Ia mengalami kematian konyol setelah mencaci maki sebuah novel sampah berjudul "Keajaiban Cinta Capella". Kemudian, ia menyadari bahwa dirinya menjelma menjadi Adhara, seorang tokoh sampingan dalam novel sampah itu.
Sayangnya, Adhara mengalami kematian konyol karena terlibat dalam kerusuhan.
Kerusuhan itu bermula dari Capella, si tokoh utama yang tak mau dijadikan permaisuri oleh kaisar.
Demi kelangsungan hidupnya, ia harus membuat Capella jatuh cinta dengan Kaisar Negeri Bintang. Kesulitan bertambah saat terjadi banyak perubahan alur cerita dari novel aslinya.
Mampukah ia mencegah kematiannya sebagai Adhara, pemeran pembantu dari dunia novel yang berjudul "Keajaiban Cinta Capella"?
"Mungkin ini hanya jalan agar kita bisa bertemu lagi, dan saling mencintai dengan cara yang lebih bahagia."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira Akira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DEWA DENEB 7: SELAMAT TINGGAL
Adhara hanya bisa memandang punggung Lyra dengan getir. Melihat bagaimana gaun hitam Lyra menari bersama angin yang sedih.
Penutup kepala sutra milik Lyra yang gelap membuat mereka tak tahu siapa pengantin dewa. Meskipun begitu, mereka tetap menyambutnya dengan gembira.
Lyra menaiki sebuah perahu yang dihias dengan bunga warna-warni. Kemudian, perahu itu perlahan di dorong ke tengah sungai yang diterangi oleh lentera apung. Tubuh langsing Lyra terlihat kelam karena gaun pengantin hitamnya.
Perayaan pernikahan Dewa Deneb akan dilaksanakan….
Adhara menyadari bahwa Regor dan Spica masih belum kembali. Dengan susah payah, Adhara bangkit dari lingkaran selimut. Ia ingin melihat pernikahan Dewa ini dari jarak dekat. Namun karena tubuhnya yang lemah, ia malah nyaris tersungkur ke bebatuan.
Ia mendecak kesal, dan berpikir akan merangkak saja seperti cicak ke pinggir sungai. Adhara segera mengurungkannya, karena takut dibilang larva berjalan atau cacing besar Al*ska.
Regor harusnya membantu Adhara sekarang, tetapi Regor malah menyelinap dari keramaian. Pasti pengawal itu mengincar makanan yang disediakan di perayaan. Buruknya lagi, Regor juga membawa Spica pergi.
Dasar, yang suka gratisan!
Adhara juga suka gratisan, tetapi dia masih punya muka untuk makan-makan di perayaan ini. Mungkin Adhara harus melaporkan Regor pada kaisar. Biar saja pengawal berambut panjang itu disuruh menangkap nyamuk lagi.
Saat terlarut dalam pikirannya, tiba-tiba tubuh Adhara, beserta selimutnya terangkat.
Adhara yang panik langsung mendecit seperti tikus. Adhara yang mengepalkan tangannya untuk memukul, tetapi tangan itu hanya bisa berhenti di udara. Matanya terpaku pada sepasang mata tajam yang menariknya ke dalam gelapnya malam.
Mengapa saat aku memikirkannya, orang ini langsung muncul di hadapanku?
Adhara memperhatikan di sekelilingnya, dan tidak ada satu pun yang tahu tentang kedatangan kaisar. Akan sangat merepotkan, jika seseorang melihat penguasa tertinggi Negeri Bintang ini tengah menjadi kuli larva. Lagipula sejak kapan seorang kaisar merepotkan diri sendiri hanya untuk seorang gadis.
Eh, bukankah ini kedua kalinya kaisar menggendong?
Adhara menggaruk kepalanya yang gatal. Bukan hanya persoalan menggendong. Perjalanan dari pusat kota Negeri Bintang ke desa Deneb memakan waktu yang sangat panjang. Bagaimana bisa kaisar yang selalu sibuk bisa berada di desa Deneb yang jauh ke utara?
“Kau sudah berusaha,” ucap kaisar pada Adhara, nyaris berbisik.
