Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Cita-cita Winarsih
Dari Penulis :
Dengan membaca cerita ini artinya pembaca telah menyatakan bahwa telah cukup umur untuk menilai isi bacaan.
Novel ini sepenuhnya fiksi. Jika ada kesamaan tempat dan nama tokoh, itu hanya kebetulan semata.
Jangan mengaitkan isi cerita dengan agama, suku atau golongan tertentu.
Terima kasih karena telah mampir ke novel ini.
*****
"Bu, Winar kasihan sama Yanto. Harusnya Yanto bisa bersekolah di tempat khusus anak-anak yang spesial. Tapi di desa kita nggak ada. Mestinya Yanto sudah bisa lebih mandiri di usianya," tutur Winarsih kepada ibunya yang sedang mencuci kaki di sebuah mata air dekat pematang sawah.
"Lantas kamu maunya bagaimana, Win? Kamu, kan, sudah tahu kalau mata pencaharian kita cuma mengerjakan sawah-sawah milik orang. Untuk makan saja kita masih kurang," jawab Bu Sumi sendu.
"Mas Utomo ngajak Winar kerja ke kota, Bu. Ke Ibukota. Mas Ut bilang ke Winar, setelah Mas Ut melewati masa kontrak kerjanya dua tahun, Mas Ut akan melamar Winar," ucap Winarsih antusias sambil mengangkat cangkul dan ember yang baru selesai dicuci ibunya.
"Kamu cuma tamatan SMP mau kerja apa di kota? Utomo saja cuma tamat SMA dan jadi buruh di sana. Kamu nggak khawatir malah bakal merepotkan dia?" Bu Sumi terlihat tidak bersemangat karena membayangkan anak perempuan satu-satunya akan pergi dari rumah.
"Bu ... Ibu sudah tahu, kan, kalau Winar sangat suka belajar? Ibu tahu juga kalau Winar dari SD adalah murid yang berprestasi? Winar nggak mau kita hidup begini-begini aja. Sejak Ayah meninggal untuk ngasi Yanto makanan bergizi pun kita nggak sanggup. Apalagi kalau nanti Yanto sakit. Sekali ini aja Ibu percaya sama Winar. Winar mau ngasi keluarga kita kehidupan yang lebih layak. Lagipula, Winar khawatir kalau Mas Utomo nantinya bakal kecantol gadis kota. Dia bakal lupa dengan Winar." Winarsih cemberut dengan raut wajah manja demi meluluhkan hati ibunya.
"Kamu pasti pulang, kan, Win?" Bu Sumi berhenti membereskan cangkul serta wadah makan siang untuk menatap wajah putrinya.
"Ya, pastilah, Bu. Desa Beringin ini tempat Winar dilahirkan dan dibesarkan. Desa ini tempat di mana semua orang yang Winar sayangi melewati hari-harinya. Di desa ini juga almarhum ayah dimakamkan. Winar pasti balik lagi untuk jemput Ibu dan Yanto. Cita-cita Winar hidup di dunia ini cuma ingin melihat Ibu hidup tenang dan bahagia. Itu aja. Winar kasihan lihat Ibu tiap hari mandi peluh di tengah sawah yang bahkan bukan milik Ibu lagi." Winarsih menunduk.
Bu Sumi kembali membereskan peralatan. Wanita tua itu memasukkan wadah makan siang yang dibawakan Winarsih siang tadi ke dalam sebuah ember besar dan meletakkan ember itu di atas kepalanya.
“Ayo, pulang. Sudah sore. Kasihan Yanto mungkin sudah lapar setelah seharian mengupas kayu manis,” ucap Bu Sumi kemudian berjalan mendahului putrinya untuk keluar dari pematang sawah menuju jalan utama desa.
“Jadi Ibu izinkan Winar, kan?” desak Winarsih lagi.
“Kamu mau kerja apa di kota, Win? Meski kamu pintar, tapi kamu cuma lulusan SMP.” Bu Sumi kembali mengingatkan Winarsih.
