Mariza dan Derriz menikah karena perjodohan. Selama satu tahun pernikahannya, Derriz tak pernah menganggap Mariza.
Mereka tinggal satu rumah tapi seperti orang asing. Derriz sendiri yang membuat jarak diantara mereka. Karena Derriz mencintai dan masih menunggu mantan kekasihnya kembali, Luna.
Seperti yang di katakan Derriz di awal pernikahannya. Mereka akan berpisah ketika Luna kembali. Apalagi Mariza tak bisa membuatnya jatuh cinta. Bagaimana bisa jatuh cinta jika selama ini saja Derriz selalu menjaga jarak darinya. Bukan hanya di rumah, tapi di kantor juga mereka seperti orang asing.
"Apa alasanmu ingin bercerita dariku?" tanya Derriz saat Mariza memberikan surat cerai yang sudah dia tandatangani.
"Apa aku kurang memberikan uang bulan padamu? Apa masih kurang?" Derriz tak terima Mariza ingin bercerai darinya.
"Karena masa lalumu sudah kembali, Mas! Aku pergi karena aku sudah tak ada gunanya lagi di sini!" jawab Mariza.
"TIDAK!" jawab Derriz membuat Mariza bingung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yam_zhie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku pamit, Mas! 1
"Selamat pagi, Mas," Sapa Mariza saat suaminya berjalan ke arah meja makan.
Seperti biasa Derriz tak akan pernah menjawab pertanyaannya. Mariza yang sudah terbiasa juga tak pernah banyak protes. Tangannya dengan telaten mengambil sarapan untuk sang suami. Begitupun dengan kopi yang sudah tersedia di meja. Pria berjambang tipis itu tak peduli dengan yang di lakukan istrinya, dia lebih fokus dengan ponsel di tangannya. Memeriksa berkas pekerjaannya.
"Silahkan di makan dulu, Mas!" Mariza menyerahkan piring di depan Derriz.
Tanpa banyak bicara, pria itu memakan makanan yang di berikan istrinya hingga habis. Tanpa banyak protes, karena satu tahun ini dia sudah terbiasa dengan masakan Mariza. Masakan yang membuatnya sudah tak pernah lagi makan di luar. Selalu rutin makan pagi dan malam di rumah. Kecuali untuk beberapa kali dia melewatkannya. Mungkin sekitar dua Minggu ini.
Mariza yang berada di depannya terlihat menatap dalam padanya. Hal itu di sadari oleh Derriz, hal yang jarang di lakukan oleh Mariza selama ini. Karena biasanya istrinya hanya akan curi-curi pandang tanpa berani menatapnya langsung. Tapi kali ini berbeda. Tatapan istrinya malah membuat dia sedikit salah tingkah bahkan tersipu malu. Bukan hanya itu dia malah merasa jantungnya berdetak tak karuan sehingga memalingkan wajahnya berkali-kali.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Derriz setelah menyeruput kopinya.
"Iya mas, sebentar aku bereskan dulu meja makannya. Agar lebih nyaman berbicara, tak akan lama kok, tidak akan membuat kamu terlambat ke kantor," Mariza dengan cepat membereskan meja makan.
Tak lama, istrinya kembali duduk di depan Derriz kemudian menyimpan map coklat di atas meja dan menyerahkannya. Tanpa banyak bertanya Derriz mengambil dan membukanya. Mariza tak menunduk kali ini, namun melihat dengan tenang setiap gerakan dari pria di depannya itu.
Tangan Derriz mengepal dan meremas kertas yang di berikan iatrinya. Tatapannya tajam ke arah Mariza seolah siap untuk me-ner-kam kemudian men-ca-bik wanita di depannya. Kenapa Derriz harus marah seperti itu? Seharusnya dia senang karena pada akhirnya Mariza pergi dari hidupnya.
"Apa alasanmu ingin bercerai dariku?"tanya Derriz menahan emosi di dalam hatinya.
"Aku tidak perlu mengatakannya padamu, Mas. Bukankah kamu sendiri sudah tahu sendiri alasannya apa?"jawab Mariza tenang sambil tersenyum menyembunyikan rasa sakit hati dan kecewa dalam hatinya.
Senyum getir dari istrinya mampu menembus jantung Derriz dan membuatnya nyeri. Entah kenapa dia juga tidak tahu dengan yang dia rasakan saat ini. Satu tahun pernikahan tanpa cinta, tanpa kehangatan. Satu atap bersama dengan status suami istri tapi terasa seperti kost-kostan. Mereka tak pernah tidur bersama kecuali terpaksa karena ada kakek Derriz berkunjung.
"Apa kamu ingin membuat kakek memarahi aku karena bercerai denganmu? Apa kamu ingin mem-bu-nuh kakekku Iza? Dasar wanita tak punya perasaan!" Emosi Derriz merasa harga dirinya di injak karena keputusan Mariza yang memilih bercerai darinya tanpa sebab.
