Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 20 - Pendosa Yang Ingin Jatuh
Pengakuan doa bukan hanya ucapan di permukaan. Bukan hanya sekadar kata-kata “Saya menyesal” di bibir, tetapi tidak sampai ke hati.
Sebelum mengaku dosa, seseorang wajib menelaah jauh-jauh ke dalam batin, apakah dia benar-benar menyadari bahwa perbuatannya salah dan dengan tulus menyesalinya, bukan hanya karena dorongan rasa bersalah sesaat.
Murni tahu dan mengakui semua yang ia lakukan adalah salah.
Namun, apakah ia menyesal?
Dengan terkejut ia menyadari, bahwa jauh di lubuk hatinya ia tidak menyesalinya. Bahkan dengan gila, ada suara kecil yang berbisik bahwa itu tidak sepenuhnya salah.
'Mimpi yang datang itu, aku tidak pernah mengundangnya. Rasa terhadap Mahanta yang diam-diam merayap hadir, aku tidak pernah dengan sengaja menumbuhkannya. Itu semua terjadi atas kehendak Tuhan, bukan?'
Mengapa itu semua terjadi padanya, bukan pada orang lain?
Mungkinkah itu sebuah petunjuk, bahwa sebenarnya tempatnya bukan di sini. Bahwa keinginannya menjadi biarawati sebenarnya bukan panggilan, melainkan… karena terlalu terbiasa hidup di dalam biara, sehingga ia tidak memiliki pengetahuan akan kehidupan lain di luar gereja.
Bolehkah ia menyimpulkan seperti itu? Hati kecil Murni terus berperang kata-kata. Entah hati, kepala atau batin, satu sama lain saling bertentangan.
“Suster Murni. Suster Murni!” Tangan seseorang menepuk pundaknya pelan.
Murni tersentak dari perdebatannya sendiri. Menoleh dengan kaget pada sosok berjubah ungu yang berdiri di sampingnya.
Romo Fransiskus.
“Kok melamun? Saya panggil-panggil dari tadi gak jawab, sampai harus saya tepuk.”
Murni menoleh ke kiri dan ke kanan. Gereja sudah kosong, tidak ada satu orang pun lagi kecuali dirinya dan Romo Fransiskus. Bahkan para umat yang tadi menunggu giliran masuk ke ruangan pengakuan dosa sudah pergi.
Murni tertunduk malu, “Salam, Romo. Maaf.”
“Tidak perlu minta maaf,” Romo Fransiskus tersenyum. “Apa yang sedang dipikirkan sampai seperti hanya ragamu yang ada di sini?”
Murni menggeleng, “Hanya… tadi melihat orang-orang yang menunggu giliran untuk pengakuan dosa, lalu saya… merenungkan langkah-langkah dan makna pengakuan dosa."
Itu bukan bohong. Ia memang melakukannya.
“Hm… menurutmu bagaimana?” Romo Fransiskus balik bertanya.
“Jika pengakuan dosa itu hanya di permukaan dan tidak datang jauh dari dalam hati, maka itu akan kehilangan maknanya. Karena orang akan cenderung berpikir untuk melakukannya lagi, toh dosanya sudah diampuni.”
Romo Fransiskus mengangguk-angguk. “Tidak salah. Tetapi ingat, lebih baik menyesali satu dosa dan bertobat, daripada membiarkannya menumpuk baru meminta ampun. Setidaknya, mengakui satu berarti orang itu sudah menyadari kesalahannya dan berniat memperbaikinya.”
Murni terdiam. Kalimat bijak sekaligus menohok.
“Saya tahu Suster mengambil cuti. Melihat sekarang Suster mengenakan seragam, apakah berarti Suster telah menemukan kebulatan hati dan siap melanjutkan?”
Murni tertunduk, tidak tahu bagaimana harus bicara. Romo Fransiskus adalah sosok yang dihormati dan disegani, tetapi Murni merasa enggan menyampaikan kekusutan pikirannya. Mungkin… karena ia takut ‘terbaca’?