“Winar jadi asisten rumah tangga, Bu. Itu bahasa kotanya. Kalau di desa kita orang menyebutnya sebagai pembantu atau babu. Winar nggak apa-apa, kok, Bu. Yang penting gaji Winar lumayan. Kerjanya pun nggak terlalu capek dan banyak. Kata kenalannya Mas Utomo, majikan Winar nanti seorang pejabat, Bu. Keluarga yang sudah kaya turun-temurun. Pembantu di rumahnya banyak. Winar cuma bantu-bantu di dapur karena Winar bisa masak. Kata Mas Utomo rumah majikan Winar nanti besar sekali. Mirip istana. Saking besarnya rumah itu, bisa aja Winar nggak akan pernah ketemu dengan majikan Winar nanti. Winar boleh berangkat, kan, Bu? Mas Utomo pasti jagain Winar di kota. Mas Utomo juga bisa jenguk Winar tiap akhir minggu.”
Winarsih menerangkan panjang lebar kepada Ibunya yang masih bergeming.
"Sebenarnya dari dulu kamu sudah tahu kalau ibu kurang setuju kamu dekat dengan dia. Maumu jadi aneh-aneh, Win,” kesal Bu Sumi saat mendengar Winarsih berkali-kali menyebut nama Utomo yang seolah terus mempengaruhi anak perempuannya untuk pergi ke kota.
“Maksud Mas Utomo baik, Bu. Mas Utomo juga selalu baik ke Winar. Ibu nggak boleh begitu menilai orang lain." Winarsih kembali cemberut.
“Kamu yakin bisa jaga diri di kota?” tanya Bu Sumi lagi-lagi tanpa melihat putrinya.
“Yakin Bu,” tegas Winarsih
“Ibu nggak pernah nuntut apapun dari kamu dan Yanto. Kalian lahir ke dunia ini karena ibu yang menginginkannya. Ibu nggak mau kebahagiaan ibu jadi beban kalian," ucap Bu Sumi saat menghentikan langkahnya.
Bu Sumi menoleh ke arah Winarsih yang sedang menunggunya untuk berbicara. Sesaat lagi mereka akan tiba di depan gang yang menuju rumah.
“Win, Ibu nggak bisa nahan kamu untuk nggak pergi dari desa ini sementara enggak ada yang bisa ibu tawarkan. Pergi kalau kamu yakin mau pergi. Jaga diri kamu sebaik-baiknya. Jangan percaya siapa pun selain diri kamu sendiri, termasuk Utomo. Percaya sekedarnya saja. Jangan menggantungkan hal apa pun pada orang lain. Dan ingat, Win ... saat kamu sudah memutuskan sesuatu, itulah takdir yang harus kamu jalani. Jangan pernah menyesalinya. Sebanyak apa pun usia kamu, kamu tetap putri kecil ibu yang berharga. Kamu paham, Nak?”
Nasehat panjang lebar nan lembut yang baru saja selesai diucapkan oleh Bu Sumi berhasil membuat mata Winarsih memanas. Matanya sudah berkaca-kaca hendak menangis dan bulir air mata langsung jatuh tak terbendung.
Winarsih tak sanggup menjawab perkataan Bu Sumi. Kepalanya hanya mengangguk berkali-kali.
“Jangan nangis. Itu Yanto sudah melambai-lambai dari depan rumah. Nanti melihat kakaknya menangis dia malah ikut menangis.”
Bu Sumi menghapus air mata di pipi Winarsih dengan tangan kiri. Tangan kanannya masih memegang ember besar yang berada di puncak kepala.
“Ibu mau dimasakin apa untuk makan malam?” tanya Winarsih.
“Gayamu nanya mau makan apa, memangnya setiap hari yang kita makan berbeda?” sindir Bu Sumi.
“Hari ini ada yang beda, telur asin yang Winar buat minggu lalu sudah bisa dimakan hari ini," sahut Winarsih riang sambil memeluk bahu ibunya.
Yanto yang melihat kedatangan ibu dan kakaknya melompat-lompat girang. Remaja pria 14 tahun pengidap down syndrome itu langsung menyongsong Bu Sumi untuk mengambil ember bawaan ibunya itu.
Meski Yanto adalah seorang anak dengan keistimewaan spesialnya, sehari-hari Yanto mengambil upahan untuk mengupas kayu manis.
