Dira Namari, gadis manja pembuat masalah, terpaksa harus meninggalkan kehidupannya di Bandung dan pindah ke Jakarta. Ibunya menitipkan Dira di rumah sahabat lamanya, Tante Maya, agar Dira bisa melanjutkan sekolah di sebuah sekolah internasional bergengsi. Di sana, Dira bertemu Levin Kivandra, anak pertama Tante Maya yang jenius namun sangat menyebalkan. Perbedaan karakter mereka yang mencolok kerap menimbulkan konflik.
Kini, Dira harus beradaptasi di sekolah yang jauh berbeda dari yang sebelumnya, menghadapi lingkungan baru, teman-teman yang asing, bahkan musuh-musuh yang tidak pernah ia duga. Mampukah Dira bertahan dan melewati semua tantangan yang menghadang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dira Pusing
Dira terdiam, kata-kata Alif perlahan mulai menggoyahkan benteng ketidakpeduliannya. Ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang menggelitik di sudut pikirannya. Namun, ia menolak untuk membiarkan dirinya terjebak terlalu dalam. Tidak lagi.
"Kalau dipikir-pikir, mungkin ada benarnya juga," gumamnya, pandangannya sejenak menerawang. Tapi dengan cepat, ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir keraguan yang mulai merayap masuk. "Tapi gue gak peduli. Ini bukan urusan gue. Gue mau fokus ke masalah Gerry dulu."
Dengan keputusan itu, Dira berbalik dan melangkah pergi menuju kelasnya, meninggalkan Alif di depan ruang kepala sekolah. Tatapan Alif tetap mengikuti punggung Dira yang menjauh, sementara Dira menegaskan langkahnya, berusaha keras untuk tetap pada jalan yang telah ia pilih, meski hatinya mulai bimbang.
Dira melangkah cepat menuju kelasnya, berusaha menepis segala pikiran yang berkecamuk di benaknya. Tapi setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menariknya kembali ke kata-kata Alif. Kenapa sih gue harus mikirin ini? batinnya, mencoba meyakinkan diri bahwa fokusnya hanya pada masalah Gerry.
Sesampainya di depan kelas, Dira berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum masuk. Fokus, Dira. Fokus ke masalah lo aja.
Ia membuka pintu kelas perlahan. Suasana di dalam kelas terasa berbeda. Seolah ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa teman sekelasnya melirik ke arah Dira, tapi tidak ada yang berbicara. Dira mengernyit, merasa ada sesuatu yang mereka sembunyikan.
Ia berjalan menuju mejanya, mencoba untuk tidak memedulikan tatapan-tatapan itu.Saat Dira meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di samping Dinda, teman sebangkunya, suasana terasa aneh. Dira bisa merasakan tatapan sinis Dinda yang menusuk dari samping. Perasaan tidak nyaman mulai merayap ke dalam dirinya.
"Dinda, lo masih marah sama gue?" tanya Dira dengan suara pelan, mencoba mencari penjelasan di balik sikap dingin temannya itu.
Namun, alih-alih menjawab, Dinda berdiri tanpa sepatah kata pun. Ia melirik ke arah temannya yang duduk di barisan depan. "Rina, tukeran tempat duduk dong," ujar Dinda datar, tanpa sedikit pun memperhatikan Dira.
Rina, yang sedang merapikan buku-bukunya, menatap Dinda dengan bingung sejenak, namun akhirnya mengangguk. "Oh, oke Din," jawab Rina sambil mengemasi barang-barangnya dan berpindah ke tempat duduk Dinda.
Dinda segera mengambil tempat duduk Rina tanpa menoleh lagi pada Dira, meninggalkan Dira yang tertegun. Hati Dira mendadak terasa berat. Kenapa dia tiba-tiba begini? pikirnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Rasa canggung menyelimuti Dira, seolah seluruh kelas memperhatikannya. Padahal, hanya Dira yang menyadari perubahan suasana ini. Dengan cemas, ia berusaha mencari solusi agar Dinda tidak marah. Namun, tak ada yang terlintas di benaknya, karena masalah Gerry belum selesai.
Sambil berusaha mengabaikan perasaan terisolasi yang kian menekan, Dira membuka buku catatannya. Namun, pikirannya tetap melayang, Meski kelas dimulai, perhatian Dira tak sepenuhnya tertuju pada pelajaran. Pikiran tentang Dinda, Gerry, dan semua kegelisahan yang baru saja dialaminya terus berputar-putar di kepalanya, membuatnya sulit untuk fokus.
"Dira, coba kerjakan soal ini di papan tulis!" suara tegas Pak Guru memecah lamunan Dira. Seisi kelas mendadak hening, semua mata tertuju padanya. Jantung Dira berdegup kencang, ia merasakan wajahnya memanas seketika. Mampus gue, mana gue nggak bisa ngerjain soal ini, batinnya panik, jari-jarinya gemetar ketika ia bangkit dari kursi. Meski hatinya dipenuhi keraguan, Dira memaksakan diri untuk terlihat tenang. "Iya, Pak," jawabnya dengan suara yang bergetar, berusaha menyembunyikan ketakutannya.
Dira berjalan pelan ke depan kelas, setiap langkahnya terasa seperti beban berat yang menggantung di pundaknya. Sesampainya di depan papan tulis, ia menatap soal yang tertulis di sana—sebuah soal trigonometri yang tampak seperti teka-teki rumit di matanya.
Dengan kapur di tangan, Dira berdiri diam, berpura-pura berpikir keras. Namun, pikirannya kosong. Ia hanya menatap angka-angka dan simbol-simbol di papan tulis itu, berharap keajaiban datang dan jawaban muncul dengan sendirinya. "Dira?" suara Pak Guru terdengar lagi, kali ini lebih mendesak. Ia merasakan tatapan guru dan teman-temannya yang semakin membuatnya gugup.
Aduh, apa yang harus gue lakukan? pikirnya, hampir putus asa. Ia melirik ke arah teman-temannya, tapi tak ada yang bisa ia harapkan untuk memberi petunjuk. Bahkan Dinda, yang biasanya akan membisikkan sesuatu untuk membantunya, kini menatapnya dengan dingin dari tempat duduknya yang baru.
Dengan perasaan semakin tertekan, Dira akhirnya menggambar beberapa angka asal di papan tulis, berharap itu bisa menipu Pak Guru untuk sementara waktu. Tapi ia tahu, apa yang ia tulis hanyalah omong kosong. Pak Guru mendekat, mengamati jawabannya. Dira menahan napas, berharap waktu bisa berhenti sejenak. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Pak Guru menghela napas. "Dira, coba perhatikan lagi soalnya. Jawabanmu masih jauh dari benar," katanya, suaranya tidak marah, tapi jelas mengecewakan. Dira merasa malu. "Maaf, Pak," ucapnya lirih, menunduk.
"Kembali ke tempat dudukmu, nanti kita bahas lagi bersama-sama," kata Pak Guru, memberikan Dira kesempatan untuk mundur dengan kepala tertunduk. Dira berjalan kembali ke tempat duduknya, kali ini dengan rasa malu yang mendalam. Saat ia duduk, ia bisa merasakan beberapa teman sekelasnya menahan tawa, sementara Dinda tetap tak menunjukkan emosi apapun.
yu follow untuk ikut gabung ke Gc Bcm thx