"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
Di ruangan sunyi nan dingin berdinding batu pualam yang tak tertata rapi, Bethari Syaidra menatap Lingga dengan pandangan penuh rasa penasaran. Pasalnya, setelah sosok entitas itu menjelaskan semua yang Lingga tanyakan, ekspresi pemuda tampan itu mendadak berubah seketika. Kerutan di dahi, gemeretak gigi, serta pandangan mata yang nanar menatap kosong di hadapannya. Menyiratkan perasaan berkecamuk antara kebingungan dan rasa ketakutan yang teramat besar.
"A-aku sebentar lagi a-akan... dibunuh! T-tidak! Aku... a-aku akan... mati!" gumamnya dengan tangan yang terkatup rapat, bergetar hebat.
Syaidra menghela nafas kasar lalu merespon. "Bodoh! Apa kamu pikir jika kau datang dalam keadaan tewas, di dunia ini kamu juga bakal mati? Dasar otak udang!"
Lingga memajukan wajahnya dengan dahi yang berkerut. "Ha? Apa maksudmu, Bethari?"
Bethari Syaidra menepuk jidatnya sendiri. "Dasar... apa kamu tak mendengarkan semua ucapanku tadi, Lingga?"
Lingga mencoba menjernihkan pikirannya mencoba menelaah kembali apa yang sudah sosok Dewi cantik itu ucapkan. Beberapa detik kemudian, ekspresi wajah Lingga berubah. Matanya membelalak dan senyumnya tersungging. "Ah... rupanya begitu. Aku sudah paham, Bethari. Yah... aku tak akan mati, melainkan sebaliknya! Aku akan abadi! Gyahahah!" teriaknya dengan tawa yang penuh kebanggaan.
"Astaga... ada yah manusia yang bodohnya minta ampun seperti ini," gumam Syaidra seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hei, Lingga bodoh! Mana mungkin entitas agung dari dunia ini memberikan sebuah keabadian kepada makhluk fana sepertimu! Jangan bermimpi! Jangan berpikiran sempit."
Lingga tersentak lalu menyipitkan kedua matanya. "Hah? Jadi nggak kayak gitu ya konsepnya? Terus, gimana?"
Bethari Syaidra tersenyum lalu memegang pipi Lingga lembut. "Yah... setidaknya aku akan memberikanmu sebuah kekuatan untuk kamu bertahan di dunia ini. Setidaknya kekuatan yang masih berhubungan dengan situasi kedatanganmu, yakni sesuatu yang berhubungan dengan... kematian."
"Kematian? Apa aku akan mempunyai kekuatan mengendalikan mayat hidup? Atau bisa menghidupkan orang mati seperti Lira tadi?" tanya Lingga mulai kembali penasaran. Ia tak sabar ingin mengetahui kekuatan apa yang akan ia dapatkan.
Syaidra mencibir seraya mengangguk. "Hampir... tapi, kedua hal yang kamu sebutkan itu sudah pasti termasuk ke dalam inti kekuatan yang akan aku berikan kepadamu setelah ini..."
Lingga menghela nafas kasar, nampak sudah kehilangan kesabaran. "Please, Bethari! Jangan bertele-tele. Cepat jelaskan kepadaku!"
Bethari Syaidra menyipitkan mata sembari menutup mulut dengan telapak tangannya yang lentik. "Hoo... sudah tak sabar rupanya. Baiklah, pejamkan matamu. Aku akan memberikan sesuatu yang menarik kepadamu, Lingga. Yah, ini juga bisa disebut sebagai ucapan rasa terima kasih karena sudah menghiburku dengan kebodohanmu," tukasnya seraya menyeringai.
"Dasar, dewa gak jelas! Aku nggak bodoh, tahu! Aku cuma nggak gampang mengerti ucapanmu yang berbelit-belit kayak tadi!" sangkal Lingga kesal.
Wush!
Bethari Syaidra tak menyahuti ucapan dari Lingga. Ia memejamkan mata dan melayang lebih tinggi secara perlahan. Tubuhnya menyala dengan aura keungunan yang berpendar semakin lam semakin terang. Lingga yang melihat hal itu sontak ikut memejamkan kedua matanya dengan perasaan yang berkecamuk.
Untuk saat ini, Lingga berpikir akan mempercayainya sepenuh hati. Terlebih lagi, ia tengah terjebak di dalam dunia yang sangat berbeda dengan dunia asalnya. Ia harus mendapatkan setidaknya kekuatan untuk bertahan hidup di dunia ini seperti yang Syaidra katakan sebelumnya.
"Lingga... apapun yang terjadi, bertahanlah!" ucap Bethari Syaidra tiba-tiba. Lingga hanya merespon dengan anggukan pelan, sementara kedua matanya masih tertutup rapat.
Namun, tiba-tiba udara di sekelilingnya berubah menjadi mencekam kembali. Lingga lambat laun kembali mendengar bisikan-bisikan aneh dari berbagai jenis suara. Mulai dari gumaman, ratapan yang menyayat hati hingga teriakan melengking yang memekakkan telinga. Lingga berusaha untuk tetap fokus seperti yang diperintahkan.
"Argh!" teriak Lingga mulai merasakan rasa sakit pada gendang telinganya. Jantungnya ikut berdebar tak karuan. Nafasnya berat seolah ada tangan tak terlihat yang menyumpal hidung dan mulutnya. Keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya.
"Tahan, Lingga. Suara yang muncul di kepalamu itu adalah suara dari jiwa-jiwa yang belum terbebas dan masih terjebak di ruangan ini. Mereka adalah manusia yang mungkin tewas dibunuh oleh Kadita dan para anak buahnya selama ini. Kendalikan dirimu! Jangan sampai perasaan mereka menguasai mentalmu!"
"B-baik, Bethari! A-aku akan berusaha menahannya!" seru Lingga mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Di dalam pikiran Lingga, beberapa potongan kejadian yang tak pernah ia lihat sebelumnya, kini mulai terpampang jelas. Seolah ia mendapatkan sebuah gambaran tentang kejadian masa lalu yang pernah dialami oleh para manusia yang dipanggil sebelumnya ke dunia ini. Ia melihat dengan jelas bagaimana beberapa orang manusia disiksa sebelum akhirnya dibunuh oleh Ratu Kadita karena mereka tak berguna menurutnya.
Lingga menggeram seraya menggertakkan gigi-giginya. "Kurang ajar! Dasar ratu biadab! Aku sempat tertipu dengan wajahnya yang polos dan meneduhkan... ternyata kelakuannya lebih kejam daripada iblis!" umpatnya tak mampu menahan emosi.
Sebelum emosi Lingga kian meluap, suara-suara aneh kembali muncul dan berputar-putar di kepalanya. Namun, suara-suara itu sepertinya tak menyiratkan amarah maupun kesengsaraan. Melainkan suara penuh harapan yang terdengar cukup lembut di telinga Lingga.
"Tolong balaskan dendam kami, Lingga..."
"Lingga... hanya kau satu-satunya harapan kami agar terbebas dari belenggu ini."
"Tolong bunuh Kadita agar jiwa kami menjadi tenang..."
"Lingga, kami percaya kamu bisa melakukannya!"
Swush!
Tubuh Lingga berpendar dan memancarkan aura yang sama dengan Syaidra, namun warna ungu yang muncul dari tubuh Lingga lebih gelap dan pekat. Sementara Syaidra telah membuka matanya dan melihat perubahan energi chakra yang berasal dari tubuh Lingga. Ia sedikit terkejut saat mendapati aura yang Lingga pancarkan lebih kuat dan gelap dari yang ia punya.
"Bethari... aku sudah bisa... mengendalikan emosi mereka... a-aku berhasil... urgh!" rintih Lingga seketika terkapar tak berdaya dengan tubuh yang tiba-tiba melemah, lalu kehilangan kesadaran untuk sesaat.
"Lingga! Astaga... rupanya dia telah berusaha dengan keras," seru Bethari Syaidra dengan ekspresi prihatin namun penuh rasa bangga. Ia pun seketika tersenyum. "Dia sudah berusaha hingga energinya terkuras, dasar! Dia terlalu memaksakan diri..."
Bethari Syaidra melayang mendekati tubuh Lingga yang tak bergerak. Ia merapal sebuah mantra dan cahaya energi berwarna kehijauan muncul dari telapak tangannya. Energi chakra berhawa hangat itu perlahan menyebar di sekujur tubuh Lingga. Tak berselang lama, Lingga pun membuka mata dan bangkit.
"Urgh... kepalaku... apa yang terjadi, Bethari? A-apa aku pingsan?" tanyanya seraya memegang ujung pelipisnya.
Tiba-tiba Bethari Syaidra tersenyum lalu memegang bahu Lingga dengan kedua tangannya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kepuasan dan kebahagiaan. "Selamat, Lingga! Kamu telah mendapatkan kekuatan yang... sebenarnya aku sendiri tak paham kekuatan apa itu... yang jelas, kamu sudah berhasil mendapatkannya!"
"Ha? Gimana?" tanya Lingga dengan ekspresi kebingungan.
***