Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kelabu yang menyelimuti rumah tangga selama lima tahun?
Khalisah meminta suaminya untuk menikah lagi dengan perempuan yang dipilih mertuanya.
Sosok ceria, lugu, dan bertingkah apa adanya adalah Hara yang merupakan teman masa kecil Abizar yang menjadi adik madu Khalisah, dapat mengkuningkan suasana serta merta hati yang mengikuti. Namun mengabu-abukan hati Khalisah yang biru.
Bagaimana dengan kombinasi ini? Apa akan menjadi masalah bila ditambahkan oranye ke dalamnya?
Instagram: @girl_rain67
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girl_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
K. 34~ Kulihat
Cahaya putih tembus ke netranya, dan muncul rasa penasaran apa itu? Sehingga ia pun membuka mata.
"Khalisah, kamu tidak apa-apa?"
Suara Edgar?
Barulah ia benar-benar bisa melihat wajah Edgar di hadapannya sejarak lima inci. Apa! Sontak kepalanya menyeruduk muka Edgar yang semaunya mendekat.
"Aww," pekik Imam segera mundur, sedangkan Khalisah menahan suaranya agar tak meringis.
Awalnya bingung, kenapa wajahnya terasa bebas dan sejuk? Reflek Khalisah memegang wajahnya dan membulatkan mata. Beralih pandang kepada Edgar. "Kamu, dimana cadarku?" teriak Khalisah menutup wajahnya menggunakan satu tangan, sedangkan tangan lainnya melempar bantal ke arah Edgar.
Bukan menurut, Imam justru tersenyum menggoda. "Kenapa? Cantik 'kok. Nggak perlu ditutupi."
"Bisakah kamu menghormatiku sedikit saja?" Mata Khalisah sudah berkaca-kaca. Selama ini wajahnya cuma diperlihatkan pada suaminya, bahkan mertuanya pun tak pernah melihatnya.
Imam kelabakan. Langsung menyerahkan cadar yang dibelikan baru olehnya lantaran cadar lama hilang entah kemana.
Khalisah langsung memakainya. "Kamu....." Menarik-hembus napas agar tak mengeluarkan umpatan yang berujung dosa.
Disisi lain Imam tersenyum karena mengetahui seberapa kesal Khalisah terhadapnya.
Setelah agak tenang, baru Khalisah membuka suara. "Apa yang terjadi dengan orang yang mencelakaiku?"
"Lengan dan kakinya patah, tapi mulutnya tidak kenapa-kenapa. Dia masih kritis, tapi kata dokter tidak sampai membuatnya mati," terang Imam menyeringai sadis.
Khalisah membuang muka. Ia mengerti tiap kata yang dipilih polisi bagian inteljen ini mengandung makna. Memilih untuk melihat kondisinya sendiri. Lengan yang dibalut, dan menyibak selimut yang memperlihatkan kakinya yang dibalut juga.
Memejamkan matanya sebentar. "Aku mau pakaianku."
Baju lengan sesiku dan celana panjang, sangat tidak menyamankan hatinya. Lebih lagi jelbab pendek sebahu yang tidak menyamarkan ukuran dadanya. Oh, rasanya Khalisah ingin menggulung diri dalam selimut saja.
"Aku--"
Perkataan Imam dipotong oleh dobrakan pintu. Hara masuk sambil menenteng dua kantong kresek, dan belakangnya ada mama Laili mendekat dengan wajah datar.
"Bagaimana kondisi, Mbak?" tanya Hara menaruh bawaannya di atas meja, dan menjurus ke sebelah brankar.
"Sehat, kurasa. Apa yang kamu bawa?" Khalisah lebih antusias atas pertanyaannya.
"Baju Mbak dan ma, kanan." Terpana gerakan Khalisah yang mencabut selang infus dan turun brankar, meraih kantong kresek dan lekas masuk kamar mandi.
"Bukannya dokter bilang kakinya nggak bisa dipakai buat jalan dulu?" ujar mama Laili, heran. Begitu pula Hara dan Imam.
Lalu Imam terkekeh. "Dia nggak tau."
Beberapa menit kemudian Khalisah keluar dengan dirinya yang biasa. "Ini baru terasa nyaman. Makanan apa yang kamu bawa Hara? Aku lapar."
Wajar. Khalisah kehilangan kesadaran dari waktu kecelakaannya sampai matahari menyapa bumi. Jadinya, Khalisah memakan bubur bawaan Hara tanpa sisa.
"Terima kasih telah bawa bubur lain, aku yakin bubur rumah sakit pasti hambar," cetus Khalisah membereskan kotak makan.
"Ayo, pulang," ajaknya.
Hara dan mama Laili mengerutkan kening.
"Enggak. Kamu masih belum sembuh total." Imam mengeluarkan suaranya.
Mengabaikannya, Khalisah bangkit dan hendak menggapai pintu. Namun gerakan pria itu lebih cepat dalam menghadangnya.
"Apa?" ketusnya.
"Satu langkah kamu keluar dari sini, aku bakal menyentuhmu," ancam Imam disertai mata melotot.
