"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
Suasana di aula pertemuan kompleks perumahan cukup ramai. Para penghuni telah berkumpul untuk menghadiri rapat rutin. Beberapa ibu-ibu tampak berbincang di sudut ruangan, sementara para bapak-bapak berdiri dalam kelompok kecil, mendiskusikan berbagai hal, mulai dari keamanan lingkungan hingga jadwal ronda malam. Di antara mereka, Bri duduk di barisan tengah dengan ekspresi gelisah.
Sejak bangun pagi, ia bertekad untuk menjalani hari ini seperti biasa, tanpa mengingat kejadian yang terjadi semalam. Ia sudah berusaha meyakinkan dirinya bahwa insiden itu hanyalah kecelakaan yang tidak perlu diungkit lagi.
Namun, semua tekad itu seketika runtuh begitu ia melihat Raga memasuki aula.
Bri langsung menundukkan kepala, berpura-pura memperhatikan daftar agenda rapat yang dibagikan oleh Pak RT.
Sementara itu, Raga yang baru saja masuk pun seketika menghentikan langkahnya. Matanya menangkap sosok Bri yang tampak terlalu fokus menatap meja.
Sejenak, pikirannya melayang kembali pada peristiwa semalam—kegelapan total, insiden jatuh yang tidak terduga, dan bibir mereka yang saling bertemu secara tidak sengaja.
Raga menghela napas pelan. Ia tidak ingin berpikir berlebihan, tetapi kejadian itu terlalu sulit untuk diabaikan. Karena merasa tidak nyaman, ia memilih untuk duduk di barisan belakang, berusaha menjaga jarak agar suasana menjadi lebih terkendali.
Namun, meskipun mereka berdua tidak saling menatap atau berbicara, kecanggungan di antara mereka sangat terasa.
Pak RT sedang menyampaikan beberapa agenda rutin yang dibahas di rapat bulanan rutin itu. Beberapa penghuni yang terlihat aktif dalam memberikan pertanyaan dan jawaban serta saran untuk beberapa hal terkait kenyamanan bagi para warga komplek. Bri duduk bersender di kursinya tampak mulai bosan. Tak lama kemudian rapat usai dan semua orang bangkit berdiri menuju pintu keluar. Bri sudaj berdiri lebih dulu di teras depan untuk menunggu Dita yang akan pulang bersama dengannya.
Sialnya, Raga juga keluar berbarengan dengan Ujang satpam komplek dan terlihat canggung melirik Bri. Ujang melirik Bri yang tampak gelisah, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Raga yang terlihat pura-pura sibuk dengan ponselnya.
Setelah beberapa saat mengamati, matanya menangkap sesuatu yang menarik— Baju mereka. Ujang menyipitkan mata, lalu tersenyum jahil. Tiba-tiba, suara nyaring Ujang terdengar di sekitaran teras itu.
"Tunggu sebentar."
Beberapa orang yang sedang berdiri di teras menatapnya, termasuk Bri dan Raga. Ujang menyeringai lebar dan menunjuk mereka berdua.
"Kenapa kalian memakai baju dengan warna yang sama?" Sejenak, suasana menjadi hening.
Bri mengernyit dan menundukkan kepalanya. Ia mengenakan kaus berwarna biru tuadengan celana jeans. Lalu, ia menoleh ke arah Raga—dan—sial!
Raga juga mengenakan kaus berwarna biru tua.Dengan celana jeans. Mereka benar-benar tampak seperti sepasang kekasih yang sengaja mengenakan pakaian serasi.
Bri segera melambaikan tangannya dengan cepat. "Tidak! Ini hanya kebetulan! Aku tidak mungkin sengaja memakai pakaian yang sama dengannya!"
Raga juga langsung menanggapi. "Hei, aku lebih dulu memakai ini! Jangan berpikir bahwa aku yang meniru gayamu!"
Ujang tertawa kecil. "Wah, kalau sudah begini, sebentar lagi kita tinggal menunggu undangan pernikahannya, ya!"
"Jangan sembarangan bicara Pak Ujang." Bri berseru dengan kesal.
"Benar! Jangan membuat rumor yang tidak masuk akal!" Raga menambahkan. Bri mendelik ke arah Raga dengan kesal menatap bajunya.
Ujang semakin senang melihat reaksi keduanya. "Kalau memang tidak ada apa-apa, mengapa kalian langsung panik begitu?"
"Kami tidak panik!" Bri dan Raga serempak menjawab, tetapi justru membuat para penghuni yang lain tertawa.
Seorang ibu-ibu yang berdiri di sudut pun ikut bersuara, "Memangnya kalian berdua memiliki hubungan khusus?"
"Tidak!" Mereka kembali menjawab secara bersamaan.
Ujang menggeleng-gelengkan kepala sambil terkekeh. "Sungguh menarik. Kalian selalu membantah, tetapi reaksi kalian justru semakin mencurigakan." Bri terdiam. Raga juga terdiam.
Mereka saling melemparkan tatapan sekilas, sebelum buru-buru membuang muka ke arah lain.
Sementara itu, para penghuni kompleks semakin tertarik dengan interaksi mereka berdua, seolah melihat pertunjukan yang menghibur. Dita yang baru saja keluar dan mendengar ribut-ribut menghampiri Bri yang sedang kesal.
"Ada apa?"
"Tidak apa-apa, ayo kita pulang Mbak sepertinya mau hujan," ucap Bri buru-buru mengapit lengan Dita yang langsung memandang langit luar biasa cerah, apa iya akan turun hujan batinnya.
Bri berbalik sambil melemparkan pandangan sinis ke arah Raga yang maknanya mungkin akan kubunuh kau nanti!. Dia menghela napas dalam-dalam sambil melangkah pergi, berusaha mengendalikan rasa kesal yang mulai menguasai dirinya.
Di sisi lain, Raga mengusap tengkuknya, merasa malu sekaligus frustrasidengan situasi yang terjadi. Siapa yang tahu mereka hanya datang untuk menghadiri rapat, tetapi kini malah menjadi bahan pembicaraan utama warga kompleks. Sungguh, pagi yang tidak terduga.
***
Keesokan harinya, Bri membuka pintu rumahnya dengan semangat baru. Setelah kejadian memalukan di rapat kompleks kemarin, ia bertekad untuk tidak lagi terjebak dalam situasi canggung dengan Raga.
Hari ini, ia sudah memilih pakaian dengan hati-hati agar tidak ada lagi kebetulan yang aneh.
Ia mengenakan sweater abu-abu lembutdengan celana hitam. Simpel dan nyaman untuk cuaca yang sedikit berangin pagi ini.
Dengan tenang, Bri berjalan keluar menuju pekarangannya yang indah sambil memegang cangkirnya yang berwarna hijau tua. Namun, baru beberapa langkah, ia tiba-tiba berhenti di tempat.
Matanya membelalak saat melihat sosok Raga yang baru saja keluar dari rumahnya dengan sweater abu-abu yang hampir serupa dan sialnya juga memegang cangkir dengan warna yang sama.
Seolah-olah semesta sedang mempermainkan mereka.
Raga juga melihat Bri dan langsung mengernyit. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari ketidaksengajaan yang terjadi lagi.
Keduanya hanya berdiri di sana, saling menatap dengan ekspresi tidak percaya. Lalu, suara tawa terdengar dari seberang jalan.
Ujang yang lagi-lagi menjadi saksi saat itu sedang melintas, dia memperhatikan interaksi mereka, berdiri di depan pagar rumah Raga sambil memeluk lengan. Wajahnya penuh senyum geli.
"Astaga, kalian ini benar-benar." Ujang tertawa. "Kemarin baju, sekarang sweater. Kalian sengaja, ya?"
"Tidak!" Bri dan Raga langsung membantah bersamaan.
Ujang semakin tergelak. "Kalau bukan disengaja, bagaimana bisa kalian terus memakai barang yang serasi?"
Bri menghela napas panjang. "Ini hanya kebetulan! Aku tidak mungkin berusaha mencocokkan pakaian dengannya!"
Raga menyilangkan tangan di dada. "Hei, aku juga merasa dirugikan di sini. Aku jelas memakai ini lebih dulu. Dan cangkir ini sudah berada di rumahku lebih dari 10 tahun asal kau tahu!"
Bri menoleh cepat. "Apa maksudmu? Jangan-jangan kau berpikir aku yang meniru gayamu?"
Raga mendengus. "Tentu saja! Setiap kali ini terjadi, aku selalu yang lebih dulu keluar rumah!"
Bri mengangkat alisnya. "Jangan mengada-ada! Ini hanya insiden tak penting!"
Ujang tertawa semakin keras melihat mereka berdua mulai berdebat. Ia bahkan harus menutup mulutnya untuk menahan tawa. Raga dan Bri sama-sama terdiam. Tatapan mereka bertemu, lalu buru-buru saling memalingkan wajah.
"Bukan karena selera yang mirip," gumam Bri pelan.
"Benar. Ini hanya kebetulan yang menyebalkan," sahut Raga cepat.
Ujang tersenyum penuh arti. "Terserah kalian. Tapi kalau besok kalian memakai barang yang sama lagi, saya pasti akan berpikir lain."
Bri menghela napas panjang, merasa lelah dengan kebetulan yang terus terjadi. Sementara itu, Raga hanya bisa mengusap tengkuknya, berharap keesokan harinya tidak akan ada insiden serupa lagi.