Saat tragedi mengambil jiwanya, Syifa menemukan dirinya yang masuk ke dunia novel sebagai seorang antagonis yang secara obsesif mengejar protagonist pria bahkan berencana untuk menghancurkan hubungannya dengan sang kekasih.
Pada akhirnya dia akan mati terbunuh karna alur itu, oleh sebab itu untuk menghindarinya, dia selalu menghindari pria itu.
Namun bagaimana jika tiba-tiba alurnya berubah, pria itu malah memperhatikannya..
"Tidak! ini tidak ada dalam plot!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Taruhan Hari Ke-3
Hari ketiga datang dengan keheningan yang mencurigakan.
Tidak ada pesan dari Kayden sejak pagi. Tidak ada bayangan mobilnya di seberang jalan kos. Syifa berdiri sebentar di depan gerbang, pura-pura mengecek ponsel padahal matanya refleks mencari satu sosok tertentu.
Tidak ada.
“Bagus,” gumamnya. “Dia akhirnya ngerti.”
Namun entah kenapa, langkahnya terasa lebih berat saat menuju kampus.
Di kelas, suasana biasa saja sampai dosen membuka pengumuman.
“Hari ini presentasi kelompok dimajukan. Kelompok yang belum siap, silakan cari bantuan literatur tambahan.”
Syifa menegang. Kelompoknya belum sepenuhnya siap—data kemarin masih setengah mentah. Ia dan dua temannya langsung saling pandang panik.
“Perpus lama,” ujar salah satu temannya. “Referensinya lengkap di sana.”
Syifa mengangguk. “Sekarang.”
Perpustakaan lama terletak di sayap kampus yang jarang dilewati—gedung sunyi dengan rak-rak tinggi dan lampu kekuningan. Saat Syifa masuk, bau buku tua menyambutnya.
Dan di sanalah Kayden.
Duduk di meja pojok, laptop terbuka, tumpukan buku referensi di sampingnya.
Syifa berhenti mendadak. “Kamu ngapain di sini?”
Kayden menoleh, tampak sedikit terkejut. “Aku lagi nyari jurnal.”
“Untuk?”
“Topik yang kamu kerjakan.” Ia menutup laptop setengah. “Aku dengar dosen kamu majuin presentasi.”
Syifa mendengus. “Kamu nyimak banget hidup aku.”
“Aku cuma denger.”
Syifa ragu. “Aku nggak minta bantuan.”
“Aku tahu.” Kayden mendorong satu buku ke arahnya. “Makanya aku nggak nawarin. Aku cuma nyiapin.”
Syifa menatap buku itu. Referensi yang tepat. Sangat tepat.
Temannya berbisik, “Syifa, ini yang kita cari.”
Mereka duduk terpisah satu meja kosong. Kayden tidak mendekat, tidak mengintip layar mereka. Ia bekerja sendiri, sesekali menyelipkan kertas catatan berisi poin penting tanpa komentar.
Dua jam berlalu.
Presentasi berjalan lancar. Kelompok Syifa lolos tanpa kritik berarti. Saat mereka keluar kelas, temannya berbisik penuh semangat.
“Sekarang Kayden effort banget sama kamu ya Fa, kamu pasti senang karna cintanya udah di balas”
Syifa tidak menjawab.
Di lorong sepi, Syifa menghentikan langkah. “Kayden.”
Ia menoleh. “Iya?”
“Kamu nggak harus ngelakuin itu tau.. pendekatan macam apa ini?"
Kayden menunduk sedikit. “Aku tahu. Aku cuma mau memastikan kamu nggak kerepotan.”
“Masalahnya,” suara Syifa lebih pelan, “kamu yang aku repot tau?!.”
Kayden mengangkat pandangannya. “Aku minta maaf kalau begitu.”
“Bukan minta maaf yang aku mau.”
“Lalu apa?”
Syifa terdiam. Ia sendiri tidak tahu jawabannya.
Di depan gerbang kampus, Wenda berdiri bersama beberapa mahasiswa lain. Tatapannya bertemu dengan Syifa—singkat, tajam, penuh penilaian.
Kayden refleks berdiri sedikit lebih dekat ke Syifa. Tidak menyentuh. Hanya.. ada.
Syifa menyadarinya dan langsung menjauh, baginya ini sangat berbahaya, dia sudah di incar oleh Keyden secara terang-terangan dan sekarang Wenda juga memperhatikannya dari jauh.
Tinggal tunggu saja Hansen, pasti dia juga memiliki rencana lain.
“Besok,” kata Syifa pelan, “jangan muncul tiba-tiba.”
Kayden mengangguk. “Yasudah, hubungi aku kapanpun kamu butuh aku.”
Syifa menatap punggung Kayden yang menjauh di antara kerumunan mahasiswa.
Ada rasa lega, tapi juga sesuatu yang tidak nyaman, seperti udara sebelum hujan turun.
Ia menghela napas dan melangkah keluar gerbang kampus lebih dulu. Langkahnya dipercepat, ingin segera sampai di rumah dan mengakhiri hari yang terasa terlalu penuh.
Namun baru beberapa meter berjalan, ponselnya bergetar.
Nomor tak dikenal.
Syifa berhenti. Jarinya ragu sesaat sebelum mengangkat.
“Halo?”
"Halo.. Apa ini dengan Syifa? Aku Hansen yang kemarin bantuin kalian"
'Nah kan.. masuk juga nih cowok gila'
Meski kesal karna dugaan Syifa terjadi sangat cepat dari yang dia harapkan namun Syifa dengan tenang menjawab, "Ya.. aku masih ingat.. ada apa ya?"
"Besok kamu ada waktu? Aku mau minta tolong sesuatu"
'Huh.. kayaknya besok aku harus bawa pisau kecil buat jaga-jaga'