Apakah benar karena merasa harga dirinya terinjak karena istrinya berani bercerai darinya. Ataukah karena dia belum siap berpisah dan kehilangan wanita yang sudah menemaninya bersama selama satu tahun ini?
"Aku tahu tempat dan posisiku di sini, Mas. Biar nanti aku mencari alasan perceraian kita untuk kakek, kalau kedua orang tua mas, pasti akan senang mendengarnya. Mas juga bisa mengatakan kejelekan aku, agar kakek membenciku. Bagi aku tak masalah, yang terpenting kita bercerai seperti yang kamu inginkan selama ini. Toh pernikahan ini juga tak ada artinya Mas. Hanya sebatas pernikahan di atas kertas saja,"jawab Mariza semakin tenang dengan senyum lembut namun menyimpan banyak luka di sana.
Derriz tahu jika luka Mariza di sebabkan oleh dirinya. Tapi mau bagaimana lagi, dia tak bisa mencintai istrinya. Nama Luna tak bisa dia gantikan di dalam sana. Walau Mariza sudah berusaha untuk menarik perhatiannya selama ini. Derriz akui, jika Mariza adalah istri yang baik. Dia selalu bisa mengerjakan tugas rumah dan tugas sebagai istri padahal dia juga bekerja di kantor bersamanya. Gadis itu tak pernah mengeluhkan apapun padanya. Hanya satu kewajiban yang tak bisa dia tunaikan sebagai seorang istri. Karena penolakan Derriz di awal pernikahannya.
"Kenapa kamu malah membuat keputusan sepihak seperti ini? Apa karena aku kurang memberikan uang jatah bulanan untukmu? Apa kamu mau meminta tambahan uang belanja? Tidak dengan hal seperti ini Izha! Cukup kamu katakan saja, dan akan aku berikan lebih banyak!" kesal Derriz dengan jawaban mengambang istrinya.
"Tidak, Mas. Uang belanja darimu jauh lebih dari cukup. Apalagi aku juga punya penghasilan dari hasil aku bekerja," jawab Mariza mulai gugup saat melihat Derriz marah. Mariza tak mengira jika Derriz akan semarah itu kepadanya.
"Lalu kamu bukan uang apa alasanmu ingin bercerai dariku? Bukannya kamu menikah denganku karena mendapat bayaran dari kakekku kan? Apa kamu fikir kakek akan percaya begitu saja jika aku mengatakan keburukanmu selama ini? Bahkan dia akan selalu memujimu! Kau membuatku kesal saja pagi-pagi begini! Jangan bermain-main! Atau kamu sedang merajuk agar aku mulai mencintaimu? Aku tak akan pernah mencintaimu sampai kapanpun!" Suara Derriz mulai meninggi membuat Mariza memejamkan matanya.
"Aku memang mendapatkan uang dari kakek sebelum pernikahan kita. Aku menang wanita matre, Mas ..." jawab Mariza sambil tertawa pelan.
"Sebelumnya, aku memang selalu mengharapkan sedikit perhatian dan cinta darimu selama satu tahun berharap walau hanya sedikit saja. Tapi sekarang tidak lagi, Mas! Karena semuanya sudah percuma. Aku menyerah, Mas. Biar aku yang bicara kepada Kakek nanti. Aku akan mencoba mencari tahu alasan yang tepat agar kakek tidak memarahimu," jawab Mariza.
"Sudahlah! Ini pembicaraan konyol! Aku harus segera pergi bekerja. Kau juga bukan?" Derriz lebih memilih menyudahi pembicaraan itu.
"Lalu bagaimana dengan surat ini? Apa aku yang menyerahkan kepada pengadilan agama, Mas?" tanya Mariza membuat Derriz berbalik dan mengambil berkas itu dengan kesal dan pergi dari sana.
"Mas ..." panggil Mariza lembut dengan sedikit berlari ke arah suaminya.
"Aku belum Salim," jawab Mariza mengulurkan tangannya dan mencium dengan takjim tangan suaminya itu.
Ada sesuatu yang berbeda di rasakan oleh Derriz dari ciuman di punggung tangannya dari sang istri. Entah kenapa kali ini malah ada sedikit debaran aneh di sana. Derriz buru-buru menarik tangannya.
"Apa kamu mau berangkat bersama? Kamu bisa telat kalau naik bus!" ajak Derriz.
"Terima kasih, Mas. Tidak usah repot-repot, saya sudah pesan ojek online," jawab Mariza.
"Ya sudah!" ucap Derriz ketus dan pergi dari sana.
akhir nya babang axcel turun tangan jg menyelamatkan izha
skrg otw menjemput calon ibu mertua mu ya babang axcel👍👍
muak sangat sm s derris
buat izha cepet bebas dr derris n axcel membantu smua nya biar lancar
klau udh beres dgn derris br izha d bantu axcel untuk menyelamatkan ibu nya
babang axcel gercep dong tolongin izha ya, kasian izha sendirian