Nadia, seorang gadis desa, diperkosa oleh seorang pria misterius saat hendak membeli lilin. Hancur oleh kejadian itu, ia memutuskan untuk merantau ke kota dan mencoba melupakan trauma tersebut.
Namun, hidupnya berubah drastis ketika ia dituduh mencuri oleh seorang CEO terkenal dan ditawan di rumahnya. Tanpa disangka, CEO itu ternyata adalah pria yang memperkosanya dulu. Terobsesi dengan Karin, sang CEO tidak berniat melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Empat
******
Nadia terbangun di tengah malam, matanya terbuka perlahan di dalam gelap. Ia merasakan ada kehadiran seseorang di dalam kamar. Ketika ia mulai sadar sepenuhnya, jantungnya berdegup keras—di sana, di ujung ranjangnya, berdiri Bimo, sepupu laki laki nya, adik Sandra, memandangnya dengan tatapan buas.
Bimo adalah seorang pemuda pengangguran yang hanya membawa masalah. Ia dikenal suka berjudi hingga tak jarang ia pulang dalam keadaan mabuk. Selain itu, Bimo memiliki reputasi buruk dalam mempermainkan hati wanita—gonta-ganti pasangan tanpa pernah bertanggung jawab pada salah satunya.
Di rumah, Bimo mendapatkan perlakuan istimewa dari paman dan bibi Nadia. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, ia seakan menjadi kebanggaan dan pusat perhatian mereka. Mereka menutup mata terhadap semua keburukan yang dilakukan Bimo, mengabaikan semua desas-desus tentang kelakuannya di desa.
Apa pun kesalahan yang diperbuatnya selalu dianggap angin lalu, bahkan sering kali dilindungi. Kecintaan buta mereka ini membuat Bimo semakin bebas berbuat sesuka hatinya tanpa takut pada konsekuensi.
Dan karena itu, Nadia tahu, andai terjadi sesuatu malam ini pada dirinya, keluarganya pasti akan berpihak pada Bimo. Tidak peduli seburuk apa kelakuannya, atau sejahat apa pun ia memperlakukan Nadia, Bimo tetaplah anak kandung yang tidak pernah bisa salah di mata paman dan bibinya. Sebaliknya, Nadia, yang hanya keponakan yatim-piatu, sudah dapat dipastikan akan dianggap sebagai pemicu masalah, seakan dialah yang layak disalahkan.
Ketakutan menguasai dirinya. Dengan suara gemetar, Nadia berusaha bertanya, “Bimo… apa yang kau lakukan di sini?”
Bimo tersenyum sinis, tak bergerak dari tempatnya, namun pandangannya turun, menelusuri leher dan dada Nadia seperti mencari validasi. Bercak merah yang masih samar menghiasi kulit putihnya, meskipun Nadia lagi lagi sudah berusaha keras menutupi dan menggosoknya hingga hampir tak terlihat. Namun, Bimo melihatnya dengan jelas, dan sebuah seringai menghina muncul di wajahnya.
“Sepertinya apa yang dikatakan Sandra benar,” katanya perlahan, nadanya penuh dengan cemoohan. “Kau menjual diri, ya, Nadia?”
Nadia menahan napas, tubuhnya terasa gemetar di bawah tatapan Bimo. Rasa malu dan ketakutan berkecamuk dalam dirinya, tapi ia tahu, tak ada yang bisa ia katakan yang akan mengubah pemikiran Bimo.
Bimo hanya tersenyum sinis, matanya menyala dengan keinginan yang sudah lama dipendam. “Apa yang aku lakukan? Kau pasti sudah tahu jawabannya, Nadia. Aku sudah lama menginginkanmu.”
Dengan senyum licik, Bimo terus mendekat.
Dan di sini kau sok jual mahal di hadapanku? Kau pikir aku tidak tahu, Nadia? Kau sudah berani main di belakang, kenapa tidak dengan aku?”
Nadia mundur, mencoba menjauh dari Bimo. “Jangan mendekat, atau aku akan berteriak!”
Tapi Bimo tidak gentar sedikit pun. Dia melangkah lebih dekat, penuh percaya diri. “Berteriaklah jika kau mau, tapi kau tahu persis apa yang akan terjadi. Kau pikir siapa yang mereka percaya, Nadia?"
Nadia mundur lagi, semakin terpojok, sementara Bimo terus mendekat, mengabaikan ketakutan yang jelas terpancar dari wajahnya. Sesuatu dalam tatapannya mengatakan bahwa dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang diinginkannya.
Nadia, yang terjebak dalam trauma dan kilasan memori yang menyakitkan, merasakan dunia di sekitarnya berputar. Perasaan tidak berdaya menyesakkan dadanya. Dia bisa merasakan malam sebelumnya kembali menghantuinya—sentuhan kasar, kata-kata yang menusuk, dan rasa takut yang membuat tubuhnya menggigil.