Setiap pagi petani kayu manis mengantarkan beberapa keranjang berisi kayu manis yang harus dibersihkan dengan pisau.
******
Malam itu Winarsih telah berjanji akan menemui Utomo di sebuah pondok bekas pos ronda yang terletak hampir di perbatasan desa tetangga mereka. Jaraknya agak jauh dan Winarsih berencana hendak meminjam sepeda tetangganya seperti biasa.
Winarsih dan Utomo sering bertemu di sana diam-diam sejak awal mereka berpacaran tiga tahun yang lalu.
Pondok bekas pos ronda itu sering dijadikan tempat bertemu untuk pasangan yang belum mendapat izin dari orang tua mereka.
Bu Sumi tak pernah mengizinkan putrinya untuk berpacaran dengan Utomo. Meski sebenarnya Bu Sumi mengetahui hubungan Winarsih dengan salah satu anak tengkulak di desa itu, Bu Sumi tak pernah menunjukkan sikap menyetujuinya dengan alasan Winarsih masih terlalu muda untuk menjalin hubungan serius.
Wanita tua itu tak ingin putrinya menikah terlalu cepat seperti kebanyakan gadis di desa mereka.
Dan Utomo yang memahami sikap Bu Sumi tak pernah memaksa Winarsih untuk segera membujuk sang ibu agar menerimanya sebagai calon menantu.
Alhasil, pria 24 tahun itu tak pernah mengapeli Winarsih pada sabtu malam seperti kebanyakan pasangan pacaran di desa mereka.
Winarsih mengenal Utomo sejak baru pertama kali menamatkan SMP dan berkeinginan untuk melanjutkan sekolahnya ke satu-satunya SMA di wilayah mereka.
Saat itu, Winarsih yang begitu antusias pergi mengunjungi SMA baru, menggunakan sepeda dengan beberapa temannya.
Tiba di depan gerbang sekolah, mereka bertemu dengan beberapa pemuda yang ternyata adalah murid SMA yang baru saja lulus dan hendak mengambil ijazahnya.
Winarsih yang remaja berusia 15 tahun kala itu begitu terpukau saat berkenalan dengan Utomo yang dinilainya sangat tampan dan macho.
Beberapa kali pertemuan selanjutnya turut meluluhkan hati Winarsih untuk menerima Utomo sebagai pacarnya.
Winarsih adalah wanita manis berkulit kuning langsat dengan tinggi 160 sentimeter. Rambutnya yang ikal sebahu, selalu dikuncirnya membentuk ekor kuda tinggi.
Untuk wanita yang bertubuh berisi dan montok, Winarsih bisa dikatakan cukup gesit dan sigap dalam bekerja.
Bentuk wajahnya oval sempurna dengan bibir penuh dan sorot mata yang memancarkan kecerdasan.
Beberapa pemuda di desanya terang-terangan menyukai Winarsih dengan beberapa kali datang berkunjung ke gubuknya.
Tapi Winarsih tetaplah Winarsih yang hanya mengenal Utomo sebagai pria yang berada di dalam hatinya.
Tahun demi tahun berlalu, hubungan mereka telah masuk tahun keenam. Dan selama itu juga, Utomo telah bekerja di sebuah pabrik sebagai mandor.
Untuk ukuran kehidupan di desa mereka, pekerjaan dan gaji yang diterima Utomo sudah cukup memuaskan.
Tapi tidak bagi Utomo. Pria itu memiliki impian untuk bisa tinggal di kota besar dan punya kehidupan yang lebih mapan lagi.
Utomo harus mengumpulkan uang gajinya sebagai modal untuk berangkat kerja ke ibukota dan melanjutkan pendidikannya di sana meski tanpa persetujuan sang ayah.
Ayah Utomo menginginkan Utomo mewarisi serta mengelola beberapa hektar sawahnya. Ayahnya bahkan telah memilihkan seorang gadis untuk dinikahkan pada Utomo kelak.
Winarsih yang miskin melarat tak pernah masuk ke dalam hitungan ayah Utomo dalam memilih kandidat calon menantunya.
Ayah Utomo; Pak Mukhlis tak ingin Utomo menanggung beban kehidupan keluarga Winarsih yang dikatakannya ‘terlalu miskin’.
