Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
“Bagaimana? Apakah kalian sudah mengerti?” tanya Halim pada murid-muridnya.
“Belum, Paaaaak!!” jawab mereka kompak. Didominasi oleh suara murid perempuan di kelas itu. Kalau murid laki-laki, mereka malah acuh tak acuh.
Bagi mereka, melihat Pak Halim menjelaskan materi di papan tulis dengan suara tegasnya, seperti melihat aktor drakor yang tampannya seperti apotek tutup.
Jadi mereka tidak rela saja kalau Halim menyelesaikan penjelasannya di depan kelas.
Halim berdecak kecil. Padahal materi yang diajarkannya pagi ini itu gampang sekali. Bagi dia tapi. Dia juga sudah menjelaskan secara detail tentang pengerjaan soalnya. Tapi kenapa belum ada yang nyambung juga?
“Baiklah, bagian mana yang kalian tidak paham?”
“Bagian cara mengerjakan soalnya, Pak!” jawab mereka sekali lagi dengan kompak. Bikin Halim ingin tepuk jidat.
“Akan saya jelaskan sekali lagi. Tapi saya harap, kali ini kalian akan langsung mengerti. Ini soalnya sudah saya kasih tahu cara mengerjakannya. Dan itu mudah sekali.”
“Tapi kami tidak mau paham, Pak! Biar Bapak jelaskan terus sama kami,” sahut salah satu murid perempuan.
“Uuuuhhh..” murid laki-laki bersorak.
“Iya, Pak! Kami betah soalnya lihatin Bapak di depan kelas sambil jelasin materinya,” sambut murid perempuan yang lain.
“Uuuuuhhhh..” murid laki-laki bersorak lagi. Mereka sebal lihat teman-teman mereka yang rada gatal sama Pak Halim yang notabene adalah guru matematika mereka yang baru.
“Eh, kenapa malah berisik? Kalian mau saya ditegur Kepala Sekolah?”
Murid-murid itu sontak langsung terdiam. Mana mungkin mereka rela kalau guru favorit mereka ditegur sama kepsek.
Halim menghela nafas. Entah kenapa, setiap kelas yang dia masuki, makhluknya sama semua modelnya. Terlebih murid-murid perempuan yang ingin sekali mencari perhatiannya.
Terdengar bel tanda pergantian les berbunyi.
Halim menghela nafas lega. Hampir saja dia sesak nafas karena perilaku murid-muridnya.
“Kerjakan soal halaman 48. Besok serahkan sama saya di ruang guru.”
“Baik, Paaaaaak!!”
Halim bergegas keluar dari kelas itu. Tapi tiba-tiba beberapa murid perempuan menghentikan langkah kakinya.
“Pak, Pak, tunggu!”
Halim berbalik dan agak membelalakkan mata saat melihat mereka semua tersenyum sok imut di depannya.
“Ada apa?” tanyanya dengan dingin.
“Pak, apakah kami boleh tahu akun Instagram Bapak?”
Halim membulatkan matanya menanggapi pertanyaan itu. “Hah? Untuk apa? Kenapa nanya itu?”
“Tidak apa-apa, Pak. Hehe. Boleh, ya, Pak?”
Halim lagi-lagi menghela nafas. Waktu dia mengajar di pulau dulu, dia gak sesering ini menghela nafas.
‘Dasar anak-anak sekarang. Kasih saja kali, ya? Lagi pula, mereka tidak akan bisa lihat apa isinya. Hahaha, aku kan tidak menaruh foto apapun di sana.’
“Baiklah. Nama akun saya Abiyan Halim,” ucap Halim langsung berbalik meninggalkan mereka yang histeris.
Sedang Halim geleng-geleng kepala dipanggil terus sama mereka.
Halim meneruskan langkahnya menuju ruang guru. Karena les 3-4 dia kosong, rencananya dia akan sholat Dhuha di musholah sekolah.
Tiba-tiba Halim teringat dengan kunci motornya. Dia merogoh kantung celana bahannya, dan kunci itu terjatuh dari kantungnya.
“CK!” Halim menunduk dan memungut kunci yang terjatuh itu.
Tiba dia bangkit, dia tak sengaja berpapasan dengan guru perempuan yang berstatus PNS juga di sekolah itu.
“Eh, maaf, Bu,” ucap Halim. Ya walaupun dia tidak ada menyenggol Ibu itu.
“Pak Halim kenapa?” suara lembut mengalun dari bibir guru perempuan yang bernama Rania itu.
“Kunci saya jatuh tadi, Bu. Maaf, saya permisi dulu.” Halim mengangguk sekilas lalu pergi dari hadapan Rania.
Rania begitu terkesima dengan Halim. Sampai-sampai dia memiringkan badannya demi bisa melihat punggung pria itu.
Rania jadi senyum-senyum sendiri. Dari awal Halim masuk ke sekolah ini, dia sudah jatuh hati karena ketampanan pria itu.
Sepertinya bukan Rania saja ‘sih. Banyak guru perempuan jomblo yang diam-diam sudah mengidolakan Halim.
“Ah, Pak Halim. Semoga suatu hari nanti aku bisa merebut hatimu,” gumam Rania. Kemudian dia melanjutkan langkahnya menuju kelas yang akan dia masuki.
Setelah meletakkan tas dan buku ke mejanya sendiri di ruang guru, Halim langsung pergi menuju musholla.
..........*****..........
Ketepok!! Ketepok!! Suara pukulan di kepala terdengar, diiringi kekehan.
Medina hanya tertawa terbahak-bahak saat membawa sepedanya dengan ugal-ugalan. Sedangkan Nona yang dia bonceng, sudah cengap-cengap seperti hendak pingsan.
“Kurang ajar! Lu sengaja mau bikin gue mati, ya?”
Medina yang baru saja mencagakkan sepedanya di parkiran sekolah, lantas semakin tertawa.
“Ya elah! Buktinya lu masih hidup gitu!”
“Gila lu, Me! Ini masih naik sepeda, naik motor entah gimana nasib gue kalau diboncengi sama lu?”
“Hahaha. Ya sudah, yuk!”
Medina dan Nona berjalan masuk ke dalam sekolah.
“Me, lu sudah denger belum tentang guru matematika baru di sekolah kita?”
Medina menoleh pada Nona dan menggeleng. “Belum. Memang ada, ya?”
Nona memukul pelan lengan Medina. “Iiihh ada. Orangnya ganteng, Me. Tampan gimana gitulah!”
Medina tersenyum. “Tampan boleh. Asal jangan serem aja ngajarnya.”
“Ah, lu mau serem ataupun baik hati kayak malaikat, tetap nyangkut pelajaran itu ke otak lu! Lah gue?”
Medina kembali terkekeh. Matanya tiba-tiba tertuju ke lapangan sekolah, di mana anak-anak paskibra yang baru sedang latihan.
“Kita ikut ngelatih, Me?” tanya Nona seakan tahu maksud dari Medina walau hanya melihat dari tatapan matanya. Maklumlah, mereka sahabatan sejak SD.
Medina menaikkan kedua alisnya. “Boleh juga, Na. Tapi kita siapkan dulu urusan kita sama Pak Bambang.”
“Oke, Me.”
Mereka berdua segera bergegas mencari Pak Bambang ke ruang guru.
Setelah selesai dengan urusannya, Medina mengajak Nona untuk sholat dhuha dulu ke mushola sebelum pergi ke lapangan.
“Me, kenapa lu rajin banget sih sholat Dhuha?” Nona bertanya sembari melihat Medina mengambil wudhu.
Medina yang sudah selesai lalu tersenyum pada sahabatnya itu.
“Cuma dengan cara ini kita bersyukur sudah dikasih nafas sama Allah. Dikasih sehat dan yang lainnya.”
“Masya Allah, beruntung banget gue jadi sahabat lu, Me.”
“Ya sudah, gue masuk duluan, ya?”
Medina masuk ke dalam mushola. Dia meletakkan tasnya di dekat lemari penyimpanan mukenah. Dia lalu mengambil salah satu mukenah yang tersedia di lemari itu.
Medina sudah selesai memakai mukenanya dan bersiap untuk sholat. Dia menghadap ke depan dan tersentak kaget karena bukan Cuma dia yang ada di mushola ini ternyata.
Karena tirai pembatas shaf antara pria dan wanita tidak terlalu tinggi, sehingga masih kelihatan orang yang sholat di depan ataupun di belakang.
Terdengar lirih ayat yang dibacakan pria yang sholat di shaf depan itu, begitu merdu di telinga Medina.
Medina tidak sadar sudah senyum-senyum sendiri.
‘Masya Allah. Bacaan yang indah.’
Medina kemudian menggelengkan kepalanya. Dia lalu membaca niat dan memulai sholat Dhuha dengan tenang dan khusyuk.
...........*****...........