menceritakan tentang seorang gadis mantan penari ballet yang mencari tahu penyebab kematian sang sahabat soo young artis papan atas korea selatan. Hingga suatu ketika ia malah terjebak rumor kencan dengan idol ternama. bagaimana kisah mereka, yukkk langsung baca saja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon venn075, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Langit sore mulai meredup saat Cassi tiba di depan apartemen mewah milik Ji Hoon. Bangunan tinggi menjulang itu berdiri megah di kawasan elit Seoul, dikelilingi pemandangan kota yang indah. Tapi entah kenapa, sore itu semuanya tampak kelabu di mata Cassi.
Dengan napas panjang, Cassi melangkah masuk setelah akses pintu otomatis terbuka. Ia menapaki koridor panjang menuju unit pribadi Ji Hoon—tempat yang selama ini hanya diceritakan pria itu sekilas, seolah tak ingin siapa pun masuk terlalu jauh ke dunianya.
Begitu pintu terbuka, Cassi langsung disambut oleh aroma menusuk yang membuat dadanya sesak—bau alkohol yang menyengat, bercampur dengan aroma pekat ruangan yang tak terurus. Kegelapan menyelimuti hampir seluruh sudut ruangan. Tirai jendela besar tertutup rapat, membiarkan langit sore yang sendu tertahan di baliknya.
Cassi melangkah pelan, menelusuri setiap inci ruangan yang nyaris tak dikenali. Botol-botol minuman keras berserakan di meja dan lantai. Kaleng bir kosong menggelinding begitu saja, seolah dibuang tanpa peduli. Di sudut ruangan, setumpuk pakaian tergeletak sembarangan, beberapa bahkan masih dalam kantong laundry yang belum sempat dibuka.
Lampu ruang utama tak dinyalakan, hanya ada temaram cahaya dari layar televisi yang menyala tanpa suara, memutar siaran berita pagi yang seharusnya sudah lama selesai. Cassi memandang hampa ke layar itu—headline tentang Ji Hoon masih terpampang jelas di sana.
Langkah Cassi terhenti ketika matanya menemukan sosok yang dicarinya. Ji Hoon terduduk di sudut sofa, tubuhnya terkulai dengan kepala tertunduk dalam. Tangan kirinya memegang botol soju yang isinya tinggal seperempat, sementara tangan kanannya menggenggam ponsel erat-erat, seolah tak sanggup melepaskannya.
Cassi menahan napas. Tubuh Ji Hoon tampak lelah, kusut, dan jauh dari sosok sempurna yang biasa dilihat publik di atas panggung. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan ada sembab samar di bawah matanya. Tak ada sisa senyum atau pesona idol di wajah itu—yang tersisa hanyalah seorang pria yang tenggelam dalam kesedihan dan keputusasaan.
Tanpa berkata apa-apa, Cassi perlahan mendekat. Setiap langkahnya terasa berat, seolah udara di ruangan itu begitu padat oleh luka yang tak terlihat. Ia berhenti tepat di hadapan Ji Hoon, menatap pria itu lama… sebelum akhirnya berlutut perlahan di depannya.
“Ji Hoon…” panggilnya lirih, nyaris seperti bisikan.
Tak ada respons. Ji Hoon tetap diam, bahkan tak bergeming. Hanya deru napas beratnya yang terdengar, sesekali disertai helaan panjang seolah sedang berjuang melawan sesuatu dalam dirinya.
Tanpa menunggu jawaban, Cassi mengulurkan tangannya dan memeluk Ji Hoon erat—melingkarkan lengannya di sekitar tubuh pria itu, memaksa Ji Hoon merasakan bahwa ia tidak sendiri. Tidak kali ini.
Pelukan itu begitu tenang, namun sarat akan kesedihan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Cassi tak peduli pada bau alkohol yang menyengat, atau kemeja Ji Hoon yang basah oleh keringat dingin dan air mata yang entah sudah berapa lama jatuh diam-diam. Ia hanya ingin Ji Hoon tahu… bahwa ada seseorang di sana, menjemputnya dari kegelapan yang mulai menelannya.
Beberapa detik yang terasa seperti keabadian berlalu sebelum akhirnya Ji Hoon perlahan menggenggam lengan Cassi. Gemetar. Lelah. Hancur.
“Aku… lelah, Cassi…” suara Ji Hoon akhirnya terdengar—parau, pelan, dan nyaris tak terdengar. “Kenapa… semuanya harus muncul lagi sekarang…?”
