Kehidupan Agnia pada awalnya dipenuhi rasa bahagia. Kasih sayang dari keluarga angkatnya begitu melimpah. Sampai akhirnya dia tahu, jika selama ini kasih sayang yang ia dapatkan hanya sebuah kepalsuan.
Kejadian tidak terduga yang menorehkan luka berhasil membuatnya bertemu dengan dua hal yang membawa perubahan dalam hidupnya.
Kehadiran Abian yang ternyata berhasil membawa arti tersendiri dalam hati Agnia, hingga sosok Kaivan yang memiliki obsesi terhadapnya.
Ini bukan hanya tentang Agnia, tapi juga dua pria yang sama-sama terlibat dalam kisah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Sri.R06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terima Kasih Varo
Sudah beberapa hari sejak Agnia pulang dari kediaman Bellamy, selama itu juga Abian masih menghubunginya. Kini, Agnia memiliki nomor pria itu—nomor pribadinya.
Agnia juga sering mendengar kabar tentang keluarga Abian yang lain. Pria itu bilang, mereka sudah menanyakan kapan Agnia akan datang lagi untuk berkunjung. Sehingga Agnia yang mendengarnya merasa senang karena ada orang yang memikirkannya.
Agnia terkekeh kecil memikirkannya, dia menatap langit gelap yang ditaburi bintang. Dia menarik baju hangatnya semakin rapat saat udara dingin kian terasa menusuk kulit.
Agnia baru saja berjalan beberapa langkah untuk sampai di titik jemputan ojek online pesanannya. Namun, langkahnya harus berhenti dengan sikap waspada saat menemukan dua pria dewasa dengan tampilan berantakan menatapnya dengan seringai buas.
Agnia dengan susah payah menelan salivanya sendiri. Wanita itu menunjukkan sorot tenang, meski jantungnya berdebar kencang karena rasa takut.
“Halo cantik.”
Agnia rasanya ingin memukul wajah pria itu dengan balok kayu. Namun, jelas di sekitarnya tidak ada.
“Aku tidak ingin mengganggu kalian. Jadi, menjauhlah!” desis Agnia, nada suaranya terdengar mengancam.
Namun mendengar itu justru membuat dua pria jahat di depannya tertawa, mereka menatap Agnia dengan sorot meremehkan. Salah satu pria itu tampak menjilat bibirnya dengan tatapan mata yang—sumpah! Agnia ingin menusuknya dengan apapun yang bisa dia temukan.
“Tapi kami yang ingin diganggu olehmu, cantik. Jadi, bagaimana, kamu tertarik?”
Agnia berusaha untuk tidak memutar matanya, tangannya sudah terkepal erat di sisi tubuhnya. Agnia menyayangkan bahwa dia tidak memiliki kemampuan bela diri. Jika tidak, dia pasti akan mengirim dua orang itu ke rumah sakit sekarang.
Namun, jelas karena alasan itu, Agnia tidak bisa bertindak gegabah. Ditambah situasi sekitarnya yang sepi membuat Agnia merasa harus mencari kesempatan untuk kabur.
“Kalian mau apa?” tanya Agnia, menatap jijik dua pria itu. “Ingin uang? Aku bisa memberikannya,” katanya. Meskipun dia juga butuh uang, tapi keselamatannya lebih penting.
“Kita bicarakan itu nanti. Sekarang, yang kami butuhkan adalah kesenangan,” kata salah satu pria itu, lalu mereka tertawa bersama setelahnya.
Agnia memundurkan langkah saat dua pria itu berjalan cepat ke arahnya.
Namun, belum sempat Agnia berlari, kedua lengannya sudah dicekal membuatnya kesulitan untuk melarikan diri.
“Lepas!” Agnia memberontak, namun dua pria itu malah tertawa. Tampak begitu menikmati ketakutan Agnia.
“Baj*ng*n!” Agnia bergumam lirih. Namun, selanjutnya malah dibuat membelalak saat salah satu dari pria itu terlempar ke depan begitu saja.
Melihat kesempatan itu, Agnia menendang tulang kering pria satunya, hingga pria itu meraung kesakitan.
