Benci jadi cinta, atau cinta jadi benci?
Kisah mereka salah sejak awal. Sebuah pertemuan yang didasarkan ketidaksengajaan membuat Oktavia harus berurusan dengan Vano, seorang idol terkenal yang digandrungi banyak kalangan.
Pertemuan itu merubah hidupnya. Semuanya berubah dan perubahan itu membawa mereka ke dalam sebuah rasa. Cinta atau benci?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suci Aulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bioskop
Pagi harinya, Vano dan Okta sama-sama kesiangan. Jarum jam sudah menunjuk pukul 09.00 WIB dan dua orang itu baru keluar kamar dengan kondisi acak-acakan. Vano yang nggak mau ngalah dan mengakuisisi kamar mandi pagi itu, membuat Okta terpaksa harus mandi di toilet bawah.
Dengan kondisi rambut mirip tante girang belum rebonding, perempuan itu turun ke lantai bawah sambil ngomel-ngomel sepanjang jalan.
"Dasar nggak mau ngalah, apa susahnya sih tinggal mandi di bawah. Emang ya, ciri-ciri kaum jantan yang nggak mengakui adanya prinsip ladies first!!"
Omelannya berhenti saat bertemu Bi Inah di depan dapur. Perempuan paruh baya itu tersenyum menyapanya.
"Mbangkong ya Non?"
"Hah?" Okta yang minim pengetahuan tentang kosakata begitu, mendadak plonga-plongo.
"Kesiangan" Bi Inah menjelaskan, dan perempuan itu ber-O panjang sampai mulutnya membulatkan bibirnya.
"Biasalah Bi, namanya juga pengantin baru" sahutnya dengan sedikit ambigu. Bi Inah tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala, membiarkan majikannya itu mandi di toilet dekat dapur sedangkan dia beringsut pergi untuk ngepel lantai 2.
Agak siangan sedikit pasutri itu kembali bertemu di meja makan, menjalankan prosesi sarapan yang agak kesiangan. Matahari bahkan sudah ancang-ancang menuju puncak.
"Tumben cakep, mau kemana?" tanya Vano disela-sela aktifitas memotong roti. Setelah dilihat-lihat, penampilan Okta kali ini memang tidak menunjukkan sisi gelandangan seperti biasa. Ya, meskipun tampilannya tetap casual dan nggak menye-menye, tapi kali ini perempuan itu sempat mencatok rambut. Padahal biasanya sisiran pun bisa dihitung jari.
"Mau hangout dong, emangnya lo nggak punya temen!" sahut perempuan itu dengan tampang meledeknya. Vano mendengus mendengar hal itu. Dia punya banyak temen hey!. Cuma nggak bisa asal main bareng aja.
"Bagus, gini ya ternyata bini gue. Mau keluar nggak ada pamit-pamitnya sama suami" sindir Vano tanpa melihat Okta, tatapannya masih fokus melihat proses pisau bergerak maju mundur memotong sandwich di atas piring.
Okta menghentikan aksi mengunyahnya. Dia lalu menyambar gelas air minum dan meminumnya sampai setengah, "Penting banget gue harus izin sama lo?"
"Gue suami lo ya BTW, jadi apa-apa lo harus izin sama gue. Dulu pas SD diajarin pelajaran agama apa nggak sih?!" Vano bertanya takzim. Entah dulu waktu pelajaran Okta sering bolos atau memang otak perempuan itu saja yang nggak ada setengah.
"Yaudah iyaaaa" Okta akhirnya mengalah sambil mendemgus kesal, "Gue nanti siang izin hangout sama temen"
"Nggak boleh!"
Mulut Okta terbuka lebar, matanya melotot tidak percaya. Di tengah situasi seperti ini, Okta berusaha meredam niat untuk tidak melempar Vano menggunakan pisau yang sekarang sedang dia pegang.
"Dih, apa-apaan sih. Tadi suruh izin, giliran udah izin malah gak boleh!" dia merengut kesal hingga bibirnya maju beberapa senti. Ekspresi Okta yang seperti ini memang tidak pernah gagal membuat orang lain pengen ngakak ngelihatnya.
"Terserah gue dong, kan keputusannya ada sama gue" sahut Vano tidak mau kalah, masih belum puas ngerjain istrinya.
"Bodo amat, gue bakalan tetep pergi"
"Kalo gitu ATM lo gue sita"
Senjata ampuh yang bisa bikin perempuan langsung kicep. Terbukti Okta seketika diam, gantinya lengan Vano dihadiahi cubitan maut oleh perempuan itu.
"Sakit, Ta!" desis Vano sembari mengusap lengannya yang berubah warna jadi merah.
"Sukurin, salah sendiri ngeselin!" sentak Okta sembari menatap sengit kearah Vano.
"Emangnya lo mau kemana sih, penting banget sampek bela-belain dandan"
"Ya menurut lo, gila kali gue hangout tapi penampilan kumel kayak babu. Lagian cuma makeup tipis doang juga" dia cemberut lagi, masih kesal karena rencana nontonnya terancam gagal cuma gara-gara Vano.