Cassi mengeratkan pelukannya, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. “Tidak apa-apa… Aku di sini, Ji Hoon. Aku di sini…” bisiknya berulang-ulang, seolah ingin menenangkan bukan hanya Ji Hoon, tapi juga dirinya sendiri.
Ruangan itu tetap gelap, tetap berantakan, dan tetap penuh sesak oleh aroma alkohol. Tapi di tengah segala kehancuran itu, ada dua orang yang saling bertahan—dalam diam, dalam pelukan yang tak butuh kata-kata.
Malam itu, dunia seolah berhenti sejenak bagi mereka berdua.
---
Tentu, berikut revisi naskahnya sesuai permintaanmu:
Hujan deras masih menghantam jendela bar tua itu ketika Kim Tae Ri melangkah masuk. Pandangannya dingin, tajam, tanpa sisa keraguan. Pria misterius itu sudah menunggunya di sudut ruangan, senyum kecil terukir di wajahnya.
“Jadi… kau masih datang,” bisik pria itu sambil menyesap minumannya.
Tae Ri duduk perlahan. “Katakan… untuk terakhir kalinya. Apa yang sebenarnya kau inginkan?”
Pria itu menatap lurus ke arahnya. “Aku ingin Ji Hoon hancur… tapi tidak dengan cara biasa. Aku ingin dia sendiri yang menggali semua luka lamanya… sampai dia tahu, di balik semua yang dia miliki sekarang… ada darah Soo Young.”
Tae Ri menghela napas panjang. “Soo Young… Aku bahkan bukan temannya. Tapi aku ingat jelas, saat rumor tentang keterlibatannya mulai muncul… aku sudah memperingatkan dia. Aku bilang, jangan terlalu dalam melangkah. Dunia ini bukan tempat untuk gadis sepolos dia.”
Pria itu tersenyum tipis. “Tapi dia terlalu keras kepala… bahkan saat ayah Ji Hoon sendiri sudah memperingatkan. Soo Young pikir dia bisa lepas… padahal sejak awal dia sudah masuk perangkapku.”
Tae Ri menatap pria itu tajam. “Aku bukan bagian dari kematiannya. Jangan seret aku sejauh itu.”
“Aku tahu. Kau cuma bagian dari masa lalu Ji Hoon… dan itu sudah cukup.” Pria itu menyandarkan punggung. “Tugasku bukan menyeretmu ke dalam kematian Soo Young. Tapi aku butuh kau… untuk menarik Ji Hoon kembali ke masa lalu itu. Buat dia ingat… bahwa pernah ada seorang gadis yang mati karena terlalu dekat dengan kebenaran.”
Tae Ri terdiam lama. “Dan kau pikir aku akan lakukan itu semudah membalikkan tangan?”
Pria itu mengangguk. “Karena aku tahu, kau pun masih menyimpan sesuatu untuk Ji Hoon… Entah itu dendam… atau perasaan yang tak pernah selesai.”
Tae Ri mengepalkan tangannya. “Baik… Aku akan lakukan. Aku akan muncul di hadapannya. Tapi ingat… jika semua ini berakhir buruk, aku yang akan menghabisimu.”
Pria itu tertawa pelan, lalu berdiri. “Kita lihat saja, Tae Ri… Kita lihat seberapa jauh Ji Hoon bisa bertahan setelah semua ini terungkap.”
Tae Ri menatap pria itu dingin, lalu berbalik meninggalkan bar. Hujan yang mengguyur kota seolah jadi saksi awal dimulainya permainan kotor ini. Dan di balik semua rencana itu, satu kebenaran tak terbantahkan—masa lalu tak akan pernah benar-benar usai.
---
Malam itu suasana jauh lebih tenang dari sebelumnya. Lampu ruangan temaram, hanya ada suara napas yang terdengar perlahan di antara mereka. Ji Hoon memeluk erat tubuh Cassi yang berbaring di bawahnya, seolah takut kehangatan itu hilang jika ia sedikit saja melepaskan.
Cassi tak berkata apa-apa, hanya membiarkan dirinya larut dalam pelukan Ji Hoon. Ada damai yang perlahan mengisi ruang di antara mereka—seolah dunia luar tak lagi berarti, seolah hanya ada mereka berdua malam ini.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ji Hoon merasa tenang… dan Cassi ada di sana, menjadi satu-satunya tempatnya kembali.