Agnia berjalan mundur, hingga punggungnya bertabrakan dengan dada seseorang, dia reflek berbalik hendak menjauh namun merasa begitu tenang saat melihat Varo—adalah yang telah membantunya.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Varo, dia tampak meneliti setiap inci tubuh Agnia.
Saat itu Agnia menggeleng, beruntung Varo tepat waktu.
“Woi br*ngs*k!” Salah satu pria yang ditendang oleh Varo sebelumnya bersiap memukul remaja itu. Namun seketika Varo bertindak cepat, dia menarik Agnia ke belakangnya, sebelum menahan pukulan itu, kemudian menyerang balik dengan meninju rahang pria tadi dengan keras.
Pria itu mengerang keras, saat terhuyung beberapa langkah ke belakang.
“Cari tempat persembunyian, aku akan menemuimu nanti.”
“Tapi, Varo—kamu—” Agnia jelas tidak bisa membiarkan Varo kembali terluka.
“Aku akan baik-baik saja, mereka hanya orang-orang lemah!” Varo meludah ke samping, dia menatap tajam dua pria tadi yang tampaknya sudah bersiap untuk menyerangnya.
“Cepat!” pinta Varo, sedikit mendorong Agnia untuk segera menjauh. Agnia dengan enggan melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Bersembunyi di tempat paling aman yang bisa dia jangkau.
Kemudian Agnia melihatnya, dia bisa menangkap semua yang terjadi dari jaraknya saat ini. Dia mengeluarkan ringisan kecil saat melihat Varo bisa dengan mudah menghajar pria-pria itu.
Agnia merasakan jantungnya berdebar kencang dengan rasa cemas.
Varo kemudian menendang, memukul hingga membanting orang-orang itu untuk kesekian kalinya. Dia juga sempat mendapat beberapa pukulan di perutnya, namun itu tidak separah apa yang didapatkan para orang jahat itu.
Hingga, dalam beberapa menit perkelahian itu, Agnia bisa bernapas lega, saat para orang jahat itu mulai melarikan diri.
“Kamu tidak apa-apa, kan?” Agnia bertanya saat dia menemui Varo yang sedang memperhatikan kepergian orang jahat tadi.
Varo menatap Agnia, sebelum menggeleng pelan. Dia menyentuh rahangnya yang terasa sedikit sakit meskipun tidak menimbulkan memar di sana.
“Sungguh?” Agnia tetap bertanya, dia perhatikan wajah Varo dengan seksama, untuk menemukan mungkin saja ada luka memar di sana.
Namun, hasilnya memang tidak ada. Karena itu, Agnia merasa hatinya bisa lebih tenang sekarang.
Selanjutnya, Varo dibuat begitu terkejut dengan pelukan tiba-tiba yang Agnia lakukan. Dia, yang biasanya selalu risih saat mendapatkan perlakuan semacam ini, justru merasa begitu tenang saat berada dalam dekapan wanita ini.
“Syukurlah … syukurlah, kamu tidak apa-apa.” Agnia melepas pelukannya, dan saat itu varo merasa agak tidak rela karenanya.
“Kau ini!” Varo meringis saat lengannya dipukul oleh Agnia begitu saja. “Seharusnya jangan membuatku khawatir, tahu. Kita bisa saja melarikan diri, saat mereka lengah. Kenapa malah menghajar mereka?” Agnia sudah mengomeli remaja itu, seperti seorang kakak yang khawatir melihat adiknya harus berada dalam bahaya.
“Baiklah, berhenti, oke.” Varo menaruh telapak tangannya di depan Agnia, menghentikan upaya wanita itu yang sedang memukulinya. “Aku tidak lemah, hanya mereka saja, aku juga bisa melawannya,” kata Varo.
Agnia berdecih, menatap Varo sinis. “Terakhir kali saja kamu babak belur karena berkelahi, kan?”
Namun saat itu Varo tidak terima. Jadi dia langsung menjelaskan. “Saat itu kondisiku memang sedang tidak baik, jadi tidak bisa mengalahkan mereka semua.”
“Bagaimanapun, terima kasih banyak.”
Varo mengangguk. “Anggap saja kita impas, saat itu kamu juga menolongku, aku belum sempat berterima kasih. Jadi, terima kasih—Kak,” ungkap Varo, panggilan yang Varo berikan pada Agnia itu tampaknya masih sulit untuknya.
Agnia mengulum bibirnya, menahan senyuman. “Kamu benar-benar menggemaskan!” Agnia mengacak rambut Varo meskipun dia harus sedikit berjinjit untuk melakukannya.
“Hentikan, kamu merusak rambutku.”
Kamu merusak rambutku Kak!
Agnia tersentak, seketika itu melepaskan tangannya di rambut Varo. Ingatan itu begitu asing. Dan dia tidak tahu, apakah itu kenyataan atau hanya khayalannya saja.
“Kenapa?” tanya Varo, saat dia merasakan perubahan di raut wajah Agnia.
Agnia tersadar, dia segera menggeleng dengan senyuman kecil di bibirnya. “Bukan apa-apa,” katanya.
“Ayo, aku antar pulang.”
“Aku sudah memesan ojek online.”
“Kamu yakin dia masih menunggumu?” tanya Varo, saat itu Agnia tersadar.
“Benar juga ….” Kemudian Agnia membuka ponselnya, dia baru mengetahui kalau ojek online pesanannya sudah beberapa kali menghubungi Agnia, menanyakan keberadaannya. Dan, Agnia semakin yakin jika Pengemudi ojek online itu pasti sudah pergi.
Karena itu, untuk menghilangkan rasa bersalah. Agnia meminta maaf, juga membayar uang ganti rugi untuk pengemudi ojek online itu.
“Seharusnya sudah tidak apa-apa. Kalau begitu, aku tidak akan sungkan,” kata Agnia, dan Varo hanya menggelengkan kepalanya pelan.
“Aku akan mengambil motorku dulu.” Saat itu Agnia mengangguk, dia dengan patuh menunggu Varo hingga pria itu datang dengan motornya.
.
.
.
Varo menghentikan motornya di depan gerbang kost Agnia. Setelah Agnia turun, dia kemudian memberikan helm yang diberikan Varo, kembali kepada pemiliknya.
“Pinggangku sakit.” Agnia meringis, ekspresi wajahnya membuat Varo tersenyum kecil.
“Kamu harus terbiasa, Kak. Siapa tahu di masa depan kamu akan sering menaiki motorku,” ujar Varo. Agnia menatap Varo dengan main-main, meski ada akhirnya tetap mengangguk.
“Terima kasih,” kata Agnia. Namun, sebelum dia berbalik, Varo kembali memanggil.
“Kak?”
“Iya?” Agnia menaikkan sebelah alis, menunggu.
“Nomormu?” Varo menyodorkan ponselnya pada Agnia membuat wanita itu mengangkat sebelah alis.
“Apa?” tanyanya, tidak mengerti. “Kamu ingin memberiku ponsel? Tidak perlu,” katanya, menggelengkan kepala.
Dia juga punya ponsel, tidak perlu sampai Varo harus memberinya ponsel untuk ucapan terima kasih sebelumnya, kan?
Varo berdecak, menatap malas wanita di depannya. “Nomormu. Aku ingin nomormu,” kata Varo dengan tidak sabar. Barulah setelah beberapa detik menyimak Agnia tersadar, dan langsung mengangguk sebelum mengambil ponsel itu. Barulah setelahnya mengetik nomornya di sana.
“Terima kasih. Aku akan menghubungimu, nanti,” kata Varo, dan Agnia mengangguk.
Agnia baru saja hendak berbalik, tapi Varo kembali berbicara. “Tunggu.”
“Kenapa lagi?” Agnia menatap tidak sabar, kenapa remaja ini mengatakannya harus setengah-setengah.
“Itu—” Varo menggosok tengkuknya. “Jika aku mengajakmu bertemu, apa kamu bisa?” tanya Varo, terlihat ragu saat mengatakannya.
Agnia menyipitkan matanya menatap pemuda itu, membuat Varo dilanda rasa cemas.
“Baiklah, bukan masalah.” Agnia menanggapinya dengan santai. Saat itu dia bisa melihat Varo tersenyum kecil. Agnia mulai memperhatikan, sepertinya Varo jadi sering tersenyum sekarang, berbeda dengan terakhir kali mereka bertemu.
“Oke.” Dengan itu, Varo melajukan motornya setelah membalas lambaian tangan Agnia.