menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35 : aku curhat pada bu sinta
Aku terbangun dengan jantung yang masih berdegup keras. Sejadah di depanku basah oleh air mata yang tanpa sadar menetes sepanjang doa yang kupanjatkan tadi. Mimpi itu masih tergambar jelas di benakku, mimpi buruk yang terlalu nyata, hingga membuatku merasa kedinginan walau pagi telah tiba. Aku menggigil bukan karena cuaca, tapi ketakutan yang merayap di hatiku.
Dengan tangan yang masih gemetar, aku meraih ponsel dan membuka kontak Bu Sinta, guru agamaku yang juga seorang karyawan Pak Bayu di agen travel umrah. Dengan beranikan diri, kuketik pesan singkat padanya.
Nurra: Assalamualaikum, Bu. Nurra takut… semalam Nurra mimpi buruk, serem banget, Bu. Ibu ada waktu nggak? Nurra pengen ngobrol.
Tak lama, pesan Bu Sinta muncul di layar ponsel.
Bu Sinta: Waalaikumussalam, Nurra. Iya, ibu ada waktu, kok. Datang aja ke kantor, ya. Hari ini ibu shift pagi.
Nurra: Makasih, Bu… Nurra beneran bingung mau cerita ke siapa. Nurra nggak mungkin cerita ke ayah sama ibu karena mimpinya tentang mereka. Sekali lagi, makasih banyak, Bu.
Bu Sinta: Iya, sayang. Sama-sama. Hati-hati di jalan, ya. Kalau sudah sampai, langsung masuk ke ruangan ibu aja.
Aku menutup ponselku, menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan cemas yang membuncah tak juga reda. Aku melipat sejadah dan mukena dengan hati-hati, merasa seolah-olah tiap gerakanku berusaha menghindar dari bayangan yang hadir dalam mimpiku. Setelah bersiap-siap, aku menuju pintu kamar dan melihat kedua orang tuaku yang tersenyum sambil menyiapkan bakso untuk dibagikan gratis, sekaligus berjualan pagi itu. Senyum mereka yang biasa meneduhkan justru terasa mencekam bagiku sekarang. Di kepalaku, bayangan mereka terbakar, tersiksa, seperti dalam mimpiku, membuat hatiku semakin kacau.
Tanpa pamit, aku buru-buru keluar, tak mampu menatap mereka lebih lama. Sepanjang perjalanan menuju kantor Bu Sinta, pikiranku terus dipenuhi gambaran mimpi tadi. Aku merasa ketakutan yang mendalam, tubuhku gemetar dan napasku pendek-pendek. Apa maksud mimpi itu? Kenapa semua terasa begitu nyata?
Sesampainya di kantor, aku disambut oleh Mbak Ana, resepsionis yang menyapaku ramah.
Mbak Ana: Assalamualaikum, selamat pagi. Ada yang bisa dibantu?
Nurra: Waalaikumussalam. Maaf, Bu, apa Bu Sinta ada?
Mbak Ana: Sudah buat janji, ya?
Nurra: Sudah, Bu. Katanya disuruh langsung ke ruangannya.
Mbak Ana: Oh, baik. Ruangannya di sebelah kiri, silakan langsung masuk.
Nurra: Terima kasih, Bu. Assalamualaikum.
Aku berjalan menuju ruangan Bu Sinta, rasa takut yang memenuhi dadaku membuat langkah terasa berat. Sampai di depan pintu, aku mengetuk pelan.
Nurra: Tok-tok-tok. Assalamualaikum, Bu. Ini Nurra.
Bu Sinta: Waalaikumussalam. Masuk, sayang.
Aku membuka pintu perlahan. Di balik meja kerjanya, Bu Sinta tersenyum hangat menyambutku. Namun, begitu melihat wajahnya yang penuh kasih itu, tangisku yang kutahan sejak tadi akhirnya pecah. Air mata mengalir deras membasahi pipiku, dan aku tak bisa menahan diriku lagi.
Bu Sinta segera bangkit dari tempat duduknya dan mendekat, memelukku erat-erat.
Bu Sinta: Sayang, ada apa ini? Kok malah nangis? Ceritain ke ibu, pelan-pelan, ya.
