Ziel, seorang CEO muda yang tegas dan dingin, memutuskan pertunangannya setelah menemukan bukti perselingkuhan Nika. Namun, Nika menolak menerima kenyataan dan dengan cara licik, ia menjerat Ziel dalam perangkapnya. Ziel berhasil melarikan diri, tetapi dalam perjalanan, efek obat yang diberikan Nika mulai bekerja, membuatnya kehilangan fokus dan menabrak pohon.
Di tengah malam yang kelam, Mandara, seorang gadis sederhana, menemukan Ziel dalam kondisi setengah sadar. Namun, momen yang seharusnya menjadi pertolongan berubah menjadi tragedi yang mengubah hidup Dara selamanya. Beberapa bulan kemudian, mereka bertemu kembali di kota, tetapi Ziel tidak mengenalinya.
Terikat oleh rahasia masa lalu, Dara yang kini mengandung anak Ziel terjebak dalam dilema. Haruskah ia menuntut tanggung jawab, atau tetap menyembunyikan kebenaran dari pria yang tak lagi mengingatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Memburuk
Ziel melangkah keluar dari mobilnya dengan langkah berat, perasaan tak nyaman terus menghantui pikirannya. Wajahnya tampak pucat, sisa-sisa kelelahan terlihat jelas setelah tadi pagi ia muntah-muntah.
Bahkan, ketika berangkat ke kantor, pikirannya hanya dipenuhi bayangan Dara, wajahnya yang pucat karena sakit, tatapannya yang dipenuhi ketakutan dan kewaspadaan setiap kali mereka berdekatan.
Begitu memasuki gedung kantornya, aroma tubuh orang-orang di sekitarnya langsung menyerang indera penciumannya. Ia mengerutkan dahi, berusaha menahan napas sejenak, tapi aroma itu seakan menempel, bercampur menjadi satu, membuatnya semakin terganggu. Ziel mempercepat langkah, berharap segera sampai di ruangannya.
Saat tiba, Ziel langsung menjatuhkan diri di kursinya dan memijat pelipisnya yang berdenyut. Wajahnya terlihat lelah, tetapi lebih karena perang batin yang ia alami. "Kenapa pengaruh Dara begitu besar saat aku di dekatnya?" gumamnya pelan. "Tanpa dia, tubuhku rasanya seperti kehilangan kendali." Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan ketidaknyamanan yang terus menyerangnya.
Pikirannya berputar pada meeting yang sudah menunggu. Ini bukan pertemuan biasa, klien kali ini sangat penting bagi perusahaan. Tapi kondisi tubuhnya membuatnya ragu. "Apa aku mampu bertahan di meeting room nanti?" Ziel bertanya pada dirinya sendiri. Ia tahu membatalkan atau bahkan meminta meeting dilakukan secara online bukanlah pilihan. Dengan satu tarikan napas dalam, Ziel berusaha mempersiapkan diri.
Begitu berada di dalam meeting room, Ziel langsung merasakan perjuangan yang sebenarnya. Aroma tubuh semua orang di ruangan itu bercampur menjadi satu, semakin menekan dirinya. Meskipun ia sudah memakai masker, rasanya itu tidak banyak membantu. Ia mencoba tetap fokus pada materi yang dibahas, tetapi perutnya mulai mual, dan rasa tidak nyaman itu semakin menjadi.
Waktu berjalan terasa sangat lambat, tapi akhirnya meeting pun selesai. Begitu klien keluar dari ruangan, Ziel langsung bangkit. Langkahnya cepat, hampir seperti setengah berlari sambil menutup mulutnya dengan tangan. Masker yang ia kenakan tidak cukup menahan sensasi mual yang semakin kuat.
Keringat dingin membasahi wajahnya, dan sesekali terdengar suara tertahan yang menunjukkan ia hampir muntah, meskipun ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya.
Karyawannya yang melihat tingkah Ziel saling berpandangan dengan ekspresi bingung, bisik-bisik terdengar di antara mereka.
"Apa yang terjadi pada Tuan Ziel?" tanya salah satu staf pelan.
"Sepertinya Tuan Ziel sedang tak enak badan." sahut yang lain.
Ziel tak peduli. Ia hanya fokus untuk sampai ke toilet ruangannya. Begitu masuk, ia langsung memuntahkan cairan kuning yang pahit dan panas ke wastafel. Tubuhnya gemetar, dan dahinya basah oleh berkeringat dingin. "Sial," gumamnya pelan, menyadari bahwa ia lupa sarapan pagi tadi karena terlalu mengkhawatirkan Dara.
Setelah membersihkan diri, Ziel keluar dari toilet dengan langkah gontai. Wajahnya terlihat lebih pucat dari sebelumnya. Ia merebahkan diri di sofa untuk mengumpulkan tenaga. Beberapa menit kemudian Ziel merasa lebih baik, ia berjalan keluar dari ruangannya, berhenti di depan pintu, dan menatap Juan yang tengah sibuk membolak-balik dokumen di mejanya.
“Juan, aku pulang,” ucap Ziel singkat dengan nada datar, tanpa sedikit pun mendekat ke meja Juan.
Juan menoleh, terlihat sedikit terkejut. “Pulang, Tuan? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan sopan.
Ziel menggeleng pelan, satu tangan terangkat seolah memberi isyarat cukup. “Aku nggak enak badan. Urus sisanya,” jawabnya pendek sebelum berbalik dan berjalan menjauh tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut. Tubuhnya mungkin terasa lemah, tetapi pikirannya hanya terpaku pada satu hal: segera kembali ke apartemen.
Juan hanya bisa mengangguk sambil menatap punggung Ziel yang perlahan menghilang di balik pintu lift. Dalam hati, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada bosnya hari ini.
