Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?” tanya Nadia.
“Tidak akan mungkin itu terjadi,” sarkas Yudha.
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya sebatas ranjang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Pengamen Cantik
Pengamen Cantik
“Pagi, sayang,” sapa Yudha sembari melabuhkan satu kecupan di puncak kepala Maura yang sudah lebih dulu berada di meja makan menikmati sarapannya.
Yudha menaruh tas di atas kursi, lalu menarik satu kursi di sebelah Maura untuknya. Yudha terbiasa duduk bersebelahan dengan Maura saat di meja makan. Alasannya sederhana, ia tak ingin jauh-jauh dari istri terkasihnya itu.
Sebagai istri yang baik, Maura langsung mengisi piring kosong suaminya dengan roti yang sudah ia beri selai. Lalu menuang jus jeruk ke dalam gelas kosong.
“Maaf, semalam aku tidak menunggumu pulang,” kata Maura membuka percakapan. Beberapa kali menghubungi ponsel Yudha tapi tak kunjung tersambung, ia lantas memilih tidur lebih dulu tanpa menunggu Yudha pulang seperti biasanya.
Malam itu sepulang dari menemui Rizal, Maura merasa lelah. Tidak hanya raga, tapi hati dan juga pikirannya. Tuntutan dari kedua mertuanya itu membuat perasaan Maura menjadi tidak karuan.
Ada perasaan lelah ketika ia terus-terusan dituntut untuk segera memberi keturunan, juga ada perasaan sakit hati yang tidak sanggup ia utarakan. Dan yang bisa ia lakukan hanya diam dan bersabar. Mencoba mencari solusi pun tidak pernah ada gunanya. Semua itu terus terang saja membuatnya merasa lelah.
Satu-satunya yang kini bisa menghibur hati dan perasaan Maura yaitu kembali menyibukkan diri dalam pekerjaan.
“Maaf juga karena kemarin aku ada rapat jadi aku sengaja menonaktifkan handphone. Aku juga lupa menghubungi kamu. Kamu tidak marah kan?” Segaris senyum terukir di bibir Yudha. Ditatapnya lembut wajah istrinya yang juga tersenyum kepadanya.
“Tidak, aku tidak marah kok. Aku mengerti seperti apa kesibukan kamu. By the way, hari ini aku boleh ketemu Rizal lagi tidak?”
“Untuk apa? Bukannya kemarin sudah bertemu?”
“Konsultasi. Kemarin ketemunya cuma sebentar. Padahal ada banyak hal yang ingin aku tanyakan, tapi kebetulan juga dia punya banyak pasien. Jadi terpaksa aku mengalah.”
“Ya sudah, boleh. Perlu aku temani?”
“Tidak perlu. Lagipula aku tidak akan lama kok. Karena setelah itu aku ada pemotretan untuk iklan parfum.”
Yudha menghela napasnya, lalu mengangguk pelan sebagai jawaban.
“Makasih ya, sayang.” Merasa senang, Maura lantas mengecup pipi Yudha dengan mesra.
Usai sarapan, keduanya lantas turun dari rumah bersamaan, tetapi dengan mobil yang berbeda. Sepanjang jalan pikiran Yudha mengelana. Berbagai pertanyaan sebenarnya muncul dalam benaknya. Salah satunya adalah perubahan sikap Maura belakangan ini.
Biasanya Maura pasti akan membahas keesokan harinya tentang mengapa ia menonaktifkan ponsel lalu tidak menghubunginya kembali. Padahal Maura sudah menghubungi asistennya.
Selelah-lelahnya Maura, dia akan tetap akan menunggu saat Yudha pulang larut. Tapi semalam Maura sudah lebih dulu tidur tanpa menunggunya pulang. Bahkan Maura tidak bertanya saat ia terbangun ketika Yudha mengecup keningnya. Maura hanya tersenyum lalu kembali tidur.
Yudha merasa ada yang aneh dengan perubahan Maura. Apakah Maura memang sesantai ini ataukah ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu sempat muncul dalam benaknya. Namun Yudha cepat menyingkirkan pikiran-pikiran buruk tentang istrinya itu. Yudha menganggap Maura sedang menghibur dirinya dari tekanan-tekanan yang hampir membuat Maura stres.
“Kenapa berhenti, Jer?”Yudha tersentak dari lamunannya saat mobil yang ditumpanginya berhenti di perempatan lampu merah.
“Lampunya merah, Pak. Jalanan lumayan macet pagi ini,” sahut Jerry.
Yudha menengok ke jendela, melihat keadaan di luar yang memang terlihat padat kendaraan. Diantara kepadatan lalu lintas itu matanya tak sengaja melihat sesosok perempuan cantik yang sedang bernyanyi di depan sebuah mobil yang kaca jendelanya diturunkan. Sosok perempuan itu seperti tidak asing di matanya.
Dahi Yudha berkerut tipis, mencoba mengingat-ingat di mana gerangan ia pernah bertemu perempuan itu. Disaat ia mendapatkan ingatannya tentang perempuan itu, tanpa disadarinya perempuan itu kini sudah berdiri di depan jendela mobilnya.