Mendengar ucapan lirih kaisar, tatapannya kembali pada sepasang mata segelap malam. Adhara mendengus dalam hati ketika merasa bahwa dirinya tak melakukan apapun. Mendadak mata Adhara berkaca-kaca.
Padahal aku tak mau memikirkan hal ini.
Adhara tak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Semuanya bercampur aduk.
“Hamba…..”
Tes..
Air mata Adhara mengalir dengan deras menuruni pipi bulat Adhara. Tangan pucatnya dengan kacau mencoba menutupi wajahnya. Dia tak mau menangis di pernikahan Dewa Deneb ini.
Ini hari berbahagia.
“Itu bukan salahmu,” ucap kaisar lagi.
“Yang Mulia, mengapa mereka tak bisa bersama? Mereka.. hiks.. Hamba, eh…hiks..”
Kaisar menyeka air mata Adhara dengan lembut. Dengan cepat Adhara menenggelamkan wajahnya pada dada kaisar, melampiaskan semuanya. Rasa bersalahnya, kesedihannya, dan ketakutannya.
Mendadak Adhara menangis seperti anak kecil. Bahkan, ia tak malu untuk menangis tersedu-sedu. Ia bisa merasakan tangan kaisar yang mengusap rambutnya lembut, untuk menenankannya. Namun entah mengapa, merasakan kehangatan seperti ini, Adhara menjadi bertambah cengeng.
Adhara mendengar suara bisikan di telinganya, “Kau bisa menangis sebanyak yang kau inginkan.”
Apakah kebahagiaan semua orang merupakan hal yang mustahil untuk diraih?
***
Kaisar berjalan lebih dekat ke pinggir sungai. Membawa Adhara yang sudah agak lebih tenang di pelukannya. Keduanya memperhatikan Lyra Auriga yang tengah berdiri di perahu pernikahannya.
Lyra berdiri dengan gaun hitamnya, dan membiarkan angin menerbangkan penutup kepala sutranya. Rambut hitam Lyra berkibar karena terkena tiupan angin yang lembut. Wajahnya yang pucat mendongak untuk menatap kearah langit, untuk melakukan pernikahan di bawah langit berbintang.
Sreettt…
“Ughhh…”
Rasa sakit itu kembali menyerang Adhara. Tangan Adhara mencengkeram kuat jubah Aldebaran. Sekujur tubuh Adhara dipenuhi oleh keringat. Bibirnya terasa kelu, dan dingin menjalari sekujur tubuhnya.
Aliran darah kembali tercipta di sudut bibir Adhara yang memucat. Adhara mencoba untuk menahan semuanya. Ia tak mau muntah darah ketika berada dalam pelukan kaisar.
Kaisar segera duduk dengan mudahnya ke salah satu batu besar di pinggir sungai. Membawa tubuh kecil Adhara yang gemetaran ke dalam pelukannya.
Namun lagi-lagi Adhara memuntahkan darah.
Sakit sekali. Rasanya lebih baik mati.
Tatapan kaisar menjadi nanar. Tangan hangat kaisar mengusap sudut bibir Adhara yang penuh darah. Setelah itu, ia menggelamkan gadis yang berharga untuknya itu ke dalam pelukannya.
Napas Adhara terengah-engah. Semuanya terasa sakit. Jantungnya, perutnya, dadanya, semuanya. Pandangannya kini telah memutih.
Tangan Adhara bergerak untuk meraih leher kaisar. Namun karena sakit yang tak tertahan, ia malah mencakar leher kaisar. Baru setelah berkali-kali cakaran, ia berhasil memeluk erat leher kaisar.
Napas Adhara tercekat, ia tak mampu untuk berbicara atau meminta maaf atas leher kaisar yang terluka. Tangis Adhara telah bercampur dengan kesakitannya.
Ia tahu sakit ini akan segera berlalu. Siluman ular itu hanya sedang mengembalikan jantungnya.
“S..akit,” bisik Adhara lirih.
Adhara semakin menenggelamkan wajahnya, berharap kaisar tak melihat keadaannya yang buruk. Namun tangan kaisar meraih wajahnya dengan lembut, mengusap wajahnya pelan. Jari kaisar terulur untuk mengusap air mata Adhara yang terus mengalir.
“Bertahanlah,” ucap kaisar yang pelan. Suaranya nyaris seperti permohonan.
Tak lama angin bertiup dengan lembut. Membawa seluruh rasa sakit yang Adhara miliki. Seperti sakit itu tak pernah ada sebelumnya.
Angin yang bertiup perlahan bergolak di sekitar Adhara, membisikkan sesuatu untuk Adhara.
“Terima kasih atas segalanya, manusia.”
Adhara menolehkan pandangannya pada angin yang berhembus menuju sungai. Kaisar mengikuti pandangan Adhara, meskipun kaisar sebenarnya tak mendengar bisikan dari siluman ular.
Mereka berdua memandang Lyra Auriga yang berdiri tegar di bawah bintang.
Ucapkanlah selamat tinggal yang baik.
Angin lembut perlahan mengarah kepada Lyra yang masih memandang langit berbintang. Angin lembut itu membungkus Lyra dengan pelukan, dan berubah menjadi sesosok pria dengan jubah hitamnya.
Seluruh air hitam perlahan melingkari perahu kecil, tetapi tidak menenggelamkannya. Hanya melingkupinya seperti tirai.
Lyra menatap wajah pria dengan jubah hitam di hadapannya, “Sudah beberapa tahun berlalu, tetapi kau semeskali tak berubah,” ucapnya dengan ketus.
“Benar sekali. Malah sekarang kau yang terlihat lebih tua,” balas siluman ular.
Wajah Lyra yang angkuh terangkat, “Apa itu kata-kata yang pantas untuk kau ucapkan pada pengantinmu?”
Mereka berdua terlarut dalam keheningan. Mata mereka bertatapan, seolah ingin berbicara melalui mata itu. Ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan, tetapi entah mengapa lidah mereka terasa kelu.
Bagaimana cara untuk memulai kembali pembicaraan di antara mereka?
Ia mendadak kehilangan kemampuan berkomunikasinya yang selalu ia bangga-banggakan.
Melihat wajah cantik Lyra yang melamun, siluman ular itu tersenyum tipis. Siluman ular mengulurkan tangannya ke wajah Lyra.
Jari telunjuknya mengusap dahi gadis itu lembut. Tangan pria itu terasa dingin. Lyra tanpa sadar memejamkan matanya. Mengalirkan untaian air mata yang tak bisa ditahannya lagi.
Tak lama, sebuah cahaya hijau mengenai dahi Lyra. Kemudian, permata hitam muncul di dahinya.
“Adhara Canis mengatakan, hanya pengantin Dewa Deneb yang bisa menghancurkan permata hitam ini. Apa itu benar?” tanya Lyra cepat. Ia meraih jari telunjuk siluman ular yang masih menempel di dahinya.
Tangan siluman ular itu bergerak, hanya untuk membalas genggaman Lyra. Ia membawa tangan Lyra di hadapan mereka, “Itu benar."
“Mengapa kau begitu bodoh?” ucap Lyra kasar.
“Setidaknya, aku lebih pintar dari seseorang yang selama ini berusaha menghindari sungai Deneb. Namun pada akhirnya, dia muncul sendiri setelah berdebat dengan seorang gadis kecil,” ejek siluman ular.
Mata Lyra mendelik kesal, “Dia itu lebih tua dariku!”
Siluman ular itu tersenyum, “Benarkah?”
Bugghh..
Lyra melepaskan genggaman mereka. Ia melayangkan pukulan pada pria itu, sekeras yang ia bisa. Siluman ular itu hanya bisa membiarkan Lyra melampiaskan semua emosi yang dipendam olehnya.
“Kau sekarang sudah dewasa. Keberanianmu sudah lebih besar untuk memukuliku. Dulu kau hanya berani menarik jubahku, dan mengikutiku seperti anak ayam.”
“Aku bisa memukulmu dengan tenaga yang lebih kuat.”
“Silahkan.”
