Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dinyatakan Meninggal
Pencarian Weko telah dilakukan selama 5 hari berturut-turut. Semua lembaga yang perairan bekerja sama untuk menemukan Weko, tetapi hasilnya nihil. Mereka tidak menemukan Weko. Jika Weko tewas, dalam beberapa hari ini mereka akan menemukan jasad yang mengapung.
Jika Weo masih hidup, kemungkinan akan terdampar di pesisir. Tetapi dari semua pesisir yang mereka telusuri, mereka tidak menemukan jasadWeko atau nelayan yang menolongnya. Sehingga di hari ketujuh hilangnya Weko, ia dinyatakan meninggal.
Inaya yang masih belum bisa menerima kabar tersebut meminta tim SAR untuk melakukan pencarian ulang, tetapi mereka menolak karena mereka telah melakukan semua yang mereka bisa. Dan juga laut yang sedang pasang membuat mereka kesulitan.
“Na, ikhlaskan. Mungkin dengan mengikhlaskan, Weko bisa tenang.” Kata Ranti yang sebelumnya dijemput oleh Ita.
“Mas Weko belum meninggal, Bu!”
“Tapi ini sudah 7 hari, Nak.”
“Aku tetap percaya Mas belum meninggal.” Ranti tidak lagi berkata-kata.
Ita yang mendengarnya dari luar kamar, perlahan masuk dan mengabarkan kalau keluarganya akan mengadakan tahlilan untuk Weko. Mereka semua sudah pasrah dengan kehilangan Weko. Entah itu meninggal atau masih hidup, mereka hanya berharap adanya keajaiban dari Allah.
Di acara tahlil yang digelar di rumah Mida, Inaya tidak menampakkan diri. Ia memilih mengurung diri di rumahnya dengan tetap mendoakan keselamatan suaminya.
“Mana istrinya? Orang tahlil untuk suaminya, dia malah tidak kelihatan!” sarkas Nenek Weko.
“Inaya sedang lemah, Bu.” Kata Mida.
“Lemah apa? Jangan bilang dia belum bisa menerima kematian suaminya karena dirinya!”
“Cukup, Bu! Inaya tidak salah.”
“Bela saja terus! Menantu yang kamu bela itu yang membunuh anakmu!”
Inaya yang ada di ruang Tengah, masih bisa mendengarkan percakapan Nenek Weko dengan ibu mertuanya. Ia hanya diam, karena menurutnya percuma untuk menjelaskan di hadapan Nenek Weko yang sudah tidak menyukainya sejak awal.
Lagipula, hanya Nenek Weko yang menyalahkannya. Keluarga yang lain tidak menyalahkan Inaya karena mereka tahu pasti, hilangnya Weko adalah musibah. Mereka justru prihatin dengan keadaan Inaya yang sedang hamil.
1 minggu lamanya Inaya meminta izin dari koperasi. Kini dirinya sudah harus kembali bekerja karena hidup tetap berlanjut. Inaya menjalani kesehariannya dengan biasa karena dalam hati ia masih mendoakan kembalinya Weko.
Beberapa orang merasa nyeri melihat sikap Inaya yang mencoba tetap tegar. Mereka bahkan sampai tidak berani membahas hilangnya Weko saat ada Inaya.
“Kamu baik-baik saja, Mbak?” tanya Amelia yang sudah mengetahui alasan Inaya izin.
“Baik, Mel. Kenapa?”
“Tidak apa-apa, Mbak.”
“Tenang saja. Aku sudah tidak lagi sedih, aku hanya berharap suamiku kembali suatu hari nanti.” Kata Inaya mencoba mengulas senyumnya.
Waktu terus berjalan. Kabar hilangnya Weko sudah tidak lagi menjadi perbincangan. Sebagian menganggap Weko telah tiada dan Sebagian tidak peduli.
Keluarga Weko juga sudah mengikhlaskan Weko. Hanya Nenek Weko yang masih tidak menerima dan masih menyalahkan Inaya. Beruntung rumah mereka tidak berdekatan, sehingga Inaya tidak mendengar caci maki sang nenek.
Sementara Inaya, kini sudah bisa memasrahkan semuanya kepada Allah. “Jika Mas Weko masih hidup, tolong pertemukan kami kembali. Dan jika sudah meninggal, biarkan kami bisa bertemu kembali walau dengan jasadnya.” Begitu doa Inaya setiap hari.
“Kandungan ibu sudah masuk usia 17 minggu. Tetapi ukuran janin tidak berkembang sesuai usianya. Apakah ibu tidak makan teratur atau ibu sedang stress?” tanya dokter yang sedang memeriksa kandungan Inaya.
