"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34
Malam itu Raga baru tiba dirumahnya pukul 10 malam setelah mengerjakan maket proyeknya yang hampir siap sekitar 80%, setelah membersihkan diri dia turun ke bawah menuju dapur untuk membuat secangkir teh hangat. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Raga menatap ponselnya dengan malas. Pesan dari Dira, kenalannya sewaktu kuliah dulu yang penuh kejutan, baru saja masuk.
Dira:"Raga, jangan lupa datang ke pestaku Sabtu malam. Tidak ada alasan untuk menolak!"
Raga menghela napas. Ia bukan penggemar pesta, tetapi menolak undangan dari Dira nyaris mustahil.
Raga:"Baiklah, aku akan datang."
Bri membaca email undangan dari rekannya di kantor, Dira. Malam itu dia memutuskan untuk mengerjakan beberapa pekerjaan kantor yang dia bawa pulang ke rumah karena besok akan segera diserahkan.
Dira:"Bri! Kau harus datang ke pesta ulang tahunku! Aku tidak menerima penolakan, ya!"
Bri mendesah. Ia lebih suka menghabiskan malam di rumah dengan buku dan teh hangat, tetapi menolak rekannya di kantor bukan ide yang bijak.
Bri:"Baik. Aku akan datang."
Mereka tidak menyangka bahwa malam itu akan menjadi malam penuh kekacauan.
***
Sabtu malam tiba. Pesta berlangsung di sebuah kafe rooftop yang dihiasi lampu-lampu berkelap-kelip. Musik jazz mengalun lembut, menciptakan suasana yang mewah dan nyaman.
Raga tiba lebih awal, duduk di sudut ruangan dengan minuman di tangan. Ia mengamati tamu yang berdatangan sambil berharap bisa pulang lebih cepat. Raga mengenal Dira yang berbeda jurusan dengannya dari sebuah klub fotografi yang ada di kampusnya. Raga dan Dira berkenalan dan akhirnya akrab karena sering bertemu di klub, meski pada akhirnya Raga tidak suka memotret.
Namun, harapannya hancur seketika saat melihat Bri memasuki ruangan.
Ia hampir tersedak. "Kenapa dia ada di sini?"
Di sisi lain, Bri yang baru saja masuk juga membeku. Pandangannya bertemu dengan Raga sesaat, tetapi ia memilih mengalihkan tatapan dan berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun.
Raga mendengus. "Baiklah, kalau begitu."
Mereka kini terjebak di satu pesta yang sama, tetapi dengan tekad untuk saling mengabaikan.
Dira yang terkenal suka kejutan tidak ingin pestanya berlalu tanpa sesuatu yang spesial. "Kalian semua harus melihat ini!" serunya dengan penuh semangat.
Beberapa pelayan mendorong meja panjang ke tengah ruangan. Di atasnya ada kue ulang tahun raksasa dengan dekorasi rumit dan lilin-lilin menyala. Semua tamu bertepuk tangan.
Namun, tepat saat meja itu melewati Bri dan Raga, sesuatu yang buruk terjadi. Salah satu pelayan tersandung.
"Awas!" teriak salah satu tamu.
Bruk!
Kue raksasa itu melayang ke udara dan—
Plak!
Mendarat tepat di kepala Bri yang berdiri mematung tak menyangkan dirinya akan sesial itu.
Ruangan hening. Semua orang terdiam sebelum akhirnya—
"Hahahaha!" Tawa pecah di seluruh ruangan.
Bri menyentuh wajahnya yang kini penuh dengan krim dan cokelat, kemudian menatap tangannya yang lengket dengan ekspresi tidak percaya. Dia malu dan kesal.
Raga yang kini berjalan menghampirinya sedang berusaha menahan tawanya agar tidak keluar, dia mengambil sedikit krim dari wajah Bri, lalu mencicipinya.
"Setidaknya rasanya enak."
Bri menoleh tajam. "Apa?"
"Daripada marah-marah, lebih baik anggap ini sebagai—"
Plak!
Bri menampar wajah Raga dengan segenggam krim kue.
Raga terdiam. Semua orang menahan napas.
Lalu—
Plak!
Bri menarik lagi rambut Raga dengan keras sampai Raga merasa rambutnya sangat lengket.
Raga menatap Bri dengan wajah yang memerah. "Apa-apaan kau?!"
Bri nampak puas dengan tindakannya. "Kau yang mulai duluan."
"Aku? Memangnya apa yang kulakukan," protes Raga.
"Kau membuatku kesal. Rasakan itu." Bri tertawa sinis.
Raga tampak berang. "Dan melempari wajahku dengan krim itu masuk akal menurutmu?!"
Bri meraup segumpal krim lagi. "Jangan coba-coba memancing emosiku."
Raga melipat tangan. "Dan kalau aku tetap melanjutkan?"
Plak!
Bri menghantam wajah Raga dengan segenggam krim lagi.
Kini Raga benar-benar kesal. Ia meraup lebih banyak krim dan mendapatkan Bri yang mencoba menghindar darinya.
"Jangan lari, kau harus merasakan pembalasan!"
Tamu-tamu pesta hanya bisa terpingkal-pingkal melihat keduanya berkejaran di antara meja-meja sambil saling melempar krim kue.
Dira sang pemilik pesta hanya bisa terduduk lesu melihat kue yang dibanggakannya itu hancur dan pesta yang telah dirancangnya dari setahun lalu kini berubah jadi malapetaka baginya.
Dia kecewa dan meratapi nasibnya. "Kueku... ini semua salah pelayan itu!" Pesta akhirnya berakhir setelah insiden heboh itu.
Setelah membersihkan diri di kamar mandi Bri pamit pulang dengan menelepon Dira, dia sudah tak sanggup muncul lagi di tengah-tengah pesta takut semua orang akan mentertawakannya lagi. Sungguh sial hidupnya, ia menyesal datang ke pesta ini.
Bri keluar lebih dulu dan berdiri di pinggir jalan menunggu taksi online. Namun, pesan dari aplikasi muncul:
Maaf, pesanan Anda dibatalkan.
"Apa-apaan ini!" Bri menghela napas panjang menahan kekesalannya.
Di saat yang sama, Raga keluar dari gedung dan melengos begitu saja tanpa meliriknya. Raga dengan penampilan tak berbeda dari dirinya, rambutnya terlihat amat berantakan dan tak berbentuk, ada sedikit rasa penyesalan di benak Bri. Bri mendekatinya bermaksud untuk menumpang pulang bersama.
"Apa yang ingin kau lakukan lagi Bri?" tanya Raha dengan raut wajah yang datar.
"Taksi onlinenya membatalkan pesanan. Bisakah aku menumpang," jawab Bri lesu.
Raga berpikir sejenak sebelum berkata, "Setelah kau mengerjaiku, kini kau berharap aku akan menolongmu?"
Bri menatapnya dengan tidak percaya. "Kau pendendam sekali. Baiklah aku minta maaf. Ayolah jangan memandangiku seperti itu. Kondisiku lebih buruk daripada dirimu." Raga memperhatikan wanita itu dengan seksama dan ya, dia mengenaskan.
"Baiklah. Tapi jangan menyentuh apapun di dalam. Jangan mengotori mobilku," ucap Raga memperingatkan Bri yang memandangnya sambil bersungut-sungut.
Bri mendengus kesal. "Tidak perlu takut. Aku akan duduk seperti patung."
Raga memutar mata. "Yang benar saja. Bahkan mungkin tidur pun kau tidak bisa diam."
"Kau!" Bri sudah siap melayangkan kepalan tinjunya namun terhenti ketika Raga membuka pintu mobil dan masuk. Bri buru-buru ikut masuk dan duduk dengan pelan.
Di dalam mobil, Bri masih mendapati beberapa sisa krim kue menempel di rambutnya.
"Bagaimana aku akan menjalani hidupku besok," gumamnya.
Raga menyeringai. "Kau bisa pakai kostum gorilla ke kantor. Dijamin tak ada orang yang mengenalimu."
Bri mengangkat tangan di udara hendak memukul lengan Raga namun terhenti. "Sudah kubilang jangan sentuh apapun. Termasuk aku!"
Bri menatapnya sekilas sebelum akhirnya menghembuskan napas kesal. Sementara Raga diam-diam tersenyum merasa lega karena rutinitas mereka kembali seperti semula.
Ponsel Bri bergetar, dengan susah payah diraihnya benda itu dan memegangnya dengan mantap. Meskipun ponselnya agak sedikit kotor namun Bri tidak peduli dan bergegas membuka pesan yang baru saja masuk.
“Sepertinya kita harus pergi jam 3 sore saja. Tiba-tiba aku harus menyelesaikan beberapa hal di kantor.”
Vita—
Bri menepuk dahinya pelan, dia baru ingat bahwa besok dia akan pergi berkemah dengan teman-temannya. Dia bahkan belum mempersiapkan apapun.