Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35. Tersandung Harapan
"Itu karena lo terlalu berharap," kata Pelangi.
Binar mengubah posisi menjadi duduk tegak. "Terus ini salah gue gitu? Ih lo sebenarnya ngedukung siapa sih?"
"Dipandang dari sudut mana pun. Gue merasa ini kewajiban gue sebagai teman lo, jujur, bisa aja ini salah lo. Seseorang nggak akan ngerasa diberi harapan palsu kalau dia nggak berharap."
Bibir Binar agak melengkung ke bawah. "Tapi kan, Na. Gue nggak akan berharap kalau dari situnya nggak ngasih harapan."
Pelangi mengangkat bahu sesaat, "Kalau memang benar adanya kak Cakra datang, ngapain juga lo nolak dia? Padahal kan masih sayang."
"Lo nyalahin gue lagi? Kok malah belain kak Cakra?"
"Gue nggak belain siapa-siapa, cuma bicarain fakta. Dengar gue, Bi. Pilihan lo cuma ada dua. Berhenti berharap sama kak Cakra, move on. Atau, kalau memang benar dia secinta itu sama lo, lo cuma harus percaya sama dia. Yakin bahwa mungkin dia benar-benar akan berjuang buat lo. Beri dia waktu sampai dimana lo capek sendiri dan merasa nggak ada gunanya nunggu lagi. Terus pada akhirnya, lo nyerah. Semuanya cuma masalah pilihan Bi, dan kali ini lo harus konsisten. Udah pilih salah satu, jangan ngeluh, jalanin aja apa yang lo yakin itu terbaik buat lo," kata Pelangi memberi nasihat.
"Gue bingung," gumam Binar, ia sebenarnya merasa agak tertampar dengan ucapan temannya.
"Lo selalu bingung, karena lo takut ambil risiko dari apa yang lo pilih nanti."
"Na ..., jangan bilang gitu."
"Gue harus ke musala, nanti keburu masuk. Udah cukup nemenin lo di sini. Lo lagi datang bulan, kan?"
Binar menganggukkan kepala, ekspresinya tampak sedih. Pelangi keluar dari bangku, kemudian melangkah pergi menuju ke luar kelas. Helaan napas panjang terdengar dari Binar. Ia tahu Pelangi benar mengenai dirinya yang memang takut menanggung risiko dari apa pun pilihannya nanti.
***
Nyatanya, sampai saat ini Binar tak bisa memilih. Ia masih mengeluh, uring-uringan, dan tentu saja berharap Cakra berbuat sesuatu secepat mungkin untuk mendapatkannya kembali. Tapi, lelaki itu sama sekali tak mendekatinya sejak terakhir kali mereka bicara di taman belakang rumah Binar. Membuat gadis itu kali ini mulai meyakini bahwa mungkin Pelangi benar lagi, ia hanya halu.
Tapi di sisi lain, Binar yakin bahwa saat itu benar-benar terjadi. Ini sudah satu minggu lebih, atau katakan saja dua minggu kurang dua hari. Tapi Cakra tak menunjukkan pergerakan untuk membujuk, meluluhkan, dan mendekat. Malah, lelaki itu terlihat semakin menjauh. Binar nelangsa, ingin mendekat dan mengajak balikan duluan pun, ia gengsi. Dikata apa nanti padahal sudah sok jual mahal.
Mau minta kepastian jadi diperjuangkan atau tidak, Binar juga tak berani. Kesannya jadi seperti terlalu berharap, meski itu memang faktanya. Tapi kan ... waktu itu ia sendiri yang nolak. Adanya Binar malah ditertawakan, syukur-syukur Cakra yang paripurna luar biasa itu mau ngajak balikan. Eh, ia malah minta lebih. Istilahnya, udah dikasih hati malah minta jantung. Nggak tahu diri banget. Tapi meski begitu, Binar memang butuh bukti lebih bahwa lelaki itu memang tak main-main padanya. Apalagi sebelumnya ia merasa pernah disakiti oleh Cakra.
Sudah gerah hati, gerah badan pula. Karena pelajaran terakhir hari ini, Binar dan teman-temannya sedang mengikuti pelajaran olahraga, padahal matahari bersinar cukup terik. Sudah panas, mereka tetap harus melakukan pemanasan, berlari keliling lapangan.