“Saya makan dan minum vitamin teratur, dok. Hanya sedikit stress.” Jawab Inaya.
“Apa ada keluhan?”
“Saya beberapa kali merasakan nyeri di perut, dok.”
“Nyeri yang bagaimana?”
“Nyeri seperti perut saya mengencang. Pertama kali merasakannya, saya sempat pingsan dok.”
“Berapa kali terjadi, Bu?”
“3 kali, dok.” Dokter menganggukkan kepala seraya menjelaskan.
Nyeri perut yang dialami Inaya kemungkinan adalah nyeri perut yang terjadi karena pertumbuhan Rahim dan perubahan hormonal. Dokter menyarankan Inaya untuk menjaga pola hidup sehat dan meminum vitamin secara teratur, juga memantau pergerakan janin.
Inaya pulang dengan beberapa vitamin dan obat dari dokter. Sesampainya di rumah, ia menemukan Fatah yang menunggunya di teras kedua mertuanya.
“Ada perlu apa, Mas?” tanya Inaya yang menghampiri Fatah.
“Aku turut berduka cita, Dek. Aku baru mendengarnya pagi ini.”
“Terima kasih, Mas.”
“Maaf aku baru bisa datang. Aku sekarang di tempatkan di kota sebelah.”
“Iya, Mas.”
“Kalau kamu ada apa-apa, bisa minta tolong kepadaku. Kebetulan aku akan ada di sini beberapa minggu.”
“Terima kasih, Mas. Aku baik-baik saja.” Fatha menganggukkan kepalanya.
Setelah melihat Inaya baik-baik saja, ia bisa tenang. Fatah tahu kalau kehadirannya saat ini bisa membuat orang salah paham. Ia juga tahu kalau Inaya tidak nyaman dengan kehadirannya, sehingga Fatah segera berpamitan setelah menyerahkan parcel buah yang ia bawa. Inaya menerimanya dan mengatakan agar Fatah hati-hati.
Malam harinya, Inaya mengusap perutnya sambil membaca buku yang kini menemaninya menghabiskan waktu. Malam-malamnya terasa sepi tanpa adanya Weko.
Awal-awal, Ita akan selalu menemaninya. Tetapi Ita yang sebentar lagi ujian, tidak bisa menemaninya karena harus fokus belajar.
“Anak kita sudah 17 minggu, Mas. Sudah seminggu ini, anak kita sudah mulai bergerak. Ia terkadang menendang dengan lembut. Jika kamu di sini, kamu akan senang mendengarnya, Mas.” Gumam Inaya.
Di sisi lain.
“Kenapa kami baru mendengar kabar kematian Weko?” tanya Budhe Inaya kepada Ranti.
Budhe Inaya baru tahu kabar hilangnya Weko tadi pagi saat menantunya yang bekerja di TPI tidak sengaja mendengar percakapan para pedagang.
“Weko hanya hilang, belum tentu meninggal.” Jawab Ranti.
“Orang melaut itu taruhannya nyawa! Kalau tidak pulang dan dinyatakan hilang berarti meninggal!”
“Meninggal harus ada jasadnya.”
“Meninggal kalau di laut itu paling-paling dimakan ikan!”
“Kenapa Mbak bisa bicara seperti itu!” sergah Ranti.
“Apa salah? Ini sudah sebulan dan kamu tidak ada mengatakan apapun. Apa kamu berharap menantumu itu pulang?” Ranti tidak menjawab.
“Kalau ada kabar duka, sebaiknya dikabarkan. Kamu tidak tahu kalau Neneknya Inaya menyalahkannya karena hitungan nikah waktu itu?”
“Apa maksudnya?” tanya Ranti yang ingin tahu maksud dari kakak iparnya tersebu.
“Suami Inaya dinyatakan hilang di hari yang sama dengan pernikahan mereka! Apa artinya itu?”
“Hitungan mereka hanya kosong sebelah. Tidak ada hubungannya dengan kematian!”
“Kosong sebelah itu yang terlihat. Apa kamu tidak pernah bertanya apakah itu juga pengaruh dengan kematian salah satu dari mereka?” Ranti mengepalkan tangannya.
“Jika Mbak kesini hanya untuk mengolok-olok keluargaku, sebaiknya Mbak pergi. Mbak bukanlah Tuhan yang tahu Nasib manusia!”
“Kamu ini dikasih tahu bukannya terima kasih, malah ngusir!”
Budhe Inaya pergi dari rumah Ranti dengan kesal. Beliau yang ingin Ranti kesal, justru kena batunya karena Ranti tidak termakan omongannya.