"Yaudah lo boleh pergi", Okta sontak mengangkat wajah saat cowok itu berucap. "Tapi ada syaratnya"
"Apaan?" sahut Okta dengan cepat.
"Gak boleh pake makeup" ucap Vano tanpa beban.
Okta mengusap rambutnya frustasi karena hal itu, "Van please deh, lo yang bener aja!". Dia menatap Vano dengan tatapan memelasnya, berharap cowok itu bisa berubah pikiran.
"Lo mau gue disangka gembel?!"
"Nggak pakek makeup apa nggak usah pergi?" putus Vano final. Mukanya lempeng tanpa beban, sambil sesekali makan sandwichnya yang masih seperempat.
"Oke, fine. Gak pakek makeup" akhirnya dengan kerelaan hati dan kesabaran selebar samudra, Okta rela pergi dengan wajah spek kuli. Ya meskipun tanpa makeup pun dia udah cantik, tapi kalau kemana-mana harus polosan dia masih nggak PD.
"Pinter" puji Vano sambil tersenyum kecil, "Hapus tuh makeup sekarang!"
"Van ini cuma LIPTINT loh!!"
"Hapus sendiri apa gue yang hapusin?" Vano memberi pilihan, "Tapi ngehapusnya pake bibir gue"
"SIALAN!!"
**************
Pukul 11.00 WIB Vano baru menginjakkan kaki di SA Entertaiment dengan perasaan yang jauh lebih baik dari kemarin. Ngerjain Okta sampai dia marah-marah memang bisa membangkitkan mood Vano dengan cepat.
Wajahnya lebih sumringah dan lebih manusiawi ketimbang kemarin, hari ini dia mau menyapa beberapa staff yang berpapasan. Kemarin boro-boro, kesenggol dikit aja udah kepengen nodong golok. Tapi, wajah ramah tamah Vano kali ini sepertinya cuma dikontrak sebentar. Karena baru 15 langkah dia masuk, suara Mr. Pollux memanggilnya membuat dia mendengus.
"Van, ke ruangan saya sekarang!", laki-laki bertubuh gempal itu kemudian balik badan setelah memerintah Vano untuk ikut ke ruangan. Cowok itu mendengus lagi, sebelum akhirnya dia menyeret kaki untuk mengikuti bosnya itu.
"Surat pembatalan kontrak dari 3 brand, sudah ada 6 kontrak brand yang dibatalkan" Mr. Pollux melempar berkas-berkas kerja sama dengan brand fassion, makanan, dll ke atas meja. Vano melihat berkas itu, surat pembatalan kontrak iklan dan ambassador. Dia berdecak.
"Well, mana yang kamu bilang mau memperbaiki?!" desis Mr.Pollux dengan wajah tidak ramah.
"Saya udah coba" sahut Vano dengan serius.
"Tapi saya nggak lihat hasil dari usaha kamu!" tukas Mr.Pollux lagi.
Kali ini Vano agak emosi, dia sudah muak dengan orang ini, yang maunya cuma dapat uang tanpa memperdulikan keadaan artisnya.
"Lo kira waktu itu gue buat Pers segitunnya buat apa?!. Sampe gue bela-belain buat pengakuan goblokk. Buat apa, buat agensi lo!!" sentak Vano dengan tidak hormat. Masa bodo dengan jabatan ataupun umur laki-laki itu yang lebih tinggi darinya.
"Tapi apa hasilnya?!. Kamu cuma bisa buat saya rugi. 800 juta saya keluarkan cuma untuk bayar pinalti dari tindakan bodoh kamu yang seenaknya menikah tanpa buat pertimbangan!" Mr.Pollux kembali bersungut-sungut.
"Gue ganti, berapapun kerugian lo gue ganti semuanya!!" tukas Vano sambil mendorong kursi kasar, dia, bangkit berdiri. "Kirim semua kuitansinya ke gue, gue bayar lunas. Agensi kayak gini pasti gak mampu kan bayar uang segitu. Lagian tanpa gue sama The Boys, agensi lo bukan apa-apa dan nggak akan jadi apa-apa" dia berucap dengan nada remeh, mencoret harga diri Mr.Pollux tepat di depan muka.
Setelah puas mencabik harga diri pimpinan agensi yang paling agung, Vano beranjak keluar ruangan, tidak lupa membanting pintu keras-keras sampai staff yang lewat ikut menoleh. Tepat saat dia keluar, dia melihat anggota The Boys yang ternyata sejak tadi berdiri di dekat ruangan. Mereka cuma saling melihat dan saling lihat, sebelum akhirnya Vano memutuskan keluar gedung agensi. Chiko hendak mengejar tapi tangannya ditahan oleh Lucas.
"Jangan dikejar, makin besar kepala dia entar. Nanti juga balik sendiri" ucap cowok bermata elang itu.