"Lemas banget ini kanjeng ratu, mau digendong aja sama kakanda?" Zaki tahu-tahu menyejajarkan larinya dengan Binar yang memang kelihatan 3L alias lemah, letih, dan lesu.
"Jangan ganggu gue ah! Lari aja sana!" ucap Binar kesal.
"Yeu malah marah." Kemudian, Zaki memilih menambah laju larinya. Ia menyusul teman-teman lelakinya yang lain, mereka berlari-lari sambil bersenggolan, sampai guru olahraga yang memperhatikan di pinggir lapangan menegur.
Binar menghela napas pelan, ia memang tak bersemangat.
Gadis itu tak sengaja menengok ke atas tepatnya ke arah balkon lantai dua. Refleks saja karena di sana agak berisik. Pada jajaran beberapa kakak tingkatnya yang malah berada di luar kelas.
Jam kosong? Enaknya, Binar juga mau, pikirnya. Binar melirik ke arah beberapa teman sekelasnya, pantas saja tadi mereka begitu centil, mau cari perhatian. Binar menatap ke arah balkon lantai dua itu lagi, kedua matanya membulat melihat Cakra sedang berdiri di sana. Tak sendiri, ada Putra dan Bima di sampingnya. Lalu kemudian, ada seorang cewek yang menyusul di dekat lelaki itu. Sasha baru saja bergabung sambil menepuk pundak Cakra.
"Aduh!" Binar refleks mengaduh ketika ia tersandung kakinya sendiri dan jatuh.
"Lah? Pakai jatuh lagi, Bi. Ayo bangun!" Pelangi berhenti sejenak dan menepuk pundaknya. Meski gadis itu selanjutnya malah tetap berlari.
"Nggak ada yang sakit kan, Bi?" teman sekelasnya yang lain menyeletuk.
Ini sih bukan masalah sakitnya. TAPI MALUNYA!!! Binar tak sanggup, ia ingin pingsan saja sekalian kalau bisa.
"Ck, sini gue bantu!" salah satu cowok, teman sekelasnya yang lain, tiba-tiba membantu Binar untuk bangun. Sang ketua kelas yang teman-temannya sendiri bilang sangat baik dan suka menolong.
Membuat Binar yang masih terduduk jadi langsung berdiri begitu saja. Karena tubuh cowok itu yang bongsor dan otomatis cukup kuat, sementara tubuh Binar terbilang imut hingga ia mudah terangkat.
"Ih! Gue bisa sendiri! Go away!" kata Binar.
"Dibantu, bukannya bilang makasih malah ngusir!"
Binar melotot, "Heh! Gue nggak minta bantuan lo ya!"
Lelaki itu mencibir dan lanjut berlari. Sementara Binar kembali menatap ke arah balkon lantai dua. Ia terdiam kala melihat Cakra dirasa menatap ke arahnya. Namun detik berikutnya, Binar kecewa karena lelaki itu membalikkan tubuh, kemudian memasuki kelas. Bibir Binar langsung membentuk lengkungan ke bawah.
Apa ini pertanda kalau saatnya ia menyerah saja? Berhenti berharap pada lelaki itu dan move on? Sampai saat ini tak ada pergerakan dari Cakra. Jelas, sang mantan pacar tampak diam saja. Binar benar-benar lelah pada hatinya yang masih saja mengharapkan lelaki itu. Sudah pernah dibikin patah juga, masih saja keukeuh, yang sakitkan tetap saja dirinya sendiri.
"Binar! Kamu kenapa malah berhenti? Ayo lanjut lari!" guru olahraganya dari pinggir lapangan berteriak.
Binar menoleh. "Iya, Pak!" balasnya berteriak, kemudian berlari sambil manyun.
"Bapak sih enak-enak cuma merhatiin aja di bawah pohon, nggak kepanasan. Seharusnya Bapak juga ikut lari dong," omelnya pelan, tentu saja.
Gadis itu cemberut, ia sangat kesal. Sebenarnya kesal pada Cakra, tapi karena nggak bisa mengomeli Cakra, ia tumpahkan kekesalannya dengan menggerutu pelan pada guru olahraga.