GITA & MAR
Kalau dibilang membosankan, Gita tidak pernah merasa bahwa hidupnya membosankan. Kariernya bagus, ia berkecukupan meski tidak terlampau kaya raya. Pergaulannya cukup luas dan bonafit meski bukan hidup di kalangan pejabat dan artis. Gita bisa dibilang sebagai wanita dinamis yang mencintai hidupnya.
Gita menggeser pintu kaca untuk beberapa ekor merpati yang mampir ke balkon. Ia berjingkat-jingkat meletakkan sepiring makanan burung yang dibelinya di online shop. Lebih dari empat ekor merpati langsung mendekati dan mematuk-matuk piring. Gita mundur dan kembali menutup balkonnya. Sengaja memberi waktu pada merpati yang belum akrab agar mau ikut makan.
“Udah makan semua, kan? Aku mau berangkat kerja. Doakan semuanya lancar, ya ….” Gita bicara pada merpati yang ia akui sebagai hak milik. Lalu menepuk pintu kaca sebelum bersenandung meninggalkan kamar dan masuk ke kamar mandi.
Unit apartemen satu kamar yang ditempati Gita mendadak menjadi lebih kecil karena musik yang diputar keras. Itu adalah ritual Gita setiap pagi. Bernyanyi keras mengikuti musik. Tapi pagi itu Gita belum sempat bersenandung saat lagu yang didengarnya mendadak berganti dengan dering ponsel. Gita berdecak dan menyambar ponselnya. “Halo? Masih pagi banget. Selesai siap-siap Aku telepon balik. Tenang aja. Aku yang bakal presentasi. Persetan sama si Braja.”
“Bukan soal presentasi, eh, maksudnya presentasi urusan kedua. Yang pertama soal Monic.”
“Monic cuti. Aku udah bilang berapa kali soal presentasi hari ini aku yang bakal gantiin Monic. Kamu cukup duduk tenang. Heran, deh …. Kenapa semua orang kantor underestimate kalau project ini dipegang Monic? Kasian dia. Monic cuti karena ibunya hari ini operasi bypass jantung.” Gita melepaskan pakaian dengan ponsel masih menempel di telinga.
“Bisa dengar dulu? Sebelumnya aku harus bilang kalau Monic memang tidak terlalu handal bicara di depan umum. Sahabat yang kamu puji-puji itu public speaking-nya memang jelek. Dan yang kedua … kamu harus segera tiba di kantor. Aku mau bawa kamu ke suatu tempat.”
“Aku enggak bisa. Bukannya aku harus presentasi? Pak Braja bakal….”
“Ini soal Rama Pramudya. Kamu kenal?”
Sepotong nama yang baru disebutkan Lily; temannya sesama manajer, membuat Gita terdiam. “Rama Pramudya? Rama tunanganku?” Diamnya Lily di seberang membuat Gita mundur dan bersandar ke dinding. Ia tak kuat jika harus mendengar kabar buruk. “Rama kenapa? Sakit? Kecelakaan? Kamu tau dari mana…apa….”
“Aku tunggu di kantor secepatnya.”
Pembicaraan terputus sebelum Gita sempat menyetujui. Yang jelas ia mandi secepat kilat. Hanya membasuh tubuh dengan air hangat dan menyikat giginya terburu-buru. Pagi itu Gita melewatkan tahapan skincare-nya yang panjang dan mengunci unit apartemen setelah menyambar tas dan terpincang-pincang memakai heels.
Namun setelah mengunci apartemennya dan pergi beberapa langkah, Gita kembali lagi untuk mengambil sesuatu yang biasa ia bawa. “Hampir aja ketinggalan.” Gita meraup beberapa sachet makanan kucing dan menjejalkannya ke tas.
Perjalanan yang biasanya tak terlalu jauh, pagi itu jarak rasanya berlipat-lipat. Pikiran Gita sudah merembet ke mana-mana. Ingatan percakapan pertemuan ia dan Rama terakhir kali pun berseliweran di pikiran.
“Buatku, kamu itu kayak rumah, Git. Tempat aku pulang dan istirahat. Aku mau kita nikah nggak Cuma modal cinta, tapi modal komitmen yang paling sempurna. Jadi … di saat cinta di antara kita udah pudar, kita masih bisa ngejalanin rumah tangga dengan komitmen dan kasih sayang.”
Entah apa yang ingin ditunjukkan Lily padanya. Gita sama sekali tidak memiliki perkiraan. Jika Rama kecelakaan, reaksi Lily terlalu tenang. “Ya Tuhan …. Aku enggak akan kuat kalau ada apa-apa dengan Rama. Aku enggak akan ketemu laki-laki sebaik dan sesempurna dia.” Air mata Gita menggenang. Lampu merah yang cukup lama membuat Gita sempat meneteskan air mata karena menatap cincin mungil yang melingkari jari manisnya.
