RACUN

RACUN

E. 1~Aku

Helaan napas panjang terdengar, menghentikan Khalisah dari keinginannya mengambil buah.

Khalisah memberi perhatian pada mama mertuanya yang terlihat sengaja ingin menarik pandangannya.

"Kapan ya, rumah ini ada suara anak kecilnya?"

Lagi.

"Ma...." sahut Abizar yang menghentikan maksudnya menusuk apel yang sudah terpotong rapi atas piring. Dia menyipit mata pada orang tua satu-satunya di rumah tangga mereka.

"Apa? Mama cuma bergumam sendiri," balas mama Laili agak menantang.

"Mana ada gumaman sekeras itu!" Nada Abizar mulai meninggi.

"Nggak papa, Mas. Mama bicara fakta," tanggap Khalisah datar dibalik cadarnya, meski tidak ada yang mengerti betapa tidak terbiasa dirinya mendengar ucapan sama selama lima tahun pernikahan.

"Tuh, Khalisah saja sadar diri!"

"Ma!"

Lantas Khalisah menggenggam tangan terkepal sang suami hingga wajah itu menoleh padanya. "Sudah, Mas. Kita naik ke atas 'yuk, ada yang mau aku bicarakan."

Mata Khalisah menyipit sebagai tanda senyuman dibalik satir yang kerap melingkari di kepalanya.

Abizar menghela napas dan balas tersenyum. "Baik, ayo!"

Khalisah bermaksud menghentikan adu mulut orang tua dan anak, namun maksudnya justru diartikan lain oleh mertuanya.

"Kurang ajar kamu, Khalisah!" pekik mama Laili pada tangga.

Khalisah menutup mata tapi Abizar meraih pundaknya untuk menaiki tangga beriringan.

"Mas," seru Khalisah yang berada di kedua kaki Abizar yang duduk di kasur.

Abizar melingkari tangannya di pinggang istrinya dan menatap matanya penuh arti. "Tidak perlu dipikirkan. Seperti katamu kita belum rezeki saja."

"Menikah lagi saja, Mas. Aku nggak masalah." Khalisah tersenyum ketika mengucapkan ini kesekian kalinya pada suami yang dicintainya.

Jujur, aku capek mas pada cacian mamanya Mas.

Seuntai kata yang tak pernah dikeluarkan Khalisah.

"Jangan berkata begitu lagi," tegur Abizar mengeryit dahinya.

"Please, Mas." Kali ini mata Khalisah mulai berkaca-kaca dan suaranya mulai serak. Padahal Khalisah sudah sering berlatih mengucapkan kata yang sama dengan ekspresi biasa saja, tapi di depan suami ia luluh lantah.

"Kumohon...." Air mata Khalisah jatuh.

Abizar meraih Khalisah dalam pelukannya.

"Aku yakin Mas bakal jadi pemimpin yang adil."

Tidak ada jawaban, dan hanya terdengar isakan Khalisah.

"Baiklah."

Jantung Khalisah seakan dihantam palu dengan keras. Mengapa? Apa nyatanya dirinya tak benar-benar siap mendengar kesanggupan suami, dan sudah terbiasa atas penolakannya?

Isak tangis Khalisah semakin kencang.

.

.

.

.

Setiap wanita punya pernikahan impian, lantas bagaimana dengan Hara, seorang wanita yang dinikahi namun menjadi yang kedua?

Ia terus memandangi wajah Abizar sampai akhirnya menunduk ketika pelafalan ijab kabul terjadi antara Abizar dan hakim. Padahal acara diselenggarakan dalam rumah dengan memanggil penghulu, bermodal pakaian pengantin seadanya dan tamu yang terdiri dua orang laki-laki sebagai saksi pernikahan.

Perempuan itu terlihat bahagia.

Khalisah duduk di samping mama Laili dan melihat semuanya tanpa berkedip.

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah."

Meski Khalisah ikut menyerukan suaranya, ia tak bisa menahan air matanya lagi.

Sekarang kamu bukan milikku seorang lagi, Mas.

Acara ini berakhir tidak memerlukan waktu berjam-jam, namun entah bagaimana hari menggapai malam hingga Khalisah sudah berbaring atas kasur dalam pakaian malamnya.

Dingin, setidaknya sampai tujuh malam ke depan. 

Tok! Tok! Tok!

Khalisah bangkit. Ia menyampirkan selendang atas bahunya dan menghampiri pintu. Khalisah diterjang pelukan begitu pintu terbuka.

"Mas Abi!"

Abizar melepas pelukan dan memandangi istri cantiknya. "Malam ini aku tidur di sini ya?"

Melihat suaminya tersenyum saat mendatangi kamarnya menciptakan kebahagiaan dalam diri Khalisah. Ketika ego menyeru, namun kepahamannya dalam ilmu agama tentang pernikahan poligami menentang nafsunya.