Namun Lyra tidak memukuli siluman ular itu lagi. Ia hanya bisa menatap wajah siluman ular itu dengan getir.
Bibir Lyra bergetar,“Bisakah kau membawaku pergi juga?”
Siluman ular itu menepuk dahi Lyra dengan lembut. Menatap Lyra dengan pandangan jengkel yang dibuat-buat.
Gadis ini, meskipun telah beberapa waktu berlalu, dia tetaplah seseorang yang selalu mengatakan apapun yang ia rasakan.
Kejujuran semacam ini menyebalkan, sekaligus sangat ia rindukan. Dulu mereka hanya bersama selama tiga hari. Namun mengapa perasaan itu bisa tumbuh di antara mereka?
“Kenapa kau menepuk dahiku?” mata Lyra tampak berkaca-kaca.
Keangkuhan di wajahnya perlahan terberai. Wajah angkuhnya tergantikan oleh sesosok gadis yang cengeng, penampilan yang sangat Lyra benci.
Lyra sangat benci saat ia harus menangis karena itu akan membuat matanya terasa sakit.
“Wajahmu sangat jelek,” jawab siluman ular dengan lembut.
Air mata Lyra mengalir, “Ya sudah, jangan dilihat!”
Gadis ini sangat cengeng.
“Mau bagaimana lagi, aku suka melihatnya.”
Lyra menundukkan kepalanya, “Bukankah kau sangat jahat padaku?”
Suara Lyra terdengar nyaris berbisik. Gadis itu menggeleng dengan keras. Menolak untuk menerima semua hal yang akan terjadi nantinya.
Angin menerbangkan seluruh riasan kepala Lyra, rambut hitam panjangnya tergerai begitu saja. Helai-helainya menghiasai wajah cantik Lyra.
“Hancurkan permata itu,” siluman itu menyisir helaian rambut Lyra untuk merapikannya.
“Kau berani sekali memaksaku. Aku bilang aku tak mau, ya tak mau,” Lyra melambaikan tangannya ke pinggir sungai. Berharap seseorang melihatnya, dan membawa perahunya kembali ke pinggir sungai.
Namun dinding air hitam benar-benar melingkupi mereka berdua. Di dalam lingkaran air ini, hanya ada mereka berdua. Panggilannya juga tak akan bisa didengar.
“Aku hanya ingin bersama denganmu,” bisik Lyra bersama dengan suara isakan tangisnya.
“Aku tahu.”
Lyra menutupi wajahnya dengan kedua tangan saat air matanya terus mengalir, “Berjanjilah bahwa kau tak akan menghilang.”
“Aku akan menghilang.”
Tangisan pilu Lyra tak bisa dihentikan, “Berjanjilah! Aku bilang berjanjilah padaku, bodoh!”
“Tak ada yang bisa aku janjikan padamu. Aku bodoh, tetapi aku bukan pembohong.”
Siluman ular itu menangkup wajah putih Lyra. Memaksa Lyra untuk menatapnya, meskipun gadis itu sempat memberontak. Tak lama wajah penuh air mata milik Lyra terlihat. Siluman ular itu tersenyum tipis.
“Aku kemari hanya ingin melihat wajah jelekmu.”
Mata Lyra yang basah menajam, “KAU…”
Cupp..
Siluman ular itu membungkuk, dan memberikan ciuman tepat pada permata hitam yang melekat di dahi Lyra. Lyra mendadak membeku, seolah semua yang ia ingin katakan meluap pergi. Air mata Lyra sekali lagi mengalir saat gadis itu memejamkan matanya.
“Dewa Deneb, kau berani meninggalkanku…..”
Trakk…
Suara retakan itu membuat Lyra menggeleng dengan panik. Lyra tak melakukan apapun, tetapi mengapa permata itu retak. Ia meraih tangan siluman ular, namun tubuh siluman ular itu perlahan terberai layaknya bunga yang tertiup angin.
“Kau bilang kau bukan pembohong, tetapi kau berbohong padaku!”
“Maafkan aku, Lyra.”