Suara nyanyian perempuan itu terdengar cukup merdu ketika Jerry menurunkan kaca jendela mobil. Suaranya yang cukup merdu itu berpadu sempurna dengan alunan musik yang berasal dari ponselnya. Yudha pun terhenyak, mengembalikan fokusnya segera pada pengamen berwajah cantik itu.
Senyuman manis perempuan itu mengembang saat nyanyiannya berakhir. Bersamaan dengan itu tangan kanannya yang sedang memegang kaleng kosong terulur ke dalam mobil, meminta belas kasih dari Yudha yang masih tertegun memandangi paras cantik pengamen jalanan itu.
Paras itu begitu sederhana, tanpa sentuhan kosmetik yang berlapis-lapis, tetapi mampu membuat mata Yudha betah menatapnya.
Namun, senyuman manis perempuan itu mendadak surut begitu ia menyadari siapa yang sedang duduk di dalam mobil. Perempuan itu, Nadia, lekas menarik kembali tangannya. Tetapi langsung ditahan oleh tangan Yudha.
“Aku belum membayarmu. Suaramu cukup merdu,” kata Yudha, meluncur begitu saja dari mulutnya.
Nadia tersenyum kaku. “Terima kasih, tapi tidak perlu. Bapak sudah menolong saya semalam. Saya sangat berhutang nyawa pada Bapak. Saya permisi dulu.” Nadia menarik tangannya dari genggaman Yudha. Lalu menyeret langkahnya cepat menjauhi mobil Yudha.
“Pengamennya cantik. Kok bisa gadis secantik itu malah mengamen di jalanan,” kata Jerry usai menaikkan kembali kaca jendela mobil. Kebetulan juga traffic light sudah berganti menjadi hijau. Ia lalu melarikan mobil itu dengan kecepatan sedang.
Yudha menghela napas seraya melonggarkan simpul dasi di lehernya. Ia merasa kebingungan dengan sikapnya barusan terhadap Nadia. Padahal ia tidak mengenal Nadia sama sekali, tapi entah mengapa ia merasa seperti ada sesuatu dalam dirinya yang memberontak, seolah tak ingin Nadia pergi.
“Hidup gadis itu pasti tidak mudah. Kasihan sekali kalau dia harus mengamen di jalanan seperti itu. Padahal dengan wajah cantiknya itu dia bisa saja menjadi model. Tapi mungkin nasibnya kurang beruntung,” kata Jerry lagi, berbicara dengan diri sendiri.
Ucapan Jerry itu didengar oleh Yudha. Yudha tahu, pengamen itu-Nadia adalah karyawan baru yang sudah ia pecat semalam. Kata-kata Bu Nana pun seketika terngiang kembali di telinganya.
“Dia baru saja mendapat musibah, Pak. Dia tidak punya tempat tinggal.”
Teringat kata-kata itu, aliran darah Yudha terasa berdesir. Ada iba yang ia rasakan namun ia pungkiri. Mana mungkin ia merasa iba dengan mudahnya pada orang yang tidak dikenalnya samasekali.
Ia juga masih ingat tadi malam perempuan itu masih berada di jalanan pada jam-jam yang seharusnya digunakan untuk beristirahat. Sambil membawa koper pula. Apakah benar perempuan itu tidak punya tempat tinggal?
Ruang di dada Yudha tiba-tiba terasa sesak mengingat perempuan muda itu yang terlantar di jalanan. Bagaimana jika ada orang jahat yang mengganggunya lagi seperti semalam?
Yudha mengembuskan napasnya panjang demi mengurai sesak di dada, yang ia sendiri bingung entah mengapa ia menjadi seperti ini. Merasa sedikit tidak nyaman ia lantas membuka tautan kancing jasnya. Lalu membuka dasi dan membuka tautan kancing teratas kemejanya. Tiba-tiba saja ia merasa gerah.
“Jer, putar balik mobilnya. Kita kembali ke perempatan lampu merah tadi,” titah Yudha mendadak.
Jerry terheran-heran, tak langsung menuruti perintah atasannya itu. “Untuk apa, Pak? Bukannya pagi ini Bapak ada briefing dengan karyawan?”
“Jadwalkan besok saja.”
“Baik, Pak.” Jerry kemudian memutar kemudi, kembali ke arah yang berlawanan menuju perempatan lampu merah di mana pengamen cantik itu sedang mengais rejeki.
Briefing dadakan gara-gara karyawan yang sembarangan masuk ke dalam kamar pribadi Yudha itu terpaksa akan dijadwalkan ulang. Entah apa yang mendadak timbul dalam pikiran Yudha sampai pria itu ingin kembali ke perempatan lampu merah.
Begitu tiba di tempat tujuan, Jerry mencari tempat yang aman dan sedikit menjauh dari perempatan untuk ia memarkirkan mobil dengan aman.
Yudha turun dari mobil, mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari sosok Nadia diantara orang-orang yang berlalu lalang, juga diantara para pedagang asongan yang menjajakan jajanannya di setiap perhentian.
Namun pandangannya tidak menemukan sosok pengamen cantik itu. Justru ia tiba-tiba dikejutkan oleh suara lembut yang familiar.
“Pak Yudha?”
-To Be Continued-
ngomong rindu tp giliran diladeni ngomong capek ngantuk, kan pengin /Hammer//Hammer//Hammer/
suami mulai ada tanda tanda dengan bawahnya....klop deh