Maya, seorang wanita muda yang cantik dan sukses dalam karier, hidup dalam hubungan yang penuh dengan kecemburuan dan rasa curiga terhadap kekasihnya, Aldo. Sifat posesif Maya menyembunyikan rahasia gelap yang siap mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aili, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Perhitungan di Ruang Pimpinan
Aldo duduk di lobi kantor sambil memainkan pena di tangannya, perasaan tidak enak menyelimuti pikirannya. Dia dipanggil mendadak oleh atasan ke ruangannya, dan melihat Satria yang juga duduk di sudut lobi, jelas bahwa ini bukan pertemuan biasa. Satria tampak lebih tegang dari biasanya, matanya bergerak gelisah ke setiap sudut ruangan, seakan-akan mencari jalan keluar.
"Aldo, Mas Satria, silakan masuk," suara sekretaris memanggil mereka berdua.
Aldo dan Satria saling bertukar pandang sebelum bangkit berdiri. Mereka berjalan menuju pintu kantor pimpinan dengan langkah yang terasa berat. Begitu pintu terbuka, suasana dalam ruangan terasa semakin mencekam.
Pak Bambang, atasan mereka, duduk di belakang meja dengan raut wajah serius. Tangannya bertumpu pada tumpukan berkas, dan tatapan tajamnya beralih dari Aldo ke Satria saat mereka masuk.
"Duduk," katanya singkat.
Aldo dan Satria duduk berhadapan dengan Pak Bambang. Aldo mencoba menjaga wajahnya tetap tenang, sementara Satria terlihat semakin resah.
"Mas Satria, saya mau langsung ke intinya," Pak Bambang memulai, suaranya tegas dan tanpa basa-basi. "Ada laporan tentang tindakan tidak profesional yang Anda lakukan. Bukan hanya ancaman terhadap rekan kerja, tapi juga beberapa bukti lain yang menunjukkan tindakan intimidasi secara langsung."
Satria menelan ludah, tampak berusaha keras untuk mempertahankan ketenangannya. "Pak Bambang, itu semua nggak benar. Saya nggak pernah—"
"Diam!" bentak Pak Bambang, memotong pembelaan Satria. "Ini bukan saatnya untuk berdalih. Saya sudah memeriksa laporan-laporan itu, dan ada bukti cukup kuat untuk membuktikan bahwa Anda telah melanggar kode etik perusahaan. Dan bukan hanya satu atau dua kali, tapi berulang kali."
Satria terdiam, wajahnya memucat. Dia tampak berusaha mengendalikan dirinya, tapi jelas bahwa kata-kata Pak Bambang telah menghancurkan benteng kepercayaan dirinya.
Aldo hanya diam, merasa lega meski belum tahu bagaimana akhir pertemuan ini akan berdampak pada dirinya. Pak Bambang kemudian mengalihkan pandangannya ke Aldo.
"Aldo, saya tahu situasi ini pasti sangat menyulitkan bagi Anda. Kami sangat menghargai profesionalisme Anda yang tetap bekerja dengan baik meski dalam kondisi yang penuh tekanan seperti ini. Setelah mempertimbangkan semuanya, kami memutuskan untuk memindahkan Anda kembali ke kantor pusat di Jakarta."
Aldo terkejut mendengar keputusan itu. "Dipindah ke Jakarta, Pak?"
Pak Bambang mengangguk. "Benar. Kami pikir ini adalah langkah terbaik untuk memastikan Anda bisa bekerja dengan tenang dan jauh dari segala ancaman yang ada di sini. Selain itu, kami ingin memberikan apresiasi atas kinerja Anda yang selama ini cukup baik."
Aldo mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Di satu sisi, dia merasa lega karena akhirnya bisa meninggalkan teror yang terus-menerus menghantuinya. Namun di sisi lain, ada perasaan campur aduk tentang meninggalkan semua ini tanpa menyelesaikannya dengan tangan sendiri.
Satria yang sejak tadi diam tiba-tiba berbicara. "Pak Bambang, kalau saya dipecat, ini nggak adil! Saya cuma—"
"Satria, cukup!" suara Pak Bambang menggema di ruangan itu. "Anda sudah melakukan cukup banyak kerusakan. Keputusan ini sudah final. Perusahaan tidak bisa lagi menoleransi tindakan Anda yang merugikan rekan kerja dan merusak lingkungan kerja."
Satria terdiam lagi, tampak berusaha keras menahan amarahnya. Wajahnya memerah, tapi dia tidak berani berbicara lebih jauh.
Pak Bambang menatap Satria dengan dingin. "Anda diharuskan untuk menyerahkan semua dokumen dan barang-barang milik perusahaan hari ini juga. Setelah itu, Anda bisa meninggalkan kantor ini."
Satria menunduk, tampak tak berdaya. Dia tahu bahwa ini adalah akhir dari segalanya bagi dirinya di perusahaan ini. Aldo bisa merasakan kemarahan dan kekecewaan yang mendidih dalam diri Satria, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang tepat. Satria sudah terlalu jauh dalam aksinya, dan sekarang saatnya dia bertanggung jawab atas semua itu.
"Baik, Pak," jawab Satria akhirnya, suaranya hampir tak terdengar. Dia bangkit berdiri dengan berat, pandangannya kosong, seolah-olah dunia telah runtuh di sekelilingnya.
Satria berjalan keluar dari ruangan dengan langkah yang lesu, meninggalkan Aldo sendirian bersama Pak Bambang. Aldo menatap punggung Satria yang semakin menjauh, merasa ada perasaan aneh yang tertinggal dalam dirinya. Meski dia tahu Satria pantas mendapatkan ini, ada bagian kecil dalam dirinya yang merasakan simpati.
Pak Bambang kembali memusatkan perhatiannya pada Aldo. "Aldo, Anda akan mulai di Jakarta minggu depan. Kami akan mengurus semua administrasi dan kebutuhan Anda untuk proses kepindahan ini. Saya berharap Anda bisa segera menyesuaikan diri kembali di kantor lama."
Aldo mengangguk pelan. "Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin."
Pak Bambang tersenyum tipis. "Saya yakin Anda bisa melakukannya, Aldo. Anda sudah membuktikan kemampuan Anda di sini. Saya percaya Anda akan membawa hal yang sama ke Jakarta."
Aldo bangkit dari kursinya dan menjabat tangan Pak Bambang. "Terima kasih atas kepercayaan Bapak."
Setelah pertemuan itu, Aldo keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk. Dia berjalan melewati lobi, melihat Satria sedang berbicara dengan beberapa rekan kerjanya. Wajah Satria tetap muram, dan dia sepertinya sedang menjelaskan situasi yang baru saja terjadi. Aldo tidak ingin ikut campur, jadi dia hanya melangkah cepat menuju pintu keluar.
Di luar gedung, Aldo menghirup udara dalam-dalam. Rasanya seperti beban besar telah terangkat dari pundaknya. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk memulai kembali, untuk mengakhiri mimpi buruk yang selama ini menghantui setiap langkahnya.
Namun, saat Aldo berjalan menuju parkiran, pikirannya tidak bisa sepenuhnya tenang. Dia memikirkan bagaimana semua ini akan berakhir bagi Satria. Bagaimanapun, dia tahu Satria bukan orang yang mudah menyerah. Ada sesuatu dalam tatapan Satria tadi yang membuat Aldo merasa bahwa ini mungkin belum sepenuhnya selesai.
Tapi untuk saat ini, Aldo hanya ingin menikmati ketenangan yang baru saja dia dapatkan. Dia akan kembali ke Jakarta, ke lingkungan yang sudah dia kenal, dan berharap semua ancaman dari Satria akan berakhir di sini.
Saat masuk ke dalam mobilnya, Aldo merasakan ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk: _"Selamat, Aldo. Tapi ini belum berakhir."_
Aldo mendesah panjang, dia tahu pesan ini pasti dari Satria. Meski begitu, dia tidak lagi merasa takut seperti sebelumnya. Kali ini, dia siap untuk menghadapi apapun yang akan datang.
Dengan tenang, Aldo meletakkan ponselnya di kursi sebelah, menyalakan mesin mobil, dan mulai meninggalkan kantor menuju babak baru dalam hidupnya. Meski bayangan Satria mungkin masih menghantui, dia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Dan kali ini, dia tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Satria, merusak kedamaian yang telah dia raih.
Sementara itu selama seminggu kedepan Aldo akan mempersiapkan kepindahhannya ke kantor pusat, dan dia akan kembali tinggal dengan anak dan istrinya kembali.
siapa sebenarnya satria ??
siapa pendukung satria??
klo konseling dg psikolog g mempan, coba dekat diri dg Tuhan. setiap kekhawatiran muncul, mendekatlah dg sang pencipta. semoga dg begitu pikiran kalian bisa lebih tenang. terutama tuk Maya. berawal dr Maya & kini menular ke Aldo