Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 17
Beberapa saat sebelumnya.
Jeda sebelum kuarter final, Kavi masih belum melihat Puja kembali. Bertanya pada Jaya, dia mungkin tak punya keberanian karena pasti diolok-olok lagi oleh asisten pribadi Arjuna itu.
Hingga ujungnya berinisiatif. Memutuskan menyusul Puja ke toilet dengan alasan ingin buang air kecil, pada teman-temannya. Yang sebenarnya dia dorong perasaan yang tiba-tiba tak tenang perkara Puja.
Sampai di tujuan, semua pintu kubikel toilet terbuka lebar, pertanda tak ada kehidupan kecuali tetesan air dari kran yang tidak tertutup sempurna. Tempat itu sudah kosong.
"Kemana dia?!" Kavi mengedar langkah dan pandangan ke semua arah dalam beberapa saat. Sampai sorot matanya tertuju ke koridor yang sepi itu.
Mana mungkin? Dia mengerut kening, berpikir. Untuk apa Puja ke sana? Apa mungkin pulang lebih dulu karena ada urusan? Tapi Jun dan Jaya tak ada mengatakan apa pun soal itu dan Puja bukan tipe yang sembrono, kecuali pada dirinya.
Namun anehnya, lorong itu seperti terus memanggil untuk dihampiri, hingga langkahnya terayun tanpa keraguan.
Dalam beberapa langkah, samar dia mendengar suara jeritan yang seakan terbawa angin.
Perasaannya mendadak tak enak.
Tanpa memikirkan yang lebih rumit, dia berlari lebih ke dalam mengikuti kata hatinya.
Ketika firasat tak pernah menipu.
Sampai di penghujung langkah, Kavi dibuat terkejut bukang kepalang. Menemukan Puja dalam keadaan diancam bahaya besar.
Bersama amarah meluap, gudang kecil itu menjadi saksi kebrutalannya demi menyelamatkan seorang wanita yang berada di garis antara benci dan cinta dalam hatinya--Puja Anugerah.
******
Saat ini.
Semua pandangan serentak mengarah ke satu titik. Bukan tentang pertandingan basket yang sudah masuk babak lagi, melainkan Kavi yang terlihat berjalan cepat menuju arah parkiran dengan seorang wanita dalam pangkuan.
"Kavi! ... Puja?" Gerak permainan Arjuna terhenti, pandangannya bergerak melebar mengikuti Kavi.
Pun dengan Sanjaya. "Kak Puja! Bos Kavi!”
Bos dan asisten itu segera melesat dari tempat berbeda. Jun dari lapangan, sedang Jaya dari kursi cadangan. Keduanya menyusul Kavi ke arah parkiran, yang kemudian disusul beberapa teman. Yang lain hanya menonton di tempat tanpa beranjak, namun melebar luas rasa penasaran di benak mereka.
Pertandingan tak lagi berarti karena pusat perhatian terganggu tema.
Di parkiran, Kavi menurunkan tubuh lemah Puja untuk berdiri namun tanpa melepas dekapan pinggangnya. Demikian hanya untuk memudahkan membuka pintu, lalu membantu Puja masuk ke dalam mobil itu dan mendudukannya.
"Kav! Puja kenapa?!” Arjuna berseru tanya, napas memburu karena lari. Kepalanya melongok cemas ke arah Puja yang nampak berbeda tersandar di jok sebelah kemudi.
Kavi membalik badan setelah memastikan baik posisi wanita itu. Dia lalu menatap Jun dengan serius. "Dia hampir dilecehkan dua orang bedebah."
"APA?! DI MANA?!"
"Gudang!"
Selain Arjuna, Jaya dan lainnya sama terkejut saat mendengar jawaban itu.
Seketika itu Jaya jadi menyesal karena hanya menunjukkan arah toilet pada Puja tanpa memaksa menemaninya.
"Trus di mana mereka?" Yang dimaksud Arjuna tentu para pria c4bul yang hampir melecehkan Puja.
"Gua udah hajar mereka," ungkap Kavi, lalu menoleh ke wajah Jaya. "Hubungi polisi, mereka ada di gudang penyimpanan alat kebersihan."
"Oke!" Jaya bertindak cepat untuk mengambil ponselnya yang berada di bangku istirahat, namun Kavi kembali mencegah saat Jaya hendak melangkah.
"Sekalian bawain kunci mobil kemari!"
Sanjaya mengangguk dan melanting cepat tanpa membantah.
Sepeninggal Jaya, Arjuna bertanya lagi, "Trus gimana Puja? Dia baek-baek aja, 'kan?” Pandangannya mengarah pada Puja di dalam mobil yang pintunya belum tertutup.
Kavi mengikuti arah pandang sahabatnya. Wajah Puja menyamping berlawanan arah dengan mereka. "Dia masih syok," jawabnya. Pintu yang terbuka itu kemudian ditutupnya. Orang mulai berdatangan dan menonton.
