NovelToon NovelToon
GITA & MAR

GITA & MAR

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Fantasi Wanita / pengasuh
Popularitas:4.2M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Gita yang gagal menikah karena dikhianati sahabat dan kekasihnya, menganggap pemecahan masalahnya adalah bunuh diri dengan melompat ke sungai.

Bukannya langsung berpindah alam, jiwa Gita malah terjebak dalam tubuh seorang asisten rumah tangga bernama Mar. Yang mana bisa dibilang masalah Mar puluhan kali lipat beratnya dibanding masalah Gita.

Dalam kebingungannya menjalani kehidupan sebagai seorang Mar, Gita yang sedang berwujud tidak menarik membuat kekacauan dengan jatuh cinta pada majikan Mar bernama Harris Gunawan; duda ganteng yang memiliki seorang anak perempuan.

Perjalanan Gita mensyukuri hidup untuk kembali merebut raga sendiri dan menyadarkan Harris soal keberadaannya.


***

Cover by Canva Premium

Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

034. Segala Kepanikan

Gita merasa kesulitan kemarin mungkin tidak akan lama. Ia dikhianati Rama dan Monic, ia menangis, putus asa, dirampok di tepi jembatan, lalu jatuh dan pingsan. Ia merasa harusnya itu semua tidak akan lama. Saat ia tertidur, lalu terjaga, semuanya akan kembali seperti semula. Baik-baik saja. Tapi telepon yang diterima Harris dini hari itu membuat Gita yang berada dalam tubuh Mar seakan ikut tersadar dengan apa yang sedang terjadi.

“Ibu?” ucapnya pelan. Tak mengindahkan tatapan heran Harris. “Saya harus lihat keadaan ibunya Gita.” Mar melompat dari kursi dan melesat meninggalkan Harris tanpa bertanya lebih lanjut.

Harris sempat menyendokkan dua suapan terakhir ke mulutnya dengan buru-buru sebelum ikut bangkit menghampiri Mar yang berlari kecil menuju pintu depan.

“Mar! Ini sudah dini hari. Kamu mau pergi pakai apa? Asisten saya dan supir kantor sudah dalam perjalanan menjemput Bu Gendis. Seorang dokter juga sudah menuju ke sana dari tadi. Kalau kamu pergi ke rumah Bu Gendis sekarang malah nggak bakal ketemu. Mar!” Harris mempercepat langkahnya menuju ruang tamu. Terlihat Mar sudah berhasil membuka pintu depan selebar-lebarnya dan berlari ke teras.

“Mar!” seru Harris lagi.

Dari kejauhan Mar menunjukkan kunci mobil Gita. Harris berhenti di ambang pintu melihat hal apa yang bisa dilakukan Mar dalam keadaan panik. Harris bersandae di ambang pintu. Sepertinya ia harus menonton selama beberapa menit untuk membuktikan perkataan Bu Gendis soal kecerobohan Gita.

Mar memasukkan kunci mobil dengan tangan gemetar. Dalam keadaan gelap bagian ujung kunci berkali-kali meleset.

“Harusnya kemarin aku nyicil mobil yang semua otomatis yang nyalainnya cuma pakai tombol. Padahal cicilannya cuma beda dikit.” Mar menggerutu dalam kegelapan mobil.

Tiga menit berkutat hanya untuk menyalakan mobil, Mar akhirnya menyeka dagu saat mesin mobil menyala. Tanpa ba-bi-bu lagi ia langsung memasukkan persneling ke mode standar dan menekan pedal gas dalam-dalam. Ternyata mobil malah mundur dengan suara ban berdecit. Mar menabrak pot bunga besar yang berisi tanaman keladi gelombang cinta yang gelombangnya hampir menyentuh tanah. Pot yang terbuat dari batu alam itu terbelah dua dan bagian belakang mobil Gita seketika melesak ke dalam.

“Aduh…aduh. Gimana ini? Semoga bisa potong gaji,” seru Mar dengan panik. Ia mengerling Harris yang sontak menutup telinga saat pot terbelah dua. Agung keluar dari pos satpam dan berlari mendekat.

“Mbak Mar! Mbak! Mar!” Agung berdiri di tengah menghalangi mobil. “Mau ke mana? Bahaya, Mbak!” Agung nekad tetap berdiri.

“Nggak bisa! Minggir! Aku mau tau keadaan ibuku.” Air mata Mar sudah jatuh ke pipinya. “Aku ngerasa nggak pernah jahatin orang. Tapi kenapa hidupku serumit ini.” Mar terisak-isak.

Padahal kemauan Gita tidak pernah muluk-muluk. Tidak terlalu banyak tingkah dan tidak pernah menuntut kehidupan berjalan sempurna untuknya. Tapi kenyataan selalu jauh berbeda baginya.

Mobil yang maju tersendat-sendat dan hampir menabrak Agung membuat satpam itu menyerah mundur. Gita dalam tubuh Mar merasa bisa mengemudi dengan lancar selama ini. Lupa kalau kaki Mar tidak sepanjang kaki Gita yang bisa leluasa menginjak pedal gas dan rem dengan cekatan. Mar berhasil memutar mobilnya di halaman Harris yang luas. Namun, tiba saat hendak keluar pagar, mobil Gita kembali menabrak pagar. Akhirnya Mar berhenti dan menangis tersedu-sedu memeluk setir.

“Ibu … aku cuma mau ketemu Ibu. Tapi aku begini. Ibu … gimana kalau Ibu kenapa-napa tapi Ibu nggak bisa ketemu aku.”

Dalam isak tangisnya, Mar mendengar pintu mobil dibuka. Lalu uluran tangan seseorang yang bagian kemejanya sudah terlipat terulur padanya.

“Ayo, Mar, keluar. Biar saya yang antar ke rumah sakit. Dokter barusan mengabari kalau tekanan darah ibu Gita sangat tinggi. Itu yang menyebabkannya pingsan. Untuk sementara kondisinya stabil. Mereka semua sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.”

Dengan mata penuh air mata Mar berusaha mencerna apa yang dikatakan Harris. Merasa bahwa ia membutuhkan pertolongan pria itu Mar keluar dari mobil dan mengikuti langkah Harris masuk ke sedan hitam mengilap.

“Lihat apa yang sudah kamu lakukan dalam waktu lima menit.” Harris mengibaskan tangan menunjuk halaman. “Pot bunga, pagar, ckckck. Kasian Gita. Ia akan bangun dari koma dengan hutang-hutang yang dibuat saudaranya. Nasib baik hutangnya tidak membengkak karena tidak menabrak mobil ini.” Harris terus berdecak dan menggeleng. Sesekali ujung matanya melirik Mar untuk melihat reaksi asisten rumah tangga itu.

Harris bergidik. Ia merasa sedikit aneh karena khawatir dengan perasaan asisten rumah tangganya. Ditambah menjelang pukul tiga pagi ia bermobil mengantarkan wanita itu. Semoga tidak ada satu pun manusia yang melihat apa yang sedang ia lakukan.

Setelah sekian lama tidak menjenguk tubuhnya sendiri, dini hari itu Mar berlari menghampiri ibunya di UGD. Untungnya Bu Gendis sudah sadar karena cepat mendapat pertolongan.

“Bagaimana?” tanya Harris pada dokter yang langsung menghampirinya di depan UGD.

“Tekanan darah cukup tinggi. Kondisi pasien sudah sadar tapi sedang dipersiapkan untuk MRI.” Dokter yang tadi ikut menjemput Bu Gendis memberi laporan pada Harris.

“Apa ada kemungkinan perdarahan kepala?” Harris memandang bagian tirai yang tertutup.

“Kalau dilihat dari kondisi kesadaran pasien sekarang sepertinya kecil kemungkinan ada perdarahan. Tapi untuk antisipasi dan rawatan lebih lanjut sepertinya MRI tetap dibutuhkan. Setelah MRI pasien akan dibawa ke ruang rawat. Kondisi keseluruhan tidak ada yang mengancam jiwa. Tapi kemungkinan pasien membutuhkan waktu istirahat cukup banyak. Mungkin salah satu pemicunya adalah stres.”

“Baik. Terima kasih, Dok,” sahut Harris.

“Pak Harris juga bisa tenang dan beristirahat. Saya lihat dari tadi Bapak belum berganti pakaian. Masih sama dengan kemarin pagi. Sekarang sudah ….” Dokter melihat jam di pergelangannya, “sekarang sudah pagi yang baru.”

“Terima kasih perhatiannya, Dok. Anda juga bisa berisitirahat kalau semuanya sudah selesai.” Harris tersenyum pada dokter perempuan yang malam itu piket di UGD.

Harris berdiri cukup lama di luar tirai. Tangannya tersilang di dada dan ia berkali-kali membalas anggukan petugas UGD yang mondar-mandir di hadapannya. Termasuk dokter wanita yang kembali masuk ke tirai untuk menemui Mar.

“Harusnya di sini ada kursi. Atau harusnya di sebelah sana ada ruangan cukup privat untuk menunggu. Jadi keluarga pasien bisa lebih nyaman.” Harris memandang UGD berkeliling. Sedang menilai bagaimana tempat itu sebaiknya.

“Anda keluarga pasien, kan?” Suara dokter terdengar bertanya dari dalam.

Harris kembali menyandarkan punggung dan menyimak percakapan dari dalam.

“Saya keluarga pasien,” jawab Mar pelan. “Kenapa ibu saya tidur lagi? Bukannya tadi udah bangun? Nggak ada masalah yang serius, kan, Dok? Saya harap pengobatan ibu saya tidak dipersulit di rumah sakit ini. Saya akan—”

“Jangan khawatirkan biaya atau proses pengobatan, Bu. Pak Harris sudah memberi instruksi untuk itu. Untuk kondisi pasien tidak ada masalah. Sebentar lagi akan dibawa untuk menjalani MRI. Ibu bisa tunggu di sini.”

Harris yang tadi menegakkan diri untuk mendengar percakapan di balik tirai, cepat-cepat kembali bersandar untuk menunjukkan posisinya yang cukup santai. Dokter yang keluar kembali mengangguk padanya. Lalu, samar-samar dari dalam Harris mendengar Mar terisak.

“Ibu … maafin aku karena sering buat Ibu khawatir. Aku mohon ibu jangan kenapa-napa. Aku cuma punya Ibu. Aku dan Rama udah putus, Bu. Kami nggak bakal nikah karena Rama nikah sama Monic. Harusnya kemarin aku jujur aja ke Ibu.” Mar terisak-isak. “Ibu … aku mau jadi Gita lagi. Tapi gimana caranya? Biasanya Ibu selalu punya jalan keluar. Aku nggak mau begini terus. Aku udah diskors kantor karena Monic. Bisa jadi aku juga dipecat karena nggak ada kabar. Aku harus segera bangun buat cari pekerjaan baru, Bu.” Suara Mar yang kecil terisak-isak dan teredam hospital bed karena ia menenggelamkan kepalanya di samping Bu Gendis yang sudah berdiri diberi obat tidur.

Di luar, wajah lelah Harris tak bisa menyembunyikan reaksinya yang semakin bingung. Teringat akan sesuatu, Harris mendekati tirai dan memanggil Mar.

“Mar! Bisa bicara sebentar?”

Di dalam Mar baru teringat kalau ia tidak sendirian ke rumah sakit itu. Tak ingin berseru dari sebelah ibunya, Mar menyeka air mata dan buru-buru keluar. “Ya, Pak?”

“Ayo, ikut saya sekarang.” Harris tahu kalau Mar pasti akan mengikutinya. Hari baru sudah datang dan sebentar lagi matahari pasti akan menyembul di ufuk timur. Harris mengabaikan kantuknya demi memperoleh kepastian lainnya. Ia membawa Mar ke ruangan ICU di mana Gita sedang tertidur di tempat yang lebih nyaman. “Mari masuk. Kamu harus lihat kalau saudara kamu sudah memiliki tempat lebih nyaman.” Harris membuka pintu didampingi oleh seorang perawat yang berlarian mengikutinya.

“Kamarnya bagus,” ucap Mar, mengusap air matanya lagi dan melangkah masuk perlahan. Matanya menyapu tiap sisi ruangan dan terhenti pada ranjang rumah sakit mewah dan seragam rumah sakit baru yang dikenakan Gita. “Ruangannya lebih bagus. Mewah. Gita juga cantik pakai seragam rumah sakit yang baru.”

“Lebih cantik lagi kalau Gita tidak perlu memakai seragam rumah sakit.” Harris menghela napas lalu memandang Perawat yang berdiri siaga di dekatnya. “Kamu bisa tunggu di luar,” pinta Harris. Perawat tersebut langsung pergi setelah mengangguk sopan.

Mar mendekati Gita dan menarik satu kursi yang berada di sisi sebelah kanan hospital bed. Sedangkan Harris langsung memutari ranjang untuk berdiri di seberang Mar.

“Kamu senang karena saya mengurus semua keperluan saudara kamu?” Harris mengamati gerak-gerik Mar. Wanita itu mengangguk.

“Makasih, Pak,” jawab Mar sendu. Tatapannya masih terpaku pada wajah Gita.

Apa yang harus aku lakukan supaya aku bisa kembali ke tubuhku? Mar … apa kamu yang di dalam? Keluar, dong, Mar …. Jaya kangen kamu.

“Mar … kalau saya pegang tangan Gita, menurut kamu di marah nggak?” Harris menanti reaksi Mar.

“Pegang tang—”

Harris meraih tangan Gita dan menggenggamnya. “Begini? Menurut kamu … Gita marah?”

Mar membulatkan mata memandang Harris. “Mmmm ….”

“Boleh?” Harris menggenggam tangan Gita dengan kedua tangannya seakan ingin menghangatkan tangan itu.

“B-boleh ….”

“Lalu ….” Harris menunduk di dekat kepala Gita.

“L-lalu?” Mar menggigit bibirnya.

“Saya mau membisikkan sesuatu pada Gita. Kamu boleh mendengarnya.”

To be continued

1
bu anto
ternyata pandai juga kau bung..eh ngak..eh ya begitulahh 😅
EndRu
saling merindukan tapi sama sama menahan. sakitnya...
Tuty Ismail
seperti kata bunga...... semuanya butuh proses......
semoga Gita dan Harris berjodoh
mkasih kak njus up nya
Wasilah
sehat² kk njuss 🥰 semoga up date nya gak terlalu lama🤭 pertemuan yg sangat di rindukan oleh cika dan Gita....
Tuty Ismail
kasian Chika..... kangen Gita sampai kebawa sakit.......🥺🥺🥺
EndRu
mbrebes Mili ..
terenyuh.
Chika yang polos Merindukan calon maminya
EndRu
Bu Helena kena sawan kelamaan kayaknya. ngawur begitu
Tuty Ismail
nenek jahat kayak gitu.....gimana cucunya mau ,q kalau punya nenek kayak gitu gak bakalan datang kerumahnya kalau nggak terpaksa
mkasih kak njus......up nya...👍👍👍
🥀 UCHRIT Ossy 🔥
akhirnya bisa bertemu untuk melepas rindu ..🥺🥺🥺🥺
Jamiatun Yusuf
aq terharu,🥺🥺🥺🥺🥺
Henny Haerani
dua orang yg saling menyayangi terpisahkan karena keadaan, miris sekali kisah cinta Gita jalannya tak pernah mudah jauh dari kata mulus. ujiannya berat banget walaupun diantara Pak Harris, Gita, dan Chika saling menyayangi dan mencintai dengan tulus. semoga kedepannya Bu Helena menyadari klw Chika jauh lebih baik ada dlm pengampuan Ayahnya.
Henny Haerani
mestinya neneknya introspeksi diri kenapa Cucu nya menjauhinya, biasanya anak kecil lebih peka tau mana yg tulus dan mana yg modus. apalagi ini sm nenek kandung dari Ibu pula, ini sih kayaknya Chika akan dimanfaatkan sm neneknya buat meraih harta kekayaan Harris dikemudian hari. keliatan banget itu si nenek sangat terobsesi.
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
keren pak Harris
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
wkwkwk kok lucu ucapan surti
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
pembantu nya keren kan
azkayramecca
terima kasih kak Njus🙏❤️
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
sungguh kalian berdua berbeda bagai langit dan bumi
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
pabalikbek, lieur dah wkwkwk
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
bingung ya pak Harris
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
kalau kangen orang yang telah tiada susah ketemu walaupun dalam mimpi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!