NovelToon NovelToon
Bayangan Terakhir

Bayangan Terakhir

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Identitas Tersembunyi / Dunia Lain / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Roh Supernatural
Popularitas:912
Nilai: 5
Nama Author: Azka Maftuhah

Genre : Misteri, Thriller, Psikologis, Supranatural
Sinopsis :
Setelah suaminya meninggal didalam kecelakaan yang tragis. Elysia berusaha menjalani kehidupan nya kembali. Namun, semuanya berubah ketika ia mulai melihat bayangannya bertingkah aneh dan bergerak sendiri, berbisik saat ia sendiri, bahkan menulis pesan di cermin kamar mandinya.
Awalnya Elysia hanya mengira bahwa itu halusinasi nya saja akibat trauma yang mendalam. Tapi ketika bayangan itu mulai mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh suaminya, dia mulai mempertanyakan semuanya. Apakah dia kehilangan akal sehatnya ataukah ada sesuatu yang jauh lebih gelap yang sedang berusaha kuat untuk berkomunikasi dengannya.
Saat Elysia menggali hal tersebut lebih dalam dia menunjukkan catatan rahasia yang ditinghalkan oleh mendiang suaminya. Sebuah pesan samar yang mengarah pada sebuah rumah tua dipinggiran kota. Disanalah ia menemukan bahwa suaminya tidak mati dalam kecelakaan biasa. Akan kah Alena mendekati jawabnya???

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azka Maftuhah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 29 - DIBALIK NAMA NAMA YANG TELAH HILANG

Langit mendung mulai menaungi kota saat Elysia dan Satrio mendatangi sebuah institusi tua di pinggiran kota : Perpustakaan Nasional Departemen Kesehatan Mental. Bangunannya tua namun masih aktif—tempat arsip masa lalu disimpan, termasuk data dari rumah sakit jiwa yang telah ditutup.

“Tempat ini dijaga ketat. Tapi ada satu arsip yang tidak pernah dirilis ke publik,” ucap Satrio saat mereka memasuki lorong sunyi.

Petugas administrasi memberikan akses terbatas kepada mereka setelah Satrio menunjukkan surat izin investigasi yang ia dapatkan dari kontak lamanya.

“Ruang Arsip Tertutup, lantai tiga. Tapi berhati-hatilah, sebagian dokumen rusak akibat kebakaran 20 tahun lalu,” jelas petugas itu sambil menyerahkan kartu akses.

Mereka mulai menaiki anak tangga satu persatu hingga ke lantai tiga, dan membuka ruangan berdebu dengan lemari logam yang berderet. Di rak paling ujung, Satrio menemukan kotak dengan label : Subjek Eksperimen – Proyek Refleksi Psikogenik.

Elysia membuka file satu per satu. Nama-nama muncul, disertai foto dan catatan medis : pasien dengan gangguan kepribadian berat, trauma masa kecil ekstrem, dan satu persamaan—semua mengalami halusinasi yang sama : cermin yang berbicara.

“Ini bukan hanya delusi,” bisik Elysia. “Mereka mengalami sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara medis.”

Tapi saat ia menarik folder paling bawah, tangannya terhenti.

Nama di atasnya : Resa Mentari.

Dan di kolom "hubungan keluarga": Subjek memiliki kakak kandung bernama Elysia Mentari. Tidak disarankan untuk mengungkap keterlibatan.

Elysia membeku.

“Seluruh waktu ini… aku bagian dari eksperimen itu?”

Satrio menemukan nama yang berulang di setiap laporan: Dr. Bram Aryasatya.

Ia bukan hanya dokter kepala di rumah sakit jiwa itu. Ia juga koordinator riset untuk proyek rahasia kerja sama antara institusi kesehatan dan pihak ketiga yang tak disebutkan—kemungkinan lembaga swasta dengan agenda sendiri.

“Dr. Bram mengawasi semua pasien cermin. Ia yang menulis protokol terapi refleksi,” ujar Satrio sambil membuka dokumen lainnya.

Namun yang membuat darah mereka membeku adalah halaman berikutnya.

Foto Dr. Bram… sangat familiar.

Elysia menutup mulutnya. “Aku tahu dia…”

Itu adalah pria yang pernah datang ke rumahnya saat kecil. Ia memperkenalkan diri sebagai “psikolog dari sekolah,” datang hanya sekali, saat Resa pertama kali mengalami halusinasi.

“Dia mengawasi kita bahkan sebelum Resa dibawa ke sana,” gumam Elysia.

Dan di sudut dokumen itu tertulis dengan tinta merah : Subjek S-01 gagal dinetralkan. Potensi anomali dimensi terkonfirmasi. Prosedur Penutupan diperlukan.

“Subjek S-01?” tanya Satrio.

Elysia menggenggam folder itu erat-erat. “Itu Resa. Mereka menyebutnya ‘gagal’… karena dia melawan sistem mereka.”

Setelah mendapatkan semua informasi itu mereka memutuskan untuk kembali dan memikirkan tindakan apa yang akan dilakukan.

Malamnya, Elysia tak bisa tidur. Ia duduk di balkon, surat-surat Resa dan dokumen eksperimen terbuka di hadapannya. Suara-suara samar terus berputar di kepalanya—kata-kata dari surat Resa, kalimat yang tertulis di dinding rumah sakit lama : Cermin bukan akhir…

Tiba-tiba, lampu kamarnya berkedip.

Ia menoleh, dan melihat bayangan seseorang di dalam.

Ketika ia masuk, tidak ada siapapun. Tapi di cermin kamar, ada goresan baru.

Tulisan yang muncul seperti embun dingin:

> Nama terakhir ada di tangan orang yang paling kamu percaya.

Elysia mundur perlahan. “Apa maksudnya?”

Ia segera memanggil Satrio. Pria itu datang cepat, dan melihat tulisan di cermin.

Ia menghela napas dalam. “Kau tahu artinya?”

Elysia menatapnya tajam. “Entah kenapa… aku rasa ini bukan tentang kepercayaan yang rusak. Tapi… tentang pengkhianatan yang belum terlihat.”

Satrio terdiam.

Dan untuk sesaat, cahaya lampu kembali berkedip, dan dalam pantulan cermin, Elysia melihat sesuatu di balik dirinya. Bukan bayangan. Tapi siluet seseorang… berdiri terlalu dekat.

Ketika ia menoleh, tidak ada apa-apa.

Namun napasnya tertahan.

Karena di meja, di atas dokumen yang berserakan, ada satu foto tambahan yang sebelumnya tidak ada.

Foto dirinya dan Satrio—dari masa kecil.

Elysia terus memandangi foto itu. Ia dan Satrio, masih kecil, sekitar usia tujuh atau delapan tahun tengah berdiri di depan sebuah rumah bergaya kolonial tua. Tapi ada yang ganjil… Ia tidak ingat pernah tinggal di rumah itu, apalagi berfoto bersama Satrio dalam masa kecil.

“Dari mana asal foto ini?” tanya Elysia, suaranya bergetar.

Satrio hanya menatapnya, ekspresinya berubah kaku. “Aku… nggak tahu. Mungkin hanya manipulasi bayangan, cara mereka mengganggu pikiranmu.”

“Jangan bohong.”

Elysia maju selangkah. Ia bisa merasakan kebenaran berdesir di bawah kulitnya—seperti kunci tua yang baru saja berputar dalam ingatannya. Fragmen-fragmen mulai bermunculan : percakapan samar, suara anak laki-laki yang memanggilnya dari balik pagar rumah sakit, wajah familiar yang selalu muncul dalam mimpi buruknya.

“Selama ini kau tahu lebih dari yang kau katakan,” desaknya. “Apa hubunganmu dengan Resa?”

Satrio membuka mulutnya, tapi tak ada kata yang keluar. Hanya desahan berat.

Elysia menatapnya tajam. “Kau bilang kau hanya penyelidik... tapi kenapa kau punya akses ke dokumen dengan kode tingkat tinggi? Kenapa setiap kali aku menemukan kebenaran, kau sudah tahu setengahnya lebih dulu?”

Akhirnya, Satrio menjawabnya, pelan dan nyaris tak terdengar.

“Aku juga bagian dari eksperimen itu, Elysia.”

Pengakuan Satrio membuka kotak pandora yang selama ini terkunci dalam bayang-bayang. Ia menceritakan masa kecilnya di bawah pengawasan proyek yang sama, anak-anak yang diuji kemampuan reflektifnya, bukan hanya dalam arti psikologis, tapi metafisik.

“Aku Subjek S-07,” ucapnya. “Mereka bilang aku bisa mendengar ‘pantulan jiwa’ dari orang lain, tapi aku nggak pernah berhasil mengendalikannya. Sampai akhirnya… mereka melepaskan ku ke dunia luar. Menyamar jadi anak biasa. Tapi sebenarnya aku dikirim untuk mengawasi... Subjek yang lebih berbahaya.”

“Resa,” gumam Elysia.

Satrio mengangguk. “Awalnya, aku tidak tahu siapa dia. Tapi saat aku mendekat ke keluargamu, semuanya menjadi jelas. Aku tahu aku harus tetap dekat, mencegah dia membuka jalur antara dimensi. Tapi aku gagal.”

Elysia menunduk. “Jadi, semua ini hanya misi untukmu?”

“Tadinya, iya,” bisik Satrio. “Tapi aku tidak pernah menyangka aku akan… peduli. Pada kalian. Pada dia. Pada kamu.”

Elysia menatap matanya. Ada luka di sana—dan rasa bersalah yang tak bisa dipalsukan.

“Tapi kenapa sekarang?” desaknya. “Kenapa baru sekarang kau mengaku?”

“Karena kau akan menemukan kebenarannya tanpa atau dengan bantuanku,” jawab Satrio. “Dan karena... mereka tahu kau sudah terlalu dekat.”

“Siapa ‘mereka’?”

Satrio menghela napas. “Orang-orang di balik cermin. Bukan bayangan. Tapi pemiliknya. Pencipta eksperimen. Dan mereka belum selesai denganmu.”

------

Pagi harinya, saat Elysia hendak membuka buku catatan kecil milik Resa yang selalu ia simpan, ia menemukan halaman terakhir yang baru muncul: tulisan tangan Resa dengan tinta merah tipis.

> “Cermin bisa memecah bayangan. Tapi hanya kebenaran yang bisa membunuhnya.”

Dan di bawahnya, simbol kecil terukir, lingkaran dengan tiga garis menyilang.

Satrio melihatnya dan langsung pucat.

“Itu… lambang institusi induk eksperimen. Simbol yang hanya ditaruh pada kasus yang dianggap berpotensi ‘mengancam realitas.’”

Elysia menatap lambang itu. Ia tahu ini belum akhir. Justru, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya, dari Resa, bahkan dari seluruh organisasi yang mengawasinya.

Mereka harus menemukan akar dari semuanya.

Dan itu berarti… menggali lebih dalam ke dalam dunia yang telah mencoba dikubur: dunia anak-anak cermin, eksperimen jiwa, dan kebenaran yang tak ingin dilihat siapa pun.

Malam itu, Elysia tak bisa tidur. Suara pengakuan Satrio terngiang-ngiang di kepalanya. Ia merasa seolah-olah telah menginjak lahan yang dipenuhi ranjau kenangan. Hati kecilnya berkata bahwa ada sesuatu yang belum sepenuhnya terbongkar—bahkan dari mulut Satrio sendiri.