Khalisah menggeleng. "Nggak bisa, Mas. Malam ini sampai tujuh malam ke depan Mas mustahaqnya Hara."

Khalisah tersenyum simpul.

"Tapi...."

Nada merajuk itu tak boleh merayunya. Khalisah yang gigih langsung memakai pakaian muslimah ya, tidak lupa cadarnya.

Ia mengandeng Abizar ke kamar pengantin suaminya dengan madunya. Sedikit memudahkan Khalisah karena suaminya itu menurut hingga menghadapkan kamar pengantin.

Khalisah mengetuknya dulu sebelum membuka, dan mendapati Hara sedang duduk di atas ranjang.

"Aku kira Abi nggak bakal datang."

Khalisah reflek menutup mata Abizar melihat seseksi apa pakaian malam madunya.

"Eh, kenapa mata Abi-nya ditutup, Kak?" tanya Hara yang memiringkan kepalanya.

Abi? Tanpa embel-embel mas?

"Tidak ada." Khalisah menurunkan tangannya saat kenyataan menyadarkannya kembali. Meski begitu, Abizar tetap menutup matanya.

"Selama tujuh malam ke depan, Mas Abi milik kamu. Selanjutnya tiga malam buat aku, dan tiga malam selanjutnya milik kamu. Begitu seterusnya ya," jelas Khalisah datar.

"Baik," seru Hara riang, dan hal tersebut membuat Khalisah tertegun.

"A-aku pergi dulu." Khalisah buru-buru keluar sambil menutup pintu kamar.

"Khalisah!"

Abizar hendak berbalik, tapi pergelangan tangannya dipegang. Spontan ia menarik tangannya. "Jangan menyentuhku."

Hara sempat terkejut dan memandangi tangannya, namun kesadarannya kembali dengan cepat dan tersenyum pada pria yang resmi jadi suaminya. "Lama tak bertemu, Abizar. Aku nggak nyangka bakal beneran jadi istri kamu, itu impian aku 'lho."

"Jadi, istri kedua?" Abizar mengangkat alisnya.

"Aku tidak masalah, asal statusku adalah istri kamu, Abi."

Sebalik dari tatapan tulus Hara, Abizar justru menunjukkan tatapan dinginnya. "Bagaimana kamu bertemu mama, sampai mama lebih memaksa aku menikah lagi dibanding sebelumnya?"

"Ah, waktu itu aku baru turun dari bus perjalanan Jogja ke Jakarta, dan melihat mama Laili yang masih kuingat wajahnya sehingga aku menyapanya. Aku beruntung mama Laili mengingat namaku walau tidak dengan wajahku, karena sudah lewat lima belas tahun. Aku senang mama tetap baik kepadaku," jelas Hara riang.

"Lalu, mengapa kamu ke Jakarta? Bagaimana dengan nenek Melati yang kamu tinggalkan di Jogja?" tanya Abizar.

"Nenek udah nggak ada delapan tahun lalu."

Sesaat Hara menangkap kesedihan pada raut terkejut Abizar, namun segera dikembalikan ke semula.

Bagaimanapun nenek sangat menyayangi Abi dulu, dan Abi juga pasti sama 'kan?

"Dan aku ke sini mau cari pekerjaan," sambung Hara.

"Ya, kamu langsung mendapatkan pekerjaan dari mama untuk menjadi istri keduaku," sindir Abizar.

-dan Hara masih tersenyum.

"Benar-"

"-Dan bagaimana kalau selanjutnya Abi membantuku menyelesaikan pekerjaan mama yang kedua?" Kemudian Hara menarik ikatan tali di dadanya.

Abizar melorot.

"Hara Arani!"

.

.

.

.

Khalisah mengangkat kedua tangannya. "الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه اجمعين."

Niat awalnya ingin merebahkan badan yang terasa lelah karena mengikuti hati, justru berubah ingin mencurahkan segalanya kepada sang pencipta.

Khalisah memutuskan melaksanakan shalat witir tiga rakaat dua kali salam dikarenakan isya sudah dikerjakan pas azan berkumandang.

"Ya Allah. Diantara banyak hal, ada satu hal yang hambamu ini takuti yaitu memutuskan pilihan. Karena saya takut menghadapi masa depan apabila keputusan salah. Mengatakan ini bukan berarti saya tak percaya pada Engkau, Ya Allah. Namun inilah ungkapan hati yang bisa Engkau ketahui tanpa perlu saya katakan-"

"-Saya cuma mau jujur pada diri saya sendiri."

Air mata Khalisah mengalir di pipinya.

"Saya cuma berharap yang terbaik dari keputusan ini, Ya Allah. Dan الله العلم (Allah maha mengetahui) atas segala sesuatu. Aamiiin, aamiin ya rabbal a'lamin."

...☠️...

...☠️...

...☠️...

Rain: 🧑‍🔬

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!