Maxim ikut menepuk bahu Chiko, mencoba menenangkan. "Nanti kita coba ngomong baik-baik sama dia, tapi kalo sekarang jangan dulu"
Maxim yang biasanya paling tengil pun mendadak jadi berubah kaku saat masa-masa seperti ini terjadi, untuk kedua kalinya. Empat tahun sejak keluarnya anggota mereka satu persatu, sekarang kejadian itu terulang lagi. Hampir enam tahun mereka debut, tentu dia nggak rela kalau sampai grub ini bubar cuma gara-gara masalah internal. Mereka sudah berjanji akan bertahan sampai akhir. Kalau sampai mereka runtuh, entah akan ada berapa banyak perasaan penggemar yang mereka kecewakan.
Sedangkan di mobil, Vano melajukan mobilnya tanpa arah. Tangannya mencengkram erat setir mobil dengan kaki yang menginjak pedal gas dalam-dalam. Amarahnya memuncak, rasanya sangat muak melihat wajah orang-orang di gedung itu.
"Sial, sial, sial!!" umpatnya dengan kesal.
Mobilnya melaju di jalanan yang sepi dengan pepohonan yang mengawal sepanjang jalan. Vano berhenti setelah satu jam berputar-putar tidak tentu arah. Dia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil mengusap rambutnya dengan kasar. Sial, baru kali ini dia merasa sangat kacau.
Sampai akhirnya, bunyi dering ponsel mengalihkan pikiran cowok itu. Dia mengambil ponselnya di samping kemudi, sebuah chat dari Kiara.
Kia♡
~ Vanooooooo
~Hehee, aku ganggu ngga?
~Kamu sibuk ngga?
~ Kia♡ send a picture
~ Ada film bagussss, temenin aku nonton:(. Mau ya?
Geovan
~Iya, aku jemput skrg
************
"Seger banget tuh muka, seneng ya bisa ketemu gue" ledek Okta saat melihat wajah Dave berseri-seri, padahal antrian tiket bioskop kali ini sangat panjang. Maklum lah, fim baru. Masih anget-angetnya, antusiasme masyarakat masih tinggi. Beda lagi kalau sudah jalan 1-2 bulan.
"Kalo gue bilang iya, palingan lo juga nggak bakal percaya" sahut Dave dengan tatapan penuh arti. Okta tertawa garing, menampol wajah cowok itu dengan tangan kanannya.
"Gak usah ngeliat gue kayak gitu deh, geli!" desisnya sambil bergidik. "Udah giliran lo tuh!"
Dave maju kearah petugas, sedangkan Okta menunggu di area yang sekiranya aman dari kerumunan. Jaga-jaga kalau ada yang senggol-senggolan, bagaimana pun dia tidak mau anaknya kenapa-napa.
Ada satu hal yang mencuri perhatian perempuan itu. Di sebelah sana, tepat di antrian penjual popcorn, ada pasangan yang sangat serasi. Sama-sama tinggi dengan aura yang sama-sama berkelas. Bahkan cowoknya sangat romantis. Dia melepas jaketnya lalu dipasangkan ke badan si perempuan saat pasangannya itu mengeluh kedinginan karena AC Mall memang sangat dingin saat itu
Bukan, bukan itu yang jadi permasalahan bagi Okta. Tapi baju cowok itu, sangat mirip dengan baju seorang laki-laki yang tadi pagi dia temui di meja makan. Laki-laki yang semalam minta dipeluk karena kesepian. Laki-laki yang membuat hidupnya banyak berubah.
Terlepas dari cowok itu yang menggunakan masker, Okta dapat mengenali dengan jelas bahwa itu memang dia. Baju mereka bukan mirip, tapi memang mereka adalah orang yang sama. Orang yang setiap hari berhasil membuat perasaan Okta seperti diajak bermain roller coaster. Dan perempuan itu juga perempuan yang sama, perempuan yang fotonya dia temukan di dalam lemari. Cinta pertama dan satu-satunya untuk Vano.
"Ta, kok bengong?" Dave bertanya dengan heran, tatapannya ikut menyorot kearah objek yang Okta lihat. Tapi dia tidak tau maksud dari arah tatapan perempuan itu.
"Lo ngeliatin apa sih?"
Okta sebisa mungkin mengatur ekspresi dan perasaannya. Perempuan itu tertawa hambar, kemudian menggeleng kecil. "Nggak, bukan apa-apa kok" sahutnya sambil tersenyum kecil.
"Yaudah yuk kita masuk, gue udah nggak sabar pengen liat filmnya"
Mereka masuk bersama, dengan tangan Okta yang menggandeng lengan Dave erat-erat. Meninggalkan Vano dan Kiara di belakang sana yang nampaknya masih antri membeli tiket.
...****************...
Ada yang mau bully Vano?
bener itu amp hamidun🤔
kasian tuh sana sini musti pinter nyari jln