Arjuna cemas, ingin sekali mendekap dan memberi tenang untuk wanita itu, tapi perannya di sini belum sedominan itu. Ada Kavi yang lebih berhak.
Saat yang sama, Jaya datang terengah-engah.
"Hendar sama Erik ke gudang, takut mereka keburu kabur. Gua udah hubungi polisi. Trus ini kuncinya."
Kavi menerima sigap kunci itu dalam kepalan tangan.
"Thanks," ucapnya, lalu beralih pada Jun, dia menatap sahabatnya itu dengan raut sedikit ragu. "Gua bawa Puja pulang duluan.”
Sebagai teman sepemahaman, Arjuna mengangguk. “Oke. Hati-hati lu bawa mobil. Kalo bisa sebelum balik bawa ke dokter dulu.”
“Oke.”
Mobil pun berlalu dalam kemudi Kavi. Arjuna hanya menatap sampai kendaraan itu menjauh lalu hilang ditelan jarak. “Harusnya lu lakuin itu dari lama, Kav.”
Di perjalanan, Puja masih diam dengan mata memerah dan pandangan kosong. Tidak mudah membaik, kejadian itu membuatnya sungguh sangat terguncang.
Berulang Kavi menolehnya dengan pandangan cemas juga prihatin. Rasa bersalah menyeruak ke dalam dada. Entah rasa bersalah karena apa, dia sendiri pun cukup bimbang menafsirkannya.
Terbawa hati, satu telapak tangannya bergerak menyentuh lengan Puja, memberikan sedikit usapan halus.
Membuat pandangan wanita itu seketika terhentak ke usapan di tangannya, lalu ke wajah Kavi.
"Kamu mau kemana?"
Puja mengerut kening. "Maksud kamu mau kemana?"
"Mau ke dokter dulu? Rumah Jun, rumahku, atau ... kemana?”
Dua detik Puja mencerna, lalu berpikir dan menjawab beberapa saat setelahnya, "Rumah ibuku! Bisa kamu bawa aku ke rumah Ibu?”
Kavi sekilas menatapnya dan menjawab, "Tentu.”
Melihat wajah yang tidak seperti biasa itu, hati Puja jadi sedikit merasa hangat. "Makasih ... Kavi."
Dibalas Kavi hanya dengan anggukan.
Setelah itu selama perjalanan menuju kediaman Sedayu, pasangan itu larut dalam pikiran masing-masing. Sampai tak terasa, jalanan yang tergerus membawa mereka sampai ke halaman rumah yang dituju itu.
Kavi turun cepat untuk memapah Puja berjalan.
Ketakutan fatal membuat tubuh wanita itu menjadi lemah.
Sedayu tergopoh keluar karena mendengar deru mesin mobil di halaman, langsung menyongsong putri dan menantunya. "Puja! Kavi! Kalian datang?!”
Puja tersenyum. “Bu." Sosok itu selalu membuatnya tenang.
"Kamu kenapa, Nak?" Sedayu bertanya demikian terhubung wajah putrinya yang nampak pucat. "Kamu sakit?!"
Puja tersenyum dan menggeleng. “Nggak, Bu. Aku baik-baik aja.”
Untuk wanita yang melahirkan buah hati mereka, Sedayu tahu putrinya sedang berbohong. “Tapi wajah kamu menunjukkan sebaliknya. Apa terjadi sesuatu?"
Sedikit yang membuatnya tak yakin adalah Kavi. Aneh melihat Puja datang bersama pria itu, suami yang dia tahu tak pernah menghargai putrinya sebagai istri.
Puja paham, ibunya mana bisa dengan mudah dibohongi layaknya anak kecil. Jadi harus segera memikirkan kalimat lain sebagai alasan, apalagi tatapan skeptis ibunya menyorot Kavi. “Nggak ada, Bu. Kami cuma mau berkunjung.”
"Puja sungguh rindu rumah, Ibu!" Kavi bersuara, memberikan sedikit bantuan. "Dia jenuh karena pekerjaan. Tadi dia minta aku antar ke sini. Karena bagi Puja, gak ada rumah yang lebih nyaman selain rumahnya sendiri yang masih ada Ibu di sini. Aku sendiri ... aku cuma lagi nyoba memulai menjalankan peranku sebagai suami yang mendukungnya. Untuk selama ini, atas semua sikap aku yang gak berkenan di hati Ibu ... aku minta maaf.”
Bukan hanya Sedayu, Puja sendiri pun cukup terkejut dengan kalimat akhir yang masih basah diucapkan Kavi.
"Ah, syukurlah, Nak. Ibu senang mendengarnya,” kata Sedayu bahagia. “Semoga ini awal segala kebaikan untuk rumah tangga kalian.”
Lain Sedayu lain pandangan Puja.
“Dia minta maaf sama Ibu, tapi gak pernah bilang apa pun sama aku. Jadi, Puja ... jangan pernah terpengaruh apalagi terbawa perasaan. Sikapnya itu cuma kamuflase di depan Ibu. Sadarlah, sadar!”
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..