Mengapa semua ini terjadi padanya? Mengapa dia harus terus-menerus menghadapi rasa takut dan penderitaan? Kenapa dia yang harus menanggung nasib seperti ini, seolah-olah dunia tidak pernah memberinya kesempatan untuk merasa aman? Air mata yang tertahan mulai mengalir di pipinya, rasa putus asa perlahan-lahan menguasai dirinya.
Sementara itu, Bimo semakin senang melihat Nadia yang begitu ketakutan dan tidak berdaya. Seolah-olah pemandangan itu adalah hiburan yang dia tunggu-tunggu. Tangannya dengan santai membuka resleting celananya, senyumnya semakin lebar melihat betapa terpojoknya Nadia. Dia mendekat dengan langkah perlahan, menikmati setiap detik dari penderitaan yang ditimbulkannya.
Semua ini menjadi terlalu berat untuk ditanggung, dan dalam sekejap, kaki Nadia kehilangan kekuatannya. Dia terjatuh ke lantai dengan tubuh gemetar, kehilangan keseimbangan sepenuhnya. Pandangannya kabur oleh air mata, sementara Bimo terus mendekat, mendominasi ruang yang seharusnya menjadi tempat perlindungannya.
Ketika tubuh Nadia terjatuh ke lantai, dunia seakan berhenti berputar. Rasa sakit menyebar dari lutut hingga ke dadanya, tetapi sebelum dia sempat mengumpulkan kembali kesadarannya, tangan kasar Bimo sudah menjambak rambutnya dengan brutal. Nadia mengerang kesakitan, tubuhnya dipaksa untuk mengikuti tarikan kuat itu hingga wajahnya menghadap Bimo.
Dia bisa merasakan napas Bimo yang berat, penuh nafsu dan keinginan yang menjijikkan. Dengan tatapan yang dipenuhi kebencian, Bimo memaksa wajah Nadia semakin dekat ke tubuh bagian bawahnya, memaksanya untuk melakukan sesuatu yang Nadia tahu akan menghancurkan sisa harga dirinya.
“Kau pikir bisa lari dari ini?” Bimo berbisik dengan suara rendah yang beracun, nyaris seperti ular yang menyusup ke telinga Nadia.
“Kau milikku. Kau tidak ada artinya selain jadi mainanku.”
Di tengah rasa takut dan kepanikan yang membelenggu, ada sesuatu yang membara dalam diri Nadia—dorongan yang tak terelakkan untuk melawan, untuk tidak menyerah pada kehinaan yang ingin Bimo tanamkan padanya. Dengan napas yang mulai teratur, Nadia berusaha meraba-raba lantai di sampingnya, mencari sesuatu, apa pun yang bisa dia gunakan untuk melindungi dirinya.
Tangannya akhirnya menemukan sebuah benda dingin dan keras—vas bunga yang ada di samping tempat tidurnya. Dengan tekad yang penuh, dia meraih vas itu dengan cepat, adrenalin yang berderu dalam tubuhnya memberinya kekuatan yang tidak pernah dia tahu ada dalam dirinya.
Saat Bimo semakin mendekat, dengan licik ingin merendahkannya lebih jauh, Nadia mengayunkan vas bunga dengan seluruh kekuatan yang tersisa.
Suara pecahan keras memenuhi ruangan, dan Bimo terhuyung ke belakang, terkejut, sementara darah mulai mengalir dari kepalanya. Namun, amarah yang menyala di matanya semakin mengerikan. Ia memegangi kepalanya yang terluka, menatap Nadia dengan sorot mata beringas yang membuat darahnya semakin membeku.
Dengan napas tersengal-sengal, Nadia mundur beberapa langkah, menyadari bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk melarikan diri. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan berlari keluar dari kamar, meninggalkan rumah dengan langkah cepat dan panik.
Dingin malam menusuk kulitnya, angin lembap membawa aroma tanah dan dedaunan yang basah oleh embun. Keringat dingin membasahi pelipisnya, sementara jantungnya berdegup begitu kencang hingga seolah-olah hendak meledak. Setiap langkah terasa berat, tetapi ia tahu bahwa ia tidak boleh berhenti, tidak boleh melambat.
Tanpa alas kaki, ia menginjak kerikil tajam di jalan setapak yang mengarah keluar dari halaman rumah, tapi rasa sakit itu tidak menghentikannya. Luka-luka kecil mulai terbentuk di telapak kakinya, namun ketakutan yang mendalam mengalahkan segalanya.
“Berani kau melawan aku?!” Teriakan Bimo menggema dari arah rumah, suaranya penuh amarah dan dendam. Nadia tidak berani menoleh, sebaliknya ia terus berlari secepat mungkin, mendengar suara langkah-langkah berat Bimo yang mulai menyusul dari kejauhan.