Ia kembali membuka kotak kayu kecil milik Resa yang dulu diselamatkannya dari rumah tua mereka. Di balik tumpukan kertas lusuh dan puisi-puisi kelam Resa, Elysia menemukan benda yang tampak asing : sebuah flash disk usang, dengan label bertuliskan, "Untuk yang berani mengingat."

Dengan tangan gemetar, ia menancapkannya ke laptop.

Layar gelap sejenak, lalu muncul sebuah video : rekaman ruang terapi. Di dalamnya ada seorang anak perempuan yang sedang duduk membelakangi kamera.

"Nama?" tanya suara pria dari speaker.

"Elysia."

Jantung Elysia berdetak lebih kencang. Itu dirinya, usia sekitar delapan tahun.

“Dan bagaimana perasaanmu hari ini?”

“Takut.”

“Kenapa?”

“Aku mendengar suara dari cermin lagi. Tapi… bukan suara bayangan. Ini seperti… aku yang lain.”

Rekaman berhenti mendadak. Elysia membeku.

Ia tidak ingat ini. Tidak pernah.

Satrio masuk ke kamar saat ia masih terpaku pada layar. Wajahnya berubah saat melihat video yang diputar.

“Kau ingat itu?” tanyanya pelan.

Elysia menggeleng. “Tidak. Tapi itu aku.”

“Kau bukan lupa,” Satrio menjawab. “Kau memilih untuk melupakan.”

Elysia menatapnya dengan sorot tajam. “Kenapa aku harus memilih untuk melupakan sesuatu seperti itu?”

“Karena rasa sakitnya terlalu besar.” Satrio mendekat. “Karena kalau kau mengingat semuanya, kau akan tahu bahwa bukan Resa satu-satunya anak yang punya kemampuan melewati batas cermin.”

Elysia terdiam.

Satrio menatapnya dengan luka yang mendalam di matanya. “Kau juga... subjek percobaan.”

Elysia terhuyung.

“Tidak…” bisiknya.

“Iya. Kau Subjek A-01. Proyek pertama yang berhasil. Tapi efek sampingnya… terlalu besar. Kau mulai kehilangan batas antara kenyataan dan pantulan. Jadi mereka menghapus sebagian memorimu. Menghapus semua... tentang siapa kau sebenarnya.”

Elysia menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Semua yang ia yakini runtuh seperti cermin pecah.

“Kenapa tidak ada yang memberitahuku?” Elysia berbisik.

“Karena jika kau sadar, jalur antara dunia ini dan dunia di balik cermin bisa terbuka lebih lebar,” jawab Satrio. “Dan mereka takut pada apa yang bisa kau lakukan.”

Air mata mengalir dari mata Elysia. Bukan hanya karena rasa sakit, tapi karena rasa kehilangan, bukan kehilangan orang lain, tapi kehilangan potongan dirinya sendiri.

Ia menatap pantulan wajahnya di layar laptop. Kali ini, pantulannya bergerak sedikit lebih lambat. Tidak mengikuti gerakannya secara presisi.

Seperti mengingat sesuatu yang ia lupakan.

Pantulan itu tersenyum padanya.

Senyum yang bukan milik elysia sekarang, tapi milik Elysia kecil, yang pernah bicara dengan cermin, bermain dengan Resa, dan akhirnya… dipaksa diam.

Elysia berdiri perlahan, wajahnya penuh tekad.

“Kalau aku benar-benar bagian dari semua ini, maka aku akan menuntaskan semuanya.”

Satrio mengangguk. “Kau tidak sendiri.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, elysia merasa bahwa cahaya di dalam dirinya bukan hanya untuk mengusir bayangan. Tapi untuk membakar semua kebohongan yang berusaha memenjarakannya.

1
Isa Mardika Makanoneng
baru awal udah tegang aja kk
Lalula09
Gokil!
Koichi Zenigata
Seru abiss
Graziela Lima
Ngebayangin jadi karakternya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!