Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Terakhir Macan Prabu
Wijaya Kusuma terbangun di malam yang gelap, sekumpulan monyet yang tadi siang berkerumun di dekatnya telah menghilang, menyiksakan sampah buah-buahan yang berserakan di tanah. Padahal setelah memakan buah-buahan itu dia ingin tidur sejenak, tapi ternyata dia malah tidur seharian hingga matahari sudah tenggelam. Wijaya menggaruk badannya yang terasa gatal karena digigit nyamuk, dia melihat sekeliling namun kehadiran monyet dengan mahkota emas berkilauan tak terlihat lagi, suasana hutan menjadi hening dengan kicauan burung malam, dan irama serangga menemani keheningan kala itu.
Dari arah semak, macan besar milik leluhurnya kembali muncul, menatap ke arah Wijaya menggosokan kepalanya ke tubuh Wijaya Kusuma. "Kamu kemana saja? Kamu takut dengan sinar matahari ya?" Tanya Wijaya Kusuma. Macan besar itu menyeret pakaian Wijaya seolah memberi tanda untuk kembali melanjutkan perjalanan.
''Akan lebih bagus jika perjalanan ini dilakukan pada siang hari, sayangnya, tanpa bantuan macan ini, aku tidak tahu harus pergi ke arah mana, petunjuk yang diberi tahu oleh Ki Dayat hanya mengikuti aliran sungai saja, tapi aku sudah jauh dari aliran sungai,'' keluh Wijaya dalam hatinya.
Setelah berjalan melewati area hutan lebat, mereka sampai di sebuah rawa-rawa, Wijaya dan macan gaibnya sejenak terdiam di tepi rawa, "apa benar ini jalan menuju Air Terjun Naga?" Tanya Wijaya. ''Macan, kita tidak bisa mencari jalan lain ya? Kenapa harus melewati rawa ini, kita juga tidak tahu kedalamannya. Aku harus berenang ya?" Semua pertanyaan Wijaya tidak mendapatkan jawaban dari si macan gaib yang memang tidak memiliki kemampuan untuk berbicara seperti Raja Monyet.
Wijaya memutuskan untuk naik ke atas tubuh si macan besar yang mulai berjalan menuju ke tengah, lama kelamaan macan gaib itu menggerakan kedua kakinya seperti berenang, menandakan kedua kakinya tidak dapat lagi berpijak di dasar rawa. Semakin ke tengah ternyata rawa itu memang dalam, dan air membasahi bagian paha Wijaya Kusuma, tiba-tiba muncul gelombang air yang aneh dari arah samping, Wijaya mulai merasakan munculnya sosok lain dan meminta macan besarnya mempercepat gerakannya.
Saat mereka sudah sampai disisi lain rawa itu, tanah mulai bergetar dan ular raksasa muncul dari dalam rawa, dimulai dari bagian kepalanya, dengan sorot mata yang menyala berwarna keemasan, dia mendesis dan menatap si macan besar dengan tatapan penuh dendam.
Wijaya ketakutan, karena sosok ular itu amat sangat besar melebihi macan prabu, namun meskipun kalah ukuran, sang macan gaib tidak terlihat takut dan malah menunjukan ekspresi menantang.
Pada detik-detik itu, terdengar lagi suara Prabu Laga Winar menggema di sekitar Wijaya, "Wijaya Kusuma, tinggalkan macanku, dia akan bertarung melawan siluman ular itu, engkau, harus segera pergi menjauh dan ikuti sungai kecil ini yang akan membawamu ke arah Air Terjun Naga, ini bukan pertarungan biasa, siluman ular itu memiliki kekuatan yang sangat besar, itu sebabnya macanku pada awalnya memilih menghindari ular itu, ternyata siluman ular itu berhasil menemukan kalian di tempat ini, cepat pergi Wijaya Kusuma!"
Wijaya Kusuma melihat sekeliling, wujud Prabu Laga Winar, yang merupakan leluhurnya tidak terlihat oleh pandangan mata. Padahal suaranya sangat jelas terdengar menggema di sekitar pinggiran rawa.
Akhirnya, Wijaya Kusuma memutuskan untuk pergi meninggalkan macan milik prabu yang sedang bertatapan dengan ular raksasa itu.
"Macan, terima kasih atas bantuanmu. Semoga kita bisa bertemu lagi," ucap Wijaya sebelum pergi meninggalkan si macan besar.
Wijaya mengikuti aliran sungai kecil sesuai arahan leluhurnya, berharap bisa segera melihat Air Terjun Naga, tempat bertapanya seorang penduduk Desa Talaga Seungit yang sakti.