Aku hanya bisa menunduk dan menangis di pelukannya, sambil mencoba mengumpulkan keberanian untuk bercerita. Bu Sinta menuntunku duduk di sofa dan menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. Sesekali, dia membelai rambutku, memberikan ketenangan dalam setiap sentuhannya.
Bu Sinta: Sudah tenang, sayang? Sok, cerita sama ibu, ibu dengerin.
Aku menarik napas panjang, mencoba mengontrol isakan yang masih tersisa. Suaraku serak saat mulai bercerita.
Nurra: Aku… aku mimpi, Bu. Mimpi ayah dan ibu… mereka disiksa, Bu. Aku lihat mereka dibakar, dicambuk… sama sosok hitam yang besar dan mengerikan. Wajahnya… serem banget, Bu, aku takut banget.
Aku kembali terisak. Bu Sinta menggenggam tanganku erat-erat, seolah menyalurkan kekuatan agar aku bisa melanjutkan.
Nurra: Yang bikin aku lebih takut… Bu, aku lihat ada perempuan di sana, perempuan yang wajahnya mirip banget sama aku. Dia lagi joget dengan pakaian… pakaian yang biasanya aku pakai saat di club malam, Bu. Dia dikelilingi laki-laki yang gangguin dia, pegang sana-sini, mereka…
Aku menghentikan cerita sambil menunduk dalam-dalam, merasa malu dan bersalah.
Bu Sinta tetap menggenggam tanganku tanpa berkata apa-apa. Dia hanya mengusap punggung tanganku dengan lembut, memberiku waktu.
Nurra: Bu… aku akui… selama ini aku memang sering ke club malam, joget pakai pakaian yang… ya, seperti itu. Aku pikir itu nggak masalah, cuma hiburan aja. Aku pakai crop top sama hotpants, joget bebas, sampai cowok-cowok suka deketin aku, meluk dari belakang, cium pipi… bahkan kadang ada yang… yang pegang dadaku.
Suara Nurra bergetar semakin dalam, setiap kalimat seperti mengiris hatinya sendiri.
Nurra: Dulu, aku biasa aja, Bu. Malah seneng. Aku merasa itu nggak akan merugikan siapa-siapa… aku salah, Bu. Salah besar. Aku nggak kepikiran kalau ternyata tindakanku bisa jadi malapetaka buat orangtuaku. Aku takut, Bu. Aku takut mereka beneran disiksa gara-gara dosa-dosa yang aku buat. Aku nggak mau itu terjadi, Bu. Aku… aku nyesel.
Tangisku pecah lagi, kali ini disertai rasa sesal yang lebih dalam. Aku memeluk Bu Sinta lebih erat, berharap rasa takutku bisa lenyap dalam pelukannya.
Bu Sinta tak berkata apa-apa. Dia hanya membiarkanku menangis, seolah memahami bahwa air mata ini butuh waktu untuk mengalir habis sebelum aku bisa benar-benar tenang. Setelah beberapa saat, dengan suara lembut dan penuh kasih, dia berbicara.
Bu Sinta: Sayang, nggak ada yang bisa ibu lakukan untuk menghapus dosa-dosamu. Semua harus kamu selesaikan sendiri, dengan pertobatan yang sungguh-sungguh. Allah Maha Pengampun, Nak. Sebesar apapun dosamu, selama kamu mau bertobat dengan sungguh-sungguh, insyaAllah pintu maaf-Nya akan terbuka.
Dia menepuk-nepuk pundakku lagi, memberiku kekuatan.
Bu Sinta: Yuk, kita sholat bareng. Minta ampun sama Allah, ceritain semuanya. Serahkan semua rasa takutmu pada-Nya, siapa tahu setelah itu Allah nggak cuma maafin kamu, tapi juga menenangkan hatimu. Yuk?
Aku mengangguk pelan, lalu Bu Sinta menuntunku menuju mushola kecil di kantornya. Kami berwudhu bersama, lalu menunaikan sholat dua rakaat. Dalam setiap sujud, aku menangis lebih dalam, menyerahkan semua dosa dan ketakutan pada Allah, memohon ampunan dan perlindungan untuk keluargaku.
Aku tahu, langkah pertobatan ini baru saja dimulai. Tapi dalam sholatku, untuk pertama kalinya aku merasa ada cahaya harapan yang muncul, bahwa suatu hari, aku bisa memperbaiki diriku dan membebaskan keluargaku dari bayangan kelam yang pernah kubuat.