Siluman ular itu terus melebur bersama angin dingin. Tangan Lyra masih mencoba meraih tubuh siluman ular, meskipun ia sendiri tahu bahwa ia bahkan tak bisa lagi menyentuh pria itu. Sampai akhirnya gadis itu hanya bisa tersembab di permukaan perahu.
“Dewa Deneb, aku…”
Suara lembut pria itu masih terdengar di telinga Lyra, “Wurren. Aku dipanggil Wurren. Salam kenal, Lyra. Dan….”
Lyra membungkuk di atas perahu pengantin mereka. Menangisi seseorang yang tak akan bisa kembali. Meraung keras seolah dengan itu rasa sakitnya bisa terurai.
Namun….
“Selamat tinggal, pengantinku.”
Lyra mendongakkan kepalanya. Menatap bintang-bintang yang seharusnya menjadi saksi pernikahan mereka, “Aku bahkan tak bisa mengatakan bahwa aku sangat mencintainya.”
Wurren telah menghilang bersama angin.
Lentera-lentera terhampar di atas permukaan sungai. Menyinari Lyra yang kini hanya sendirian di atas perahu pernikahannya. Perayaan masih berjalan seperti biasanya, mereka masih merayakan hari bahagia untuk Dewa Deneb.
Tak beberapa lama, hujan mengguyur deras. Membasahi desa Deneb yang saat itu dipenuhi dengan keramaian. Memadamkan sebagian lentera yang ada di sungai, membuat malam menjadi semakin kelam.
Dari kejauhan, Adhara memperhatikan Lyra yang masih dikelilingi oleh beberapa lentera. Entah bagaimana tetap hidup, meski di dera hujan.
Adhara melihat sekumpulan cahaya hijau tampak melindungi lentera itu dari guyuran hujan. Bibir pucat Adhara menarik satu senyum miris.
Dia masih berada di sana.
Siluman ular itu melakukan hal terakhir yang bisa dilakukannya.
Air sungai Deneb yang berwarna hitam, perlahan berubah menjadi normal. Penduduk Desa Deneb bersorak sambil merendamkan tangan mereka ke air sungai.
Beberapa dari mereka bahkan tak segan untuk menerjunkan diri ke sungai. Mereka mengelu-elukan Dewa Deneb dengan bahagia.
Sayangnya, yang mereka sebut itu bukanlah seorang dewa.
Siluman ular yang mendapat kembali kekuatannya dari permata hitam, menelan kembali seluruh racun yang mencemari sungai. Membawa racun itu pergi bersama tubuh ularnya yang tak akan pernah bisa menjadi manusia lagi.
Racun itu memakan pemiliknya sendiri.
Bersama dengan air sungai yang mengalir deras, bangkai seekor ular besar hanyut. Menjauh dari sungai kecil di Deneb, mengikuti arus sungai yang akan membawa bangkai itu entah kemana.
Tak ada yang melihat. Tak ada yang tahu.
Dewa Deneb telah tiada.
***
Selamat membaca :D
Tinggalkan jejak anda di kolom komentar dan sempatkan diri untuk like.
Terima kasih karena tidak jenuh dengan cerita ajaib saya.
Jika kalian sedang banyak poin, tinggalkan vote secukupnya. Agar penulisnya tambah semangat.
Juga, terima kasih buat yang mampir ke story absurd milik saya. Bahkan sempat-sempat untuk meletakkan like, komen, dan vote. Terima kasih.
Mari bertemu lagi di chapter selanjutnya. Jangan lupa absen kehadiran kalian, dan tetap semangat. Semoga pembaca saya selalu diberikan kesehatan, dan semua masalah yang membebani jadi hilang.
Adhios~
cuman kayaknya belum nyampe sini...
Aku dibuat naik turun perasaan bacanya...
nano nano banget inih
pengen jadi kompor rupanya yh nih si Capella
bisa pada heboh nanti mereka
bahkan sampai menculiknya /Smug/
orang zaman dulu mah anggepnya kutukan ya /Facepalm/
jiwa jiwa ghibahnya mulai tumbuh kembali 😆
walaupun tubuhnya saja /Facepalm/
yang mau beli /Smile//Smile//Smile/