Khalisah ingin mendorong Edgar, namun seruan dari sosok tidak terduga menghentikannya.
"Dengarkan dia."
Menoleh ke belakang dan mendapati mertua yang duduk di sofa dengan wajah menghadap ke depan.
"Kamu harus sembuh total agar tidak merepotkan kami di rumah," cetus mama Laili.
Diam-diam Khalisah tersenyum. Biarlah kata-kata menyakitkan, yang penting maksud dari perkataan mertua itu. Khalisah jadi berbalik dan berbaring kembali di brankarnya.
"Tapi aku tetap mau pulang sore nanti. Aku mau pergi ke sesuatu tempat," putus Khalisah memejamkan mata.
"Dasar keras kepala," gumam mama Laili.
.
.
.
.
Sesuai keinginan Khalisah, akhirnya dirinya diizinkan keluar rumah sakit. Sempat terjadi perseteruan lantaran Khalisah ingin keluar rumah sendiri, namun berakhir dengan kekalahan Khalisah disaat mama Laili buka suara agar dirinya diantar Edgar saja.
"Kita sampai," celetuk Imam.
"شكرا كثيرا،" ucap Khalisah.
"نعم، يا زوجتي."
Spontan Khalisah melotot pada Edgar disaat kakinya baru menapak tanah. Menyempatkan diri menghela napas sebelum benar-benar memasuki komplek santriwati pesantren مدينة الهدى.
Mendapat ketukan di kaca jendela mobilnya, Imam menurunkannya.
Seorang santri dari pondok itu membungkuk agar sejajar wajah dengannya. "السلام عليكم."
"وعليكم سلام." Imam tersenyum.
"Maaf, ada keperluan apa seorang polisi di sini? Jika ingin bertamu, silahkan ke rumah pimpinan kami," ucap santri itu sopan.
"Tidak, Saya hanya mengantar seseorang yang mau bertamu."
Santri itu mengangguk. "Kalau begitu, kenapa Pak Polisi tidak bertamu juga? Kebetulan hari ada tamu, jadi sekalian saja kami menjamu Bapak. Dan, eum.... Bisakah Pak Polisi membawa mobilnya ke sana? Soalnya tamunya mau memasuki kawasan santriwati," tuturnya seraya menunjuk ke tempat mobil lainnya berada.
Alhasil Imam menjadi penasaran. Lantas ia menoleh ke belakang dan terkejut akan mobil di belakang mobilnya.
Disisi lain.
Khalisah menyalami dua pilar pesantren ini, dan menyerahkan bawaannya ke khadim. Mereka duduk di sofa.
"Bagaimana kabarmu, Khalisah?" tanya ummi Tara.
"Khalisah baik, Ummi. Ummi sama Abi sehat 'kan?" tanya Khalisah balik walau agak canggung.
"Kami baik, Khalisah. Sudah lama kamu tidak kemari, rasanya berbeda melihatmu lagi setelah berstatus istri," jawab Abi Haidar.
"Maaf, Khalisah mau ke sini. Tapi tertunda dengan beberapa hal," jelas Khalisah merasakan ketidaknyamanan. Tentu, tak mungkin baginya mengatakan dirinya dilarang keluar rumah oleh sang suami.
"Kami mengerti, dan kami pun tak menyangka akan kejadian yang menimpamu. Ummi harap kamu tabah, Khalisah," balas ummi Tara.
"Lalu, bagaimana kabar anak baik itu? Kamu meski tidak datang kemari, tapi masih memberi tau keadaannya lewat ponsel. Sekarang, aku mau mendengar pendapat langsung dari mulutmu," cerocos Abi sembari tertawa pelan.
Khalisah jadi ikut tertawa, dan ketegangannya sedikit berkurang. "Humaira yang sekarang masih sama seperti dulu, hanya penampilannya yang berubah. Tapi ke arah yang baik."
"السلام عليكم."
وعليكم سلام،" jawab mereka serempak.
Khalisah berpaling ke arah pintu. Betapa terkejutnya ia sampai berdiri, berbeda dengan ummi dan abi yang berdiri sebagai bentuk ta'zim.
Abu Hanif Ar-Rasyid melepaskan sandal dan masuk beserta beberapa orang di belakangnya.
Khalisah maju dan menyalaminya, serta hendak berjongkok berniat mencium lutut namun Abu Hanif memegang lengannya.
تبارك الله، Khalisah."
Sampai menutup mulutnya dikarenakan Abu Hanif Ar-Rasyid mengetahui namanya. "Abu, tau nama saya?"
"Iya, seseorang sering mengigau nama kamu dalam tidurnya."
Fakta yang menamparnya, terlebih sewaktu sosok yang dikenalnya sedang berbincang dengan orang lainnya.
...☠️...
...☠️...
...☠️...
Sedih 'sih, tapi Rain mau bersyukur sekaligus Berterima kasih kepada orang-orang yang mau menanti kisah Khalisah ini.
Harapan Rain karya ini makin ramai pembacanya.