“Saya…” Akhirnya Murni membuka mulut, “Hanya merasa keliru mencari ketenangan di luar. Jika ingin menguatkan hati, justru seharusnya saya tetap di dalam gereja. Karena itu saya kembali.”
Romo Fransiskus mengangguk-angguk paham. “Saya menghormati keputusanmu. Ada apapun, silakan bicarakan. Tidak dengan saya, bisa dengan Suster Maria, jangan sampai Suster melayani dengan hati tidak bulat.”
“Ya, Romo. Terima kasih. Kalau begitu saya pamit.” Murni bangkit dari kursi, memberi salam dan pergi meninggalkan gereja.
Sementara Romo Fransiskus menyaksikan punggungnya yang menjauh. Menghela napas dan bergumam. “Saya akan turut mendoakan, Suster.”
—
Malam hari, Murni membolak-balik tubuh dengan gelisah di tempat tidur biara. Ini adalah jam-jam biasanya ia akan berjalan pergi ke Warung Murni. Namun kali ini, karena telah kembali ke biara, ia tidak bisa menyelinap pergi begitu saja.
Theresia, teman yang berbagi kamar dengannya, telah pulas sejak tadi di ranjang sebelah, bahkan terdengar dengkuran halus.
Tangan Murni memegang salib di lehernya. Ia menahan diri sedemikian rupa, menangkal dorongan untuk segera berlari dengan sedaya upaya. Air mata mulai meleleh dari sudut matanya. Jatuh satu per satu, mengalir ke lehernya, membasahi bantal.
Ia memejamkan mata, berdoa dalam gumaman yang tak sanggup dipahami siapa pun. Hatinya serasa diremas, dan napasnya tersengal-sengal.
Ternyata, sesulit ini menahan diri. Sesakit ini menahan keinginan untuk bertemu. Inikah yang dinamakan rindu?
Ia yang seharusnya bersumpah setia pada surga, tetapi setiap malam ingin kembali ke sana, menatap wajahnya, garis rahangnya yang tajam, tatapan hitam matanya yang menyedot ke dalam. Seperti keindahan yang bisa menenggelamkan iman.
“Aku seperti pendosa yang ingin jatuh.” Ia bergumam dalam hati.
Detik ini juga, Murni menyadari bahwa semua daftar yang tercantum dalam uraian tentang jatuh cinta yang ia baca di internet, semua ia alami.
Ia… telah jatuh cinta. Pada Mahanta.
Celakanya, ia bahkan tidak tahu Mahanta itu siapa. Bagaimana jika dia bukan manusia baik-baik?
Yang lebih parah, bagaimana jika dia bahkan… bukan manusia?
Napas Murni tercekat.
Pemikiran itu bahkan memberikan dorongan yang makin kuat. Untuk menguak kenyataan siapa Mahanta sebenarnya.
Selama ini, ia selalu datang ke Warung Murni saat warung itu telah buka. Ia belum pernah datang sebelum jam buka.
Seharusnya… ia ke sana sebelum waktunya. Ia ingin melihat, bagaimana warung itu muncul. Di mana sebenarnya Mahanta tinggal? Mengapa setiap kali ia ke sana, lelaki itu sudah ada di dalam warung, di dapur.
Apakah dia muncul bersamaan dengan warung? Atau datang dari suatu tempat di luar, seperti dirinya. Membuka pintu, menyalakan lampu, masuk ke dapur dan menyalakan kompor, lalu menyiapkan bahan-bahan masakan. Seperti yang dilakukan orang-orang normal di siang hari.
Tanpa terasa, fajar telah datang. Sinar pagi mulai merekah di langit, mengetuk jendela kamar biara, seolah mengucapkan selamat pagi.
Malam ini, Murni selamat. Ia berhasil tetap berdiam di tempat, kali ini.
Besok malam, adalah perjuangan yang lain.
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran