikan jasnya dengan gerakan lambat, sebelum berbalik dan meninggalkan ruang makan.
"Sayang," ucap ibunya, meraih tangan Hana dengan lembut., "Mama mohon… Jangan buat Papa marah. Kamu tahu sendiri bagaimana Papa kalau sudah kecewa. Kamu nggak ingin bernasib seperti kakakmu, kan?"
Kata-kata itu membuat tubuh Hana menegang. Ingatan akan masa lalu kembali membanjiri pikirannya. Perdebatan sengit antara Mahesa dan Papa, kemarahan yang tak pernah terucap, dan akhirnya keputusan Mahesa untuk meninggalkan rumah dan memulai hidupnya sendiri di Sydney. Itu semua masih terpatri jelas dalam benaknya.
"Ma…" Hana menangis tersedu-sedu di pelukan sang ibu. Tubuhnya bergetar, dan air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Ia merasa begitu kecil, begitu rapuh, seolah-olah dunia telah menghisap seluruh kekuatannya. Sang mama mengusap punggungnya dengan lembut, memberikan kehangatan dan kenyamanan yang hanya bisa diberikan oleh seorang ibu.
"Mama tahu, sayang," suara sang ibu lembut, penuh kasih, "Tapi kamu harus bangkit. Hidupmu masih panjang, Hana. Mama yakin Rico akan kecewa kalau dia lihat kamu hidup seperti ini."
Mendengar nama itu, Hana semakin tersedu. Nama yang tak pernah bisa ia ucapkan tanpa rasa sakit, nama yang dulu menjadi sumber kebahagiaannya, kini hanya meninggalkan lubang menganga di hatinya.
"Katanya kamu mau jadi dokter, Hana. Ingat nggak? Kamu ingin menyelamatkan nyawa, membantu orang-orang. Lanjutkan mimpimu, sayang. Jangan biarkan kehilangan ini menghancurkan segalanya."
***
Hana akhirnya menyerah pada mimpinya. Ia menyimpan jauh-jauh impian mulianya untuk menjadi dokter dan memilih jalur yang sama sekali berbeda. Jalur yang bukan berasal dari cinta, tapi dari amarah dan dendam yang membara dalam dirinya. Ia memutuskan untuk mengambil jurusan hukum.
Bukan karena ia mencintai hukum. Tidak, ia bahkan tidak peduli pada mata kuliah yang akan ia pelajari. Tapi ada satu alasan kuat di balik keputusannya: ia ingin menghukum. Menghukum orang-orang yang telah merenggut Rico dari hidupnya.
"Kalau gue nggak bisa menyelamatkan Rico," setidaknya gue akan pastikan mereka yang bertanggung jawab tidak akan pernah merasakan kebebasan lagi."
***
Hari pertama sebagai mahasiswa baru di Fakultas Hukum terasa seperti mimpi yang salah bagi Hana. Ia melangkah di koridor kampus dengan pandangan kosong, membaur di antara mahasiswa baru lainnya yang tampak bersemangat menyambut babak baru dalam hidup mereka. Tapi Hana tidak merasakan hal yang sama. Hatinya berat, seolah-olah langkahnya tertahan oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Di satu sisi, ia tahu dirinya tidak seharusnya berada di sini. Mimpinya dulu adalah menyembuhkan, bukan menghukum. Tapi di sisi lain, api dendam yang ia simpan dalam diam memberikan energi untuk tetap bertahan.
Saat ia mencoba mencari ruang kelasnya, sebuah suara familiar memecah lamunannya.
"Hana..."
Ia menoleh dan mendapati sosok Diego Revalino—sahabat sekaligus mantan pacar Ruka, melambaikan tangan kepadanya. Pria itu berjalan mendekat dengan senyumnya yang santai, senyum yang dulu sering ia lihat ketika Diego tersenyum pada sahabatnya, Ruka.
"Diego?" Hana mengerutkan kening, setengah tak percaya melihat pria itu di tempat ini.
"Lo ambil hukum juga?" tanya Diego dengan keheranan. "Gue kira lo bakal ambil FK. Bukannya itu cita-cita lo dari dulu?"
Hana terdiam sejenak. Pertanyaan Diego terasa seperti duri kecil yang menusuk hatinya. FK—Fakultas Kedokteran. Impian yang dulu ia pelihara dengan begitu tulus, kini terasa seperti bayangan yang tidak lagi bisa ia gapai.
"Bukan rezekinya," jawab Hana singkat sambil mengangkat bahu, berusaha terlihat santai meskipun suaranya terdengar datar. "Lagian, hukum lebih menantang."
Diego mengangkat alis, jelas tidak yakin dengan jawaban itu. "Menantang? Gue nggak nyangka lo tipe yang suka ribet, Han. Tapi kalau lo di sini, berarti kita bakal sering ketemu."
"Oiyah, bokap lo kan pengacara kondang. Namanya juga lumayan sering masuk berita. Jadi lo bakalan jadi penerusnya."
"Iya, betul banget. Bokap gue udah puluhan tahun di dunia hukum."
Hana mengangguk kecil, meskipun tidak terlalu terkejut. Nama keluarga Revalino memang sudah lama dikenal di dunia hukum, dan Diego tampaknya menikmati bayangan untuk melanjutkan reputasi itu.
"Lo serius mau ikutin jejak bokap lo?"
"Kenapa nggak? Dunia hukum itu keren, Han. Lo bisa jadi pahlawan, atau bahkan… jadi orang yang ngatur permainan.
Hana terdiam sejenak. Kata-kata Diego terdengar penuh ambisi, tapi bagi Hana, hukum punya arti yang berbeda. Bukan soal mengatur permainan, melainkan memperjuangkan keadilan yang selama ini terasa jauh dari genggamannya.
"Gimana kalau lo gagal jadi pahlawan, terus cuma jadi bagian dari permainan itu?"
Diego mengangkat bahu, seolah tidak ingin terlalu memikirkannya. "Itu nggak bakalan terjadi, kalau lo punya kendali, lo nggak akan pernah jadi bagian dari permainan itu. Lo yang bikin aturan, bukan main sesuai aturan orang lain."
Hana terdiam, memandangi Diego dengan pandangan yang sulit diterjemahkan.
"Btw, gue ke kelas duluan ya," kata Diego tiba-tiba sambil menyeringai. "Jangan telat, anak FK."
"Gue bukan anak FK," balas Hana sambil memutar mata sebal.
"Tapi dulu lo pengen jadi anak FK, kan?" Diego terkekeh sebelum berbalik dan menghilang di tengah kerumunan mahasiswa lain.
Kata-kata Diego tadi, terdengar janggal di telinga Hana. Dunia hukum yang ia bayangkan ternyata jauh lebih rumit—penuh dengan abu-abu, di mana kebenaran dan keadilan seringkali bersembunyi di balik tirai kepentingan.
"Nggak semua orang bisa ngatur permainan, Diego. Kadang, kita cuma pion kecil yang terjebak di papan catur mereka. Bahkan kalau lo punya niat baik sekalipun, lo tetap harus main sesuai aturan."
Bersambung...