******
“Kok, kamu lama sekali?” tanya Utomo pada Winarsih yang baru saja tiba di pondok bekas pos ronda.
Winarsih menyandarkan sepeda pinjamannya di salah satu tiang pondok. Wanita itu menghampiri Utomo yang duduk merapat ke dinding pos yang mirip gubuk di tengah sawah agar tak terlihat dari kejauhan.
“Tadi aku menyuapi Yanto lebih dulu sebelum ke sini. Manjanya sedang kumat," ujar Winarsih sembari duduk di sebelah kekasihnya.
“Gimana? Ibu kamu sudah memberi izin?” tanya Utomo tak sabar.
“Sudah,” jawab Winarsih tersenyum.
“Serius? Serius kamu jadi berangkat bareng aku ke kota?” tanya Utomo lagi untuk meyakinkan apa yang baru saja didengarnya.
“Serius,” ujar Winarsih kembali dengan mata berbinar.
Utomo langsung menarik Winarsih ke dalam pelukannya. Beberapa saat lamanya sepasang insan itu berpelukan dalam kegelapan.
“Aku senang sekali, Win,” ucap Utomo sambil menciumi rambut kekasihnya.
“Aku juga senang, Mas. Apalagi Mas Ut bilang, Mas Ut akan melanjutkan kuliah di ibukota. Aku sabar nunggu Mas Ut. Aku juga udah janji ke Ibu suatu hari nanti akan bawa Yanto menjalani terapi di kota,” ujar Winarsih dengan naif dan antusias pada Utomo.
Utomo melepaskan pelukannya pada tubuh Winarsih. Dia memandang gadis yang memakai kemeja bermotif bunga-bunga dan rok panjang di bawah lutut yang berwarna merah itu dengan dahi mengernyit.
“Maksud kamu, kita menikah sesudah aku selesai kuliah? Begitu?” tanya Utomo.
“Iya, Mas. Aku sabar, kok. Setidaknya kita harus mengantongi restu dari kedua orang tua kita. Mas harus buktikan pada ayah Mas Ut kalau pilihan Mas Ut untuk berangkat ke kota itu tidak salah. Kita harus membuktikan pada orang tua kita, Mas.”
Winarsih menatap mata Utomo dalam kegelapan.
“Lagipula, aku masih 21 tahun Mas. Waktu kita menabung masih banyak,” sambung Winarsih.
“Tapi aku mau kita menikah dalam waktu dekat ini, Win.”
“Harus secepat itu, Mas?” tanya Winarsih.
“Aku ingin kamu segera jadi istriku. Dua tahun menunggu kontrak kerja berakhir saja mungkin aku sudah tidak sanggup," pungkas Utomo.
Aku tidak tahan harus terus-menerus menahan diri tiap berduaan dengan kamu, ucap Utomo dalam hati.
Laki-laki mana yang tahan berdekatan lama-lama dengan Winarsih yang cantik dan bertubuh molek ini, pikirnya.
"Cita-citaku masih banyak, Mas. Aku ingin membahagiakan Ibu dan Yanto lebih dulu. Mas Ut tau sendiri sejak Ayahku meninggal hidup kami sangat kekurangan. Aku kasihan lihat Ibu harus berpanas-panasan di sawah yang bahkan bukan miliknya." Winarsih menerawang menatap pepohonan di depannya.
"Kalau sudah menikah nanti, aku pasti membantu ibumu dan Yanto, Win. Lagipula aku khawatir kalau enggak buru-buru menikahimu, kamu malah kepincut laki-laki lain," ujar Utomo.
Winarsih menatap kekasihnya dengan pandangan setengah tak percaya. Utomo yang berada di hadapannya saat ini ternyata adalah seorang pria yang ia nilai egois.
Sejak tadi pria itu seperti tak berusaha untuk mengerti apa yang ia katakan.
**To** be continued
kok malu ya😂😂
apa ada di lapak lain?
Ada Dr Firza juga /Rose//Wilt//Rose//Wilt//Kiss//Kiss//Kiss/
Pinter bener tuh Pakde klo ngeles..Ampe Bude winar manut aj
untuk bisa tau besarnya Arus sungai..
#catat dech