Ada sesuatu yang berbeda dengan Ziel hari ini, sesuatu yang tidak biasa. "Kenapa Tuan Ziel hari ini kembali seperti dulu, seperti sebelum Dara menjadi asistennya?" pikir Juan dalam hati. Ia mengingat betapa Ziel sering terlihat kacau dan mudah terganggu sebelum kehadiran Dara di kantor.
"Apakah karena Dara tidak masuk hari ini?" gumamnya pelan, sambil menatap ke arah pintu lift yang baru saja tertutup. Pikirannya berputar-putar, mencoba merangkai alasan di balik perubahan sikap Ziel. "Apa pengaruh Dara terhadap Tuan Ziel sebesar itu? Rasanya ada sesuatu yang tidak sederhana di antara mereka."
Juan menghela napas panjang, menggelengkan kepalanya dengan ekspresi penuh tanya. "Dara membuat Tuan Ziel terlihat lebih... normal. Tapi kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka berdua?"
***
Ziel memaksakan dirinya tetap fokus mengemudi meskipun perutnya masih terasa mual dan tubuhnya lemas. Pikiran tentang Dara memenuhi benaknya. Ia hanya ingin segera sampai di apartemen dan bertemu dengannya, mencium aroma tubuh Dara yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.
Saat Ziel melangkah masuk ke lobby apartemen, suasana ramai langsung menyambutnya. Bau parfum bercampur dengan aroma makanan dari beberapa penghuni membuat perutnya yang sudah mual semakin bergejolak. Ia mengernyit, menahan rasa tidak nyaman sambil berjalan cepat menuju lift.
"Kenapa mereka harus menyemprotkan parfum sebanyak itu?" pikir Ziel sambil menahan napas.
Ketika pintu lift terbuka, Ziel terpaksa masuk bersama beberapa penghuni lain. Udara di dalam lift terasa sesak dan penuh dengan berbagai aroma tubuh yang bercampur. Ziel menatap tombol lift dengan mata menyipit, mencoba fokus agar rasa mualnya tidak semakin parah. Namun, ia tidak bisa menghindari rasa gelisah yang menyerangnya. Bagi Ziel, lift terasa berjalan sangat lamban.
"Ini gila," gumam Ziel dalam hati, tangannya menggenggam erat pegangan di dalam lift. "Kenapa sekarang aku jadi begini? Dulu aku masih bisa tahan meski sedikit terganggu. Tapi sejak kapan ini memburuk?"
Begitu pintu lift terbuka di lantainya, Ziel buru-buru keluar. Langkahnya semakin cepat, nyaris berlari sambil menutupi mulutnya dengan tangan. Ia hampir menabrak seorang penghuni yang baru keluar dari unitnya, tapi Ziel tak punya tenaga untuk meminta maaf. Orang itu hanya menatapnya dengan bingung, begitu juga beberapa penghuni lain yang kebetulan melihat Ziel tergesa-gesa seperti orang dikejar sesuatu.
"Semua orang ini pasti berpikir aku aneh," batinnya kesal. "Biar saja, aku tidak peduli."
Sampai di depan pintu unitnya, Ziel dengan cepat membuka pintu dan langsung masuk ke kamar tanpa melepas sepatu. Dia berlari ke kamar mandi dan langsung muntah. Namun, hanya cairan kuning pahit yang keluar dari mulutnya, membuat tenggorokannya terasa perih. Tubuhnya benar-benar lemas, bersandar pada dinding kamar mandi dengan napas tersengal.
Ziel menatap pantulan dirinya di cermin di depan wastafel, wajahnya pucat pasi. Ia mengusap wajahnya dengan tangan gemetar, mencoba mencari penjelasan. "Kenapa aku jadi selemah ini? Padahal aku hanya berada di lift sebentar. Apa yang salah denganku?"
Ia teringat kembali kebersamaannya dengan Dara. Selama ada Dara di dekatnya, semua ini tidak pernah terjadi. Bahkan, aroma tubuh Dara yang khas selalu membuatnya merasa nyaman. Rasa frustrasi bercampur dengan ketergantungan membuat pikirannya berkecamuk.
"Ini tidak masuk akal. Kenapa aku merasa seperti ini? Apa aku benar-benar… butuh Dara?" pikir Ziel, rasa kesal pada dirinya sendiri tumbuh.
Dengan sisa tenaga yang ada, Ziel perlahan berdiri. Langkahnya terhuyung saat ia berjalan menuju pintu kamar. Hanya satu hal yang terpikir olehnya saat itu, Dara.
Ziel melangkah keluar kamar dan menuju kamar Dara. Dalam hatinya ia berbisik, "Aku harus memastikan dia ada di sini. Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus."
Namun, langkahnya terhenti di depan pintu. Ia memejamkan mata sejenak, menyandarkan tubuhnya yang kelelahan ke daun pintu. Bayangan reaksi Dara tadi pagi, ketakutan dan waspada, kembali terlintas di pikirannya, membuatnya ragu. "Apa dia masih marah? Atau... apa dia masih takut padaku?" gumam Ziel dalam hati, rasa bimbang memenuhi dirinya.
"Brugh"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
makasih kak semoga selalu sehat , rejeki lancar , berkah barokah . aamiin 🤲
maaf kak kalau aku bacanya kadang sampai 4 bab atau mungkin lebih baru bisa baca , bukan niat numpuk bab tapi karena emang lagi repot bahkan gak sempat buka HP . 🙏🙏🙏
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
kakek neneknya belum dikasih tahu ya , kok belum datang .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
makasih buat Novel Ziel dan Dara kk Thor🙏
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