Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Keesokkan harinya ....
Damar merasa seperti ditindih. Ketika membuka mata, ia mengerutkan kening karena Quin berada di atas tubuhnya.
Ia mengecup kening gadis itu sembari mengusap pelan punggungnya. "Quin, wake up!" bisik Damar. Akan tetapi Quin tak merespon.
Tak ingin menganggu, Damar hanya membiarkan sekaligus menikmati pelukan gadis itu di atas tubuhnya.
Ia mengarahkan pandangannya ke arah jam dinding. "Sudah jam sembilan dan dia masih belum bangun?" Damar kembali memanggil Quin beberapa kali.
Saat Quin membuka mata, ia bergeming sejenak. Semakin mengeratkan pelukannya lalu berbisik, Biarkan seperti ini sebentar saja."
Damar membenamkan dagu di puncak kepala Quin. Merasa bersalah karena hampir saja khilaf.
"Maaf," ucap Quin lirih. "Lupakan tentang semalam. Aku nggak bermaksud menggodamu. Obat laknat itu menjadikan aku seperti wanita murahan."
"Aku memaklumi, Quin. Justru aku yang seharusnya meminta maaf kepadamu. Aku hampir saja menodaimu," sesal Damar dengan hela nafas. "Sebaiknya kamu mandi. Aku juga akan ke kamarku."
Quin mengangguk pelan. Perlahan merubah posisi menjadi duduk diikuti oleh Damar. Keduanya sama-sama bergeming.
Sebelum akhirnya Quin beranjak lalu menuju ke kamar mandi. Sedangkan Damar masih bergeming di tempat.
.
.
.
Kantor Damar ...
Adrian dibuat pusing karena sejak tadi, Damar tak menjawab panggilan darinya.
"Tuan, ke mana sih? Padahal, hari ini dia ada rapat penting!" gerutu Adrian.
Ia mencoba kembali menghubungi nomor Damar, berharap sang CEO menjawab panggilan darinya.
"Semoga saja, tuan menjawab panggilanku ini," ucapnya penuh harap. Dan benar saja, di deringan yang ketiga Damar menjawab panggilan darinya.
"Ya, Adrian, ada apa?"
"Tuan, Anda lagi di mana? Sudah lewat jam sembilan. Tapi, kok, Anda belum tiba di kantor," kata Adrian dengan perasaan getir.
"Adrian, aku nggak enak badan. Maaf, hari ini aku nggak ngantor," kata Damar.
Mendengar ucapan dari sang boss, Adrian mengerutkan kening seraya membatin, 'Nggak enak badan? Tapi semalam, si boss baik-baik saja. Aneh banget.'
"Tapi, Tuan, satu jam lagi Anda ada rapat penting dengan klien," jelas Adrian.
"Adrian, kamu bisa mewakili sekaligus menjelaskan jika aku sedang sakit. Alasan itu dapat mereka terima. Jangan kecewakan klien kita," timpal Damar.
"Tapi, Tuan." Adrian mendesah pelan.
"Adrian, aku percayakan semuanya padamu. Lagian, bukan kali ini saja kamu menjadi wakil jika aku nggak bisa menghadiri rapat penting," kata Damar.
"Baik, Tuan," balas Adrian sekaligus pasrah.
"Adrian, setelah selesai rapat, tolong mampir ke restoran membeli makanan," pesan Damar.
"Baik, Tuan."
.
.
.
Quin mengerutkan kening sesaat setelah berada di lantai satu. Memindai ruangan itu mencari keberadaan Damar.
"Damar, ke mana dia? Apa sudah ke kantor?" Quin lanjut ke dapur untuk membuat kopi. Selesai menyeduh minuman itu, ia membawa ke ruang santai.
Setelah duduk di sofa, ia menyandarkan kepala. Memejamkan mata, mengingat kelakuannya semalam sekaligus merasa jijik pada dirinya sendiri.
"Angga, senekad itu dia? Aku nggak bisa membayangkan jika semalam dia yang menemuiku. Menjijikkan!" ucap Quin dengan perasaan dongkol. Ia menghela nafas, kini pandangannya tertuju ke arah gelas kopi lalu termenung.
"Quin," tegur Damar. "Rupanya kamu di sini. Pantasan saja nggak ada di kamar."
"Kamu nggak ngantor?" tanya Quin begitu Damar duduk di sampingnya.
"Nggak, aku mencemaskanmu," aku Damar lalu memandangi kopi di atas meja. "Apa kopinya hanya satu? Untukku mana?"
Quin tersenyum. "Ya, tapi aku nggak yakin kamu menyukai kopi buatan sesuai seleraku."
Damar tak menjawab. Ia kemudian mengambil gelas berisi kopi tu lalu menyeruputnya. Mimik wajah pria itu langsung berubah.
"Oh, God, ini pahit banget," keluh Damar sembari mengusap bibirnya.
Quin tertawa lalu berkata, "Damar, minuman manis belum tentu nikmat bagi sebagian orang. Pun sebaliknya. Layaknya suatu hubungan, nggak selamanya akan berakhir manis juga bahagia."
Damar bergeming mendengar ucapan Quin. Menatap gadis itu dalam diam.
"Contohnya aku dan Angga, tiga tahun menjalin hubungan dalam ikatan pertunangan. Akhirnya hubungan kami berakhir miris."
Hening ...
"Damar, bisakah kita akhiri saja kontrak ini?"
"Berikan aku satu alasan," pinta Damar.
"Aku ingin menjauh, menepi sejenak dari segala kesibukan juga aktivitasku di kota ini. Aku butuh healing, sendirian. Menata hati juga pikiranku yang begitu lelah," jelas Quin.
"No without me, Quin," tolak Damar. "Kita bisa healing berdua. Sekaligus menghabiskan sisa waktu kontrak kita."
"Aku butuh sendiri. Tidak dengan kamu ataupun Al dan siapapun itu," tolak Quin.
Kembali hening ...
Tak lama berselang, Adrian dan Al menyapa keduanya.
"Tuan, maaf, saya sedikit terlambat karena sekalian menjemput Al."
"Nggak apa-apa, Rian," kata Damar. Ia beranjak dari sofa seraya mengajak sang asisten menuju meja makan.
Sepeninggal Damar dan Adrian, Al menatap Quin penuh selidik.
"Apa yang terjadi semalam? Jangan bilang kamu dan Damar ..."
Quin langsung menyentil kening Al lalu berkata, "Apa? Making love gegara obat sialan itu?!" sahut Quin lalu tertawa. "Aku rasa otakmu ini sudah ternodai dengan fantasi liar pria itu."
Al tergelak sembari geleng-geleng kepala. "Sejujurnya, aku takut banget jika itu sampai terjadi."
"Hampir saja Al. Tapi, obat tidur menyelamatkanku. Aku merasa jijik pada diriku sendiri jika mengingat kelakuanku semalam," aku Quin.
Tawa Al semakin nyaring terdengar. Ia tak bisa membayangkan seliar apa Quin jika tak meminum obat tidur.
Tak lama berselang, Damar memanggil keduanya. Dengan patuh Al dan Quin menghampiri meja makan.
"Thanks, ya, Damar, Adrian untuk hidangan makan siang ini. Di luar dugaan, ternyata kamu lihai juga dengan urusan seperti ini," puji Quin.
"Aku sudah terbiasa. Soalnya sejak kuliah aku sudah tinggal sendiri. Sudah, sebaiknya kita makan sekarang. Lagian aku sudah lapar."
...----------------...