Malam "panas" antara Danar dan Luna, menjadi awal kisah mereka. Banyak rintangan serta tragedi yang harus mereka lalui. Masa lalu mereka yang kelam akankah menjadi batu sandungan terbesar? atau malah ada hamparan bukit berbatu lainnya yang terbentang sangat panjang hingga membuat mereka harus membuat sebuah keputusan besar dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Kunci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 01.
Cahaya mentari memasuki setiap inti celah sebuah rumah. Adapun kilauannya ikut menerangi alas lemari kayu berukuran sedang, dimana terdapat beberapa bingkai foto yang tertata cukup apik dengan selingan vas bunga lili juga terlihat menambah kesan hangat nan elegan, lemari kayu antik tersebut.
Samar terdengar suara seorang anak kecil, dia berteriak dibarengi dengan langkah kaki cepatnya. Anak lelaki itu bertubuh cukup kecil, memakai seragam sekolah serta menggendong tas ransel yang memiliki ukuran lebih besar dari tubuhnya. Wajah anak itu sedikit memerah di kulit putih pasinya, diikuti mimik wajah sedikit khawatir atau mungkin kesal karena terlihat juga kerutan diantara kedua alis tebalnya.
"Kak Damar, ayo cepetan!" teriaknya sangat kencang.
Guratan tegang dan tulang wajah anak kecil itu semakin tegas. Deru napas yang awalnya tidak terdengar, kini terdengar berderu seperti seorang atlet lari yang baru saja menyelesaikan sebuah pertandingan.
Damar, anak lelaki yang dipanggilnya hanya tersenyum dan dengan posisi merunduk karena sedang mengikat tali sepatu yang akan dikenakannya pagi itu dengan tetap tenang. Dia tidak menggubris hingga menyelesaikan membuat simpul rapi pada kedua sepatu berwarna hitam itu, barulah dia mengubah posisi agak merunduknya menjadi tegak.
Kepalanya menoleh dengan senyum yang masih terkembang, hangat, itu kesan guratan dibibir merah yang diberikan Damar pada anak lelaki bertubuh sama tinggi dengannya itu dan berdiri diluar pintu rumah mereka. Helaan napas dibubuhi sedikit oleh Damar sembari menjawab,
"Sabar dek, kalau kamu nggak mau nunggu. Duluan aja nggak apa - apa."
Serangkaian kalimat tenang yang coba diberikan Damar pada Sang Adik, malah membuat sebuah derap langkah sepatu mendekat.
Tap...
Tap...
Tap...
Seorang wanita muda, bergaun putih agak kecoklatan selutut menghampiri ambang pintu rumah. Wanita itu memegang gagang pintu berbentuk bulat sembari memandang Damar dan juga anak lelaki yang sudah berdiri berdampingan dengan sebuah sepeda di luar rumah. Bukan hanya Damar yang menghela napas, wanita muda itu pun menghela napasnya cukup dalam dengan kedua alis yang naik.
"Ada apa ini, dek?" tanya wanita muda itu.
Anak lelaki dan sepedanya kemudian menurunkan dongkrak benda besi itu dengan kedua tangan yang memegang masing - masing tali ranselnya. Wajah merah, mimik wajah yang kini terlihat jelas cukup kesal, dia berjalan mendekat sembari melihat kearah Damar yang masih dengan wajah tenang keluar dan mengambil sepedanya dari garasi kecil disamping rumah itu.
"Itu Ma, Kak Damar lelet banget. Aku bisa telat ini!"
Kini jawaban anak lelaki itu lebih panjang dari kalimat teriakannya untuk Damar.
Helaan napas kembali terdengar dari wanita muda itu dengan kedua tangan yang perlahan dilipat ke depan dadanya, sedangkan Damar yang sudah mendorong pelan sepedanya mengeluarkan suara tawa kecil nan renyahnya.
"Shut, jangan teriak - teriak begitu!" tegur wanita muda itu sembari mengacungkan satu jari telunjuk ke depan bibir agak tebal dengan polesan perona naturalnya.
Disaat yang sama Damar sudah berada disamping Sang Adik, lalu satu tangannya menepuk pundak anak lelaki yang memiliki tinggi badan sama dengannya itu. Sang Adik pun menoleh dengan bibirnya yang berubah maju selepas terkena teguran Sang Ibu.
"Yang bakalan telat itu bukan cuman kamu, dek. Aku juga pasti telat."
Lagi - lagi Damar memberikan pernyataan lembut nan santainya. Senyum hangat itu pun tidak pernah lepas dari wajah tampan Damar, anak lelaki itu lalu mendongkrak sepedanya dan mendekat ke arah Sang Ibu. Dijulurkan satu tangannya yang kemudian disambut jabatan dari Sang Ibu.
"Ma, kami berangkat dulu ya." pamit Damar setelah mencium punggung tangan Sang Ibu.
Wanita muda yang masih berdiri diambang pintu itu, kemudian mengelus puncak kepala Damar sesaat yang dilanjutkan dengan mengeluh kulit wajah Sang Anak.
Senyuman cantik nan hangat terlihat dari wanita ramping itu, dia menganggur dengan kerjaan matanya. Damar pun perlahan mundur dan kembali ke tempat sepedanya berada.
"Adek...," panggil agak keras wanita muda itu pada anaknya yang sedaritadi merengut akibat rasa kesal yang memuncak.
Anak lelaki yang sangat pandai berteriak itu sudah sempat melepas dongkrak sepedanya dan kini terpaksa kembali membuat benda besi itu berdiri ke posisi awal. Dia berjalan agak membungkuk meraih tangan Sang Ibu dengan agak malas, mencium punggung tangan Sang Ibu dengan napas yang menghela hingga membuat wanita muda dihadapannya itu meraih dagu cukup lancip bocah SD itu.
"Kamu hati - hati dijalan, belajar yang rajin, coba latih untuk mengurangi sifat temperanmu dan tidak sabaran itu. Hehm...," sebuah teguran lembut penuh makna kembali diberikan oleh wanita muda itu pada Sang Putra.
Kini anak lelaki itu hanya bisa menganggur dengan mata berbinar dan mimik wajah penuh rasa bersalah yang tiba - tiba muncul.
Elusan lembut diberikan sebagai sentuhan terakhir, sebelum kedua anak lelaki itu kemudian menaiki sepedanya dan berangkat untuk menuju tujuan akhir mereka yaitu sekolah.
Setelah mengantar kedua malaikat kecilnya, wanita muda itu tadinya berniat masuk. Namun...
Brak...
Suara hantaman keras membuat langkahnya terhenti. Dia berbalik dengan cepat, turun agak pelan dari anak tangga depan pintu rumahnya dan dilanjutkan dengan berlari kearah jalan besar asal suara itu. Gerak tubuhnya terhenti ditengah jalan dengan kedua tangan yang perlahan bergetar dan dinaikkan guna menutupi bibirnya. Tatapan nanar dengan suara berdengung yang seketika timbul di kedua daun telinga dan membuat kepalanya sakit, tanpa perlu waktu lama tubuh rampingnya pun ambruk.
xxxxxxxx
25 Tahun kemudian...
Suara bising knalpot kendaraan disertai hantaman nyaring klaksonnya, memenuhi semua lajur juga jalur jalanan pusat kota pagi itu. Sebuah mobil dengan tipe SUV mewah memasuki sebuah halaman cukup luas, salah satu gedung pencakar langit yang berdiri tegak dengan ketinggiannya memecah kilau sinar mentari dan terpantul dari semua kaca yang mengelilinginya.
Seorang pria paruh baya berpakaian batik dengan celana kain dan sepatu berwarna hitamnya keluar dari arah kemudian. Pria itu sedikit berlari kearah pintu penumpang sebelah kanan lalu membukanya.
Sepatu sniker, celana kain berwarna hitam dengan atasan semi formal terlihat menempel ditubuh tinggi tegap seorang lelaki dewasa berwajah tidak begitu tampan, namun berwibawa yang perlahan keluar dari mobil mewah itu.
"Maaf Mas. Mas, mau saya tunggu atau tinggal?" tanya pria paruh baya berbau batik yang berprofesi sebagai supir pribadi itu pada lelaki tidak begitu tampan dihadapannya, dengan mimik wajah ramah serta gestur tubuh hormatnya.
Lelaki berwajah tirus, kulit putih pucat serta tatanan rambut klimis dengan poni komanya mengguratkan senyum yang tidak kalah ramah pada Sang Supir.
Dia menggelang, sembari memasukkan satu tangan ke salah satu saku celananya.
"Pak Yusuf pulang saja dulu. Nanti sekitar jam 5 sore baru kembali lagi." jawab lelaki itu.
Setelahnya, ketika hendak melanjutkan langkah lelaki muda itu sedikit memutar kembali tubuhnya kearah Pak Yusuf. Sang Supir yang juga hendak melangkah pergi pun menurunkan niatnya dan mendekat kearah Sang Majikan dengan kedua alis yang naik.
"Satu lagi Pak, kalau Amam tanya soal saya sudah makan belum? Bilang saja sudah, juga bilang padanya, jangan telpon - telpon ke kantor karena hari ini saya pasti pulang tepat waktu." lanjut lelaki muda itu.
Mimik Pak Yusuf sedikit khawatir selepas mendengar jawaban majikannya itu, hingga membuat lelaki tidak begitu tampan itu kembali berdiri tegak lurus menghadap dirinya. Helaan napas singkat terdengar dari lelaki muda itu dihadapkan Sang Supir, awalnya dia berniat menjelaskan sesuatu kembali. Namun, perhatian sudut mata lelaki muda itu teralihkan oleh siluet seseorang yang dikenalnya.
Kekhawatiran Pak Yusuf bertambah dengan ekspresi bingungnya, ketika dilihat pandangan mata Sang Majikan teralihkan hingga membuatnya mengikuti arah pandang lelaki muda itu.
"Mas, maaf. Mas, lagi liat...," pertanyaan yang bercampur pernyataan dari Pak Yusuf tersela oleh gerakan cepat Sang Majikan yang ingin berlalu dari hadapannya sembari menepuk pelan salah satu pundak pria paruh baya itu.
"Pak, Pak Yusuf saya harus pergi...," hanya sekelebat kalimat singkat terdengar ke telinga pria paruh baya itu.
Tertegun, hanya itu ekspresi terakhir yang dilakukan oleh Pak Yusuf ketika melihat Sang Majikan yang menghilang begitu saja dari hadapannya.
Danar Perkasa, nama lelaki tidak begitu tampan dan juga sudah membuat Sang Supir kebingungan itu sedikit berlari dengan arah pandang yang cukup liar. Ia melintasi juga memasuki hampir semua celah di lantai dasar gedung perkantoran itu. Sesekali mengangguk dan tersenyum tipis ketika bertemu beberapa bawahannya. Napas yang masih cukup terkendali namun tidak dengan panas tubuh yang mulai dirasanya, sedikit digulung pakaian tambahan yang dikenakannya dan memperlihatkan urat - urat maskulin di kulit pucat pasinya yang mulai bermunculan. Pandangan yang tetap mirip elang, Danar hendak meneruskan pencarian terpaksa berhenti karena sebuah panggilan telepon. Sedikit mengumpat juga mengelus kepala bagian belakang, ia merogoh salah satu saku celananya. Diabaikannya panggilan telepon itu sambil dia berbicara dengan suara yang cukup kecil,
"Ck, dia memang gesit. Aku selalu terlambat, tapi aku yakin cepat atau lambat kita pasti akan bertemu."
Pandangan mata Danar kini melihat kearah salah satu dinding kaca yang memantulkan cerminan dirinya. Mimik wajah licik dan senyum miring diguratkannya tipis sambil kemudian dia pergi berbalik arah dan berlalu.
xxxxxxxx
"Dengan Luna Saphira...," panggil seorang wanita bertubuh tambun memakai setelah blouse berwarna pastel berbalut blazer coklat agak tua lengkap dengan rok selutut berwarna hitam juga sepatu hak tinggi berwarna senada dengan rok yang dikenakannya. Wanita itu melihat ke sebuah berkas yang dibawanya, lalu mengalihkan pandangan kearah ruang tunggu. Senyum ramah juga anggukan kepala dilakukan wanita itu, ketika orang yang dipanggilnya berdiri lalu berjalan agak cepat menuju ke tempat ia berdiri.
"Selamat Pagi, Bu. Saya Luna Saphira...," jawab seorang perempuan bertubuh lumayan ramping, berambut lurus kaku berwarna coklat kehitaman. Perempuan muda itu memakai setelah baju lengan panjang putih dan celana kain berwarna hitam senada dengan sepatu dengan hak pendeknya.
Wanita tambun tadi, lalu menggiring Luna masuk ke ruangan dibelakang dirinya. Di dalam ruangan itu sudah ada sekitar 3 orang lainnya yang sedang duduk berhadapan dengan sebuah meja panjang. Mereka juga sedang memperhatikan beberapa berkas para pelamar.
Luna duduk di sebuah kursi dihadapkan meja para pewawancara, perempuan muda itu terlihat tenang dengan senyuman ramah serta manis yang diguratkannya sedaritadi. Tidak membutuhkan waktu lama hingga salah seorang pewawancara langsung mendongak dan mengulang kembali memanggil nama lengkap Luna, diteruskan dengan melontarkan beberapa pertanyaan. Luna yang tidak seberapa tinggi dengan posisi duduknya yang tegap menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan dengan lihai juga ekspresi yang sangat meyakinkan.
Hingga beberapa kali, semua pewawancara tertegun dan sesekali menganggukkan kepala mereka.
"Baik. Terimakasih banyak atas partisipasi Mbak Luna dalam sesi wawancara kali ini. Untuk pengumuman hasil wawancara hari ini kan diberikan melalui sebuah pesan singkat 2 minggu dari hari ini." terang salah seorang pewawancara.
Luna pun menjawab dengan sopan juga kepalanya mengangguk pelan sembari melontarkan senyum tipis. Perempuan rambut lurus itu kemudian keluar perlahan dari ruangan yang cukup luas tadi, dia berjalan dilorong gedung sebuah kantor yang sangat besar dengan pondasi kokoh mengelilinginya untuk menuju ke pintu utama. Namun, belum sampai di mulut pintu, langkah kaki Luna terhenti begitu pula dengan gerakan tangannya yang berjalan sembari memainkan gawai pintarnya.
"Luna...," teriakan yang cukup keras dan hampir bergema.
"Kak - Winda?" gumam Luna yang belum menoleh kearah asal suara.
Perlahan diturunkan gawai pintar itu, ditelan salivanya dalam, perlahan ia berbalik dengan ekspresi wajah penuh ketegangan tergurat samar. Tidak butuh waktu lama untuk mempertegas ekspresi wajah itu, ketika seorang wanita dengan perut yang sangat besar cenderung buncit mendekat kearahnya.
"Dek, kamu lagi ngapain disini?" tanya wanita yang ternyata hamil itu.
Sedikit panik dengan merapikan sedikit rambutnya kebelakang telinga juga berpikir secepat kilat untuk membuat sebuah jawaban atau lebih tepatnya alasan yang sudah pasti berbohong. Namun sangat disayangkan, wanita hamil bernama Winda itu nampaknya sudah mengetahui alasan Luna ada digedung tempatnya bekerja. Belum sempat menjawab tangan Luna sudah dipegang lalu ditarik oleh Winda, sambil membawa minuman kemasan ditangan yang lain, Winda dan Luna naik ke arah rooftop.
"Jangan bilang kamu ngelamar OG...," ucap tegas Winda saat mereka sudah duduk berhadapan di salah satu sudut rooftop gedung itu.
Masih terdiam dan hanya bisa meneguk salivanya, Luna pun mengangguk pelan. Suara hantaman agak keras dilakukan Winda keatas meja dihadapannya dengan gelas minuman.
"Kak, please denger dulu. Aku bisa jelasin semuanya dengan jujur, tapi Kakak janji jangan histeris. Kenapa? karena 2 faktor. Pertama, malu ini ditempat umum dan yang terakhir Baby D bisa denger jelas suara ibunya yang menggelegar...," Luna mencoba menjelaskan sekaligus menenangkan Sang Kakak.
Helaan napas panjang Winda berhembus dengan mata yang dipejamkannya juga satu tangannya memberi sinyal untuk Luna menjelaskan.
Kemudian Luna mulai menjelaskan semua kronologis yang dialaminya hingga harus melamar dengan posisi cleaning service di tempat Winda bekerja.
"Tidak dengan menjadi OG, Na. Kamu tau kan konskuensinya kalau jadi tukang bersih - bersih di perusahaan besar ini. Mas Bagas bakal marah besar kalau dia tau, nggak, pokoknya nggak boleh...," Winda akhirnya melampiaskan rasa kesalnya pada Luna.
Tidak pantang menyerah sambil masih mencoba membujuk dan menenangkan Luna mengelus kedua lengan Winda dengan ekspresi sedikit memelasnya.
"Kak, cari kerja setelah COVID itu nggak gampang. Ditambah aku yang cuman lulusan SMA ini, aku juga punya planning lanjut kuliah dengan gaji yang bakal aku sisihkan. hehm, hehm...," bujuk Luna.
"Pulang, kamu sebaiknya pulang. Kalau kamu memang di PHK dikerjaan sebelumnya, bukan OG solusinya. Kita cari solusi yang lain...," jawab Winda.
Ekspresi wajah Luna yang awal sendu dan juga sangat memelas, berubah menjadi kaku dan tegang.
"Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah menginjakkan kaki di rumah terkutuk itu...," ucapan Luna kini membuat wajah Winda pun turut serta berubah dengan helaan napas panjangnya.
********