Gita menginjak pedal gas dalam-dalam. Berharap city car mungil 1000 CC berwarna hitam itu mau melesat lebih laju dari biasanya.
Sebelum tiba di kantor, sepanjang jalan tadi Gita sudah menimbang-nimbang beberapa kemungkinan. Ia memarkirkan mobilnya seperti biasa lalu menemui Lily di ruangannya, atau meletakkan mobilnya di depan kantor dengan resiko akan bertemu Braja, direktur perusahaan yang bermulut tajam. Ternyata semua kemungkinan itu tak terjadi. Lily melambai-lambai di depan pintu masuk kantor seakan menyetop taksi.
Gita menghentikan mobil dan membuka kaca. “Kenapa jadi di sini? Tunggu aku di lobi aja. Aku parkir dulu.”
“Buka pintu!” Lily mengetuk kaca mobil yang terbuka setengah. “Aku, kan, udah bilang mau ngajak kamu ke suatu tempat. Cek pesan masuk. Aku udah ngirim lokasinya. Ikuti peta aja.” Lily masuk, memakai seat belt sambil mengatur napasnya.
Kebingungan dengan apa yang sedang terjadi membuat Gita menyetir dalam diam. Suara Lily hanya mampir di telinganya ketika memberi instruksi harus berbelok atau mengingatkan lampu lalu lintas berganti hijau. Gita membawa mobilnya masuk ke daerah yang belum pernah ia datangi.
“Ini perumahan baru. Yang tinggal di sini masih dikit banget. Satpam-nya juga lagi enggak ada. Serem,” gumam Gita.
“Perumahan baru dan murah lebih tepatnya. Lihat, dong. Satu lantai. Paling banyak punya tiga kamar. Carport-nya cuma untuk satu mobil. Kita berhenti di depan.” Lily menunjuk beberapa mobil yang parkir di tepi jalan.
Gita kembali terdiam. Ketenangan Lily malah membuatnya gelisah. Kalau ada sesuatu yang bisa menunda presentasinya di kantor, hal itu pasti sangat penting. Lily membuat presentasinya tertunda.
“Oke, dengar aku.” Lily menarik napas panjang. “Kamu tau kalau aku nggak pernah mencampuri urusan pribadi siapa pun, kan? Sedekat apa pun aku dan anak-anak kantor lainnya, aku enggak pernah mencampuri urusan orang. Termasuk urusan kamu. Jadi, apa pun yang terjadi setelah kita masuk ke rumah itu, aku enggak mau kamu bertingkah murahan dan mempermalukan diri sendiri. Aku cuma mau menunjukkan langsung karena kalau hanya sekedar omongan kamu nggak akan perc….”
“Ly! Diem! Cukup. Ayo turun.” Belum apa-apa Gita sudah merasa jantungnya diremas. Hal yang akan ditunjukkan Lily padanya pasti bukan hal biasa. Tapi … hendak ditunda seberapa lama lagi? Hari itu ia tetap harus presentasi.
Gita merasa sepasang kakinya bagai diberi bola besi. Berat. Berapa mobil yang bertamu pagi hari di rumah paling pojok terlihat tidak wajar. “Ini mobilnya Rama …. Katanya masih di luar kota.” Kata-kata yang baru diucapkan Gita tenggelam di kerongkongannya. Mobil kekasihnya memang menjadi salah satu mobil yang bertamu ke rumah pojok. Lily yang berjalan di sebelahnya sedang pura-pura tak mendengar. Ia semakin penasaran sedang apa Rama di rumah itu.
“Kayaknya kita berhenti di sini aja. Kita cukup dengar dari luar. Aku nggak yakin kamu bisa mendekat."
Lily memegangi lengan Gita di dekat jendela. Sengaja berdiri di depan Gita untuk menghalangi langkah andai temannya hendak berbuat gila. Tak lama keheningan yang berlangsung di dalam ruangan terpecahkan. Pelan tapi dengan sangat jelas suara seorang pria menyahuti perkataan seseorang.
“Saya terima nikahnya Monica Melania binti Azwar Ferdian dengan maskawin sebentuk cincin berlian satu krat dibayar tunai!”
“Sah!”
Gita sempoyongan. Satu tangannya refleks memegang bahu Lily. “Itu … itu suara Rama, kan? Rama tunanganku. Kenapa nikah sama Monic?”
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
may
Ya ampun😭
2024-11-06
0
Leha An Askan
baca ASK yg di sebelah udh mau tamat, sekarang mampir kesini dulu...
2024-09-24
1
Rahmawati
baru